Oleh : Zainul Arifin

Mantan Danjen Kopassus Muchdi PR meradang. Usai sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang menuntutnya dihukum 15 tahun penjara, Muchdi mengatakan bahwa hal itu adalah puncak sebuah konspirasi dan sebuah fitnah. “Ingat, fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Entah ada maksud apa Muchdi mengatakan hal itu.


Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Kalimat ini begitu populer di masyarakat. Ia adalah arti letterlijk (apa adanya) dari beberapa ayat dalam al-Qur’an, walau sedikit aneh. Maksudnya, kata fitnah dalam ayat Al-Qur’an itu tidak diartikan, ia diambil begitu saja. Sedang pembunuhan adalah arti dari al-qatl. Kata kejam diambil dari kata asyaddu, sedang di ayat lain berarti lebih besar dari kata akbar. Dengan demikian ada satu kata dalam untaian ayat-ayat mengenai ‘fitnah’ yang tidak diartikan secara benar, yaitu kata ‘fitnah’ itu sendiri.

Sejauh pemahaman populer di masyarakat, fitnah dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai kabar bohong, isu, rumor, menjelekkan orang lain. Jika seseorang mengatakan bahwa si Fulan melakukan korupsi sedang kenyataannya si Fulan tidak korupsi, maka seseorang itu dibilang memfitnah, menyebar fitnah. Jika dalam suasana kampanye menjelang Pilkada ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa jika kandidat A terpilih akan terjadi begini-begitu, kemudian kandidat A atau siapa saja merasa bahwa hal itu adalah kampanye hitam, maka ia akan menyebutnya juga sebagai fitnah. Berita bohong yang tidak benar, tidak perlu dipercaya.

Benarkah fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Jika kita memakai konteks fitnah dalam Bahasa Indonesia seperti di atas, tentu menjadi tidak terlalu pas. Betapapun sebuah pembunuhan adalah puncak kejahatan kemanusiaan. Kekejaman itu pula yang dulu pernah dilakukan Qabil kepada Habil, anak-anak Nabi Adam, sehingga ia merasa sangat berdosa dan membopong jenazah Habil kesana-kemari sebelum menemukan cara penguburan jenazah. Jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, mengapa pula aktivis HAM Munir mesti dibunuh – oleh siapapun yang merasa menjadi musuhnya – dan tidak difitnah saja?

Dalam Al-Qur’an sendiri, begitu kejamnya sebuah pembunuhan, maka pembalasannya dapat berupa pembunuhan juga (nyawa dibayar nyawa) kecuali ada pengampunan dari keluarga korban. Sedangkan jika fitnah dimengerti sebagai kabar bohong, rumor, menjelek-jelekkan orang lain, ia dihukumi tidak terlalu berat. Jika hal itu dilakukan pada saat puasa Ramadhan, maka ia tidak akan mendapat pahala, puasanya tetap sah. Jika dalam kondisi biasa, maka ia laksana memakan daging saudaranya yang telah menjadi mayat (dalam hal ini bergunjing atau ghibah). Karena itu jauhilah.

Jadi apa itu fitnah? Merujuk pada Qs. Al Baqarah ayat 217 yang artinya, “mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah, dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, dst.” maka fitnah di sini berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan muslimin. Jadi fitnah adalah penindasan.

Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya, kata fitnah terulang tidak kurang dari tiga puluh kali dan tidak satupun yang mengandung makna membawa berita bohong atau menjelekkan orang lain. Karena itu, tidaklah tepat mengartikan al-fitnatu asyaddu minal qatl dan al-fitnatu akbaru minal qatl dengan makna “memfitnah/membawa berita bohong/menjelekkan orang lain lebih kejam atau lebih besar dosanya dari pembunuhan.” Kekeliruan ini muncul, kata Quraish, akibat pemahaman yang meleset tentang kata fitnah yang diperparah oleh diabaikannya konteks sebab turun suatu ayat. Kata fitnah terambil dari akar kata ‘fatana’ yang pada mulanya berarti “membakar emas untuk mengetahui kadar kualitasnya”. Kata tersebut digunakan Al-Qur’an dalam arti “memasukkan ke neraka” atau siksaan.

Berkenaan dengan Qs. Al-Baqarah ayat 217 di atas, fitnah disitu ditafsirkan sebagai penyiksaan yang dilakukan oleh kaum musyrikin Makkah. Itulah yang ditunjuk lebih kejam dan lebih besar dosanya daripada pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan pimpinan Abdullah bin Jahesy dan kelompoknya. Fitnah di sini juga bisa difahami dalam arti siksaan bagi kaum musyrikin di kemudian hari, lebih besar dan lebih keras sakitnya daripada pembunuhan yang dilakukan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin.

Fitnah yang tercantum dalam Qs. Al-Baqarah ayat 191 dan 192 juga bermakna penganiayaan / penyiksaan dan kemusyrikan itu sendiri jika dikaitkan dengan pembunuhan. Sementara kata fitnah dalam Qs. An-Nisa’ ayat 3 yang berkaitan dengan pemaknaan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an (untuk menimbulkan fitnah) berarti menimbulkan kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman. Hal ini dinyatakan pula oleh Rasulullah dalam hadis riwayat Muslim, “Jika kamu berbicara (menyampaikan ucapan) tentang sesuatu perkara kepada suatu kaum padahal perkara itu tidak terjangkau (tidak dipahami) oleh akal pikiran mereka, niscaya akan membawa fitnah di kalangan mereka.” (HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud/Sahih Muslim). Fitnah dalam hadis ini berarti kebingungan, kerancuan berpikir karena tidak faham atas perkara yang dibicarakan.

Dengan demikian mengartikan bahwa fitnah lebih kejam atau lebih besar daripada pembunuhan dengan mindset ayat-ayat al-Qur’an yang populer itu adalah tidak tepat. Jika yang dimaksud Muchdi PR fitnah adalah character assassination (pembunuhan karakter) pun rasanya tidak lebih kejam ketimbang pembunuhan. Character assassination masih bisa direhabilitasi, tapi orang yang sudah mati (terbunuh) tidak bisa dihidupkan kembali. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar





Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Masih hangat dibicarakan sampai saat ini, tragedi ”peradilan sesat” yang terjadi di Jombang. Tentu saja peradilannya sendiri tidak berlangsung dalam kesesatan namun yang terjadi sekarang adalah bahwa perkara yang diajukan ternyata objeknya salah. Yakni tentang pembunuhan di sebuah kebun tebu yang semula korban dikenali sebagai Asrori tapi belakangan ternyata ia adalah Fauzin Suyanto. Tiga orang tersangka pembunuh Asrori versi kebun tebu itu diajukan ke sidang pengadilan. Dua orang – Kemat dan David -- telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi narapidana di penjara. Sedang yang ketiga, Maman, masih dalam tahap proses pengadilan. Semula Maman pun menginap di tahanan, namun atas permintaan kuasa hukumnya dan memperhatikan bahwa telah terjadi salah objek yang dituduhkan, ia pun dikeluarkan dari tahanan. Namun proses hukumnya sendiri masih berjalan, sampai menemukan putusan yang berkekuatan hukum tetap.



Kasus serupa pernah terjadi. Yang paling terkenal adalah kasus Sengkon dan Karta tahun 1974. Alkisah, Sengkon dan Karta ditangkap dengan sangkaan merampok dan membunuh pasangan suami istri Sulaiman Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Polisi menyidik kasus ini dan meyakinkan Sengkon-Kartalah pelakunya. Hingga tiga tahun kemudian, kedua petani itu tetap menyangkal tuduhan jaksa. Tapi, Hakim Djurnetty Soetrisno lebih memercayai cerita polisi ketimbang pengakuan kedua terdakwa. Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta 7 tahun. Tapi ternyata ada orang lain bernama Gunel, mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang sebenarnya. Sengkon dan Karta akhirnya dibebaskan. Dan Gunel dipenjara.

Namun, kesalahan para penegak hukum terhadap kedua orang itu tidak tertebus. Akibat peristiwa ini, keluarga Karta, bersama dua istri dan 12 orang anak, kocar kacir dan jatuh miskin.

Perihal salah tangkap dalam sebuah tindak kriminalitas bukan perkara baru di negeri kita. Di luar negeri pun hal serupa juga bisa terjadi. Hal tersebut bisa terjadi karena aparat keamanan/polisi mungkin menemukan petunjuk yang dianggap cukup untuk menangkap seseorang atau lebih yang ditengarai melakukan tindak kriminalitas dimaksud. Setelah melalui proses penyidikan yang sewajarnya, tentu polisi akan bisa mengambil kesimpulan awal apakah orang yang ditangkapnya itu benar-benar bersalah ataukah tidak. Dari sinilah kemudian perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilanjutkan ke pengadilan.

Tatkala yang saling berperkara telah berada di ruang persidangan, maka hakimlah yang berkuasa. Menjadi kewajiban hakim untuk mendengarkan semua pihak yang berhadapan untuk mengemukakan tuduhan dan sanggahan. Hal yang sama terjadi di semua persidangan, baik pidana, perdata, agama dan tata usaha negara. Tidak boleh hakim membuat penilaian apalagi keputusan tanpa mendengar kedua belah pihak yang berperkara. Hakim pun tentu akan menanyakan kepada pihak-pihak tentang perkara yang disidangkan agar menjadi jelas dan kuat.

Pada posisi inilah kemudian hakim mendapatkan perannya yang menentukan. Sesuai dengan seluruh penjelasan yang diterimanya, pertimbangan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan suara hatinya, ia akan mengambil keputusan. Mana yang salah, mana yang benar. Mana yang kalah, mana yang menang. Tatkala ia bertekad untuk memutuskan, maka dikatakan ”sebelah kaki berada di surga, sebelah kaki berada di neraka”. ”Lidah seorang hakim berada di antara dua bara api sehingga dia menuju surga atau neraka.” (HR. Abu Na'im dan Ad-Dailami) Jika ia memutus perkara dengan benar dan jujur, maka ia akan masuk surga. Namun jika ia memutus perkara dengan salah diibaratkan sebelah kakinya telah menuju neraka. Dan jika putusan yang salah itu dilatarbelakangi dendam pribadi atau intervensi pihak lain (misalnya lewat tekanan atau sogokan), maka ia benar-benar bisa masuk neraka. Tapi jika putusan yang salah itu bukan kesengajaan setelah melalui proses hukum yang benar, maka menurut hadis Nabi riwayat Al-Bukhari, ia tetap mendapat satu pahala. Ini diibaratkan sebagai ijtihad dalam pengambilan (istimbat) hukum. Walau ada adagium, lebih baik melepaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.

Sesuai dengan artinya, hakim adalah orang yang bijaksana. Diperlukan kearifan yang tinggi untuk mencermati suatu perkara sampai memutuskan. Jangan sampai terjadi salah vonis. Vonis dalam Bahasa Arab disebut al-qadha’, yaitu putusan hakim pada sidang pengadilan yang berkaitan dengan persengketaan antara pihak-pihak yang berperkara.

Di dunia memang terdapat hakim yang jujur dan ada pula hakim yang curang, yang tidak menegakkan keadilan dan hanya mencari keuntungannya saja. Keputusan hakim yang tidak adil diharamkan oleh Allah Swt, dan diancam dengan hukuman yang sangat berat, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi, "Rasulullah saw bersabda: Ada dua hakim; hakim yang satu masuk neraka, dan hakim lainnya masuk surga: Yaitu: Hakim yang satu mengetahui mana yang haq (benar), dan dia memutuskan dengan benar, dialah yang masuk surga, sedang hakim yang lainnya mengetahui mana yang haq (benar) tetapi dia menyimpang dengan sengaja, atau memutuskan suatu keputusan tanpa ilmu, maka dia masuk neraka." (HR al-Hakim, Abu Dawud, at-Tirmiziy, Baihaqi dan Ibnu Majah).

Pengambilan keputusan yang salah oleh seorang hakim bisa terkait dengan aparat yang lainnya. Misalnya karena polisi mengajukan tersangka yang ternyata salah tangkap. Hanya saja tanggung jawab yang lebih besar ada pada hakim, karena dialah yang memutus perkara. Kita berharap tak ada lagi hakim yang memutus dengan salah. v


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Belum genap dua bulan berlalu bulan suci Ramadhan 1429 H, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menyaksikan bencana alam dan bencana sosial mewabah di seantero negeri. Bencana alam datang sebagiannya akibat ulah manusia selama beberapa tahun sebelum kini, misalnya penggundulan hutan beberapa saat lalu, sehingga kini kita menuai buahnya. Tanah longsor dan banjir. Sedang bencana alam semisal gempa bumi tektonik, nyaris tak bisa diprediksi dan dihindari sebagai bagian dari pergeseran lempeng Bumi (pangea) dan pergerakan alam semesta sesuai sunnatullah.


Sementara bencana sosial yang mewabah sekarang ini antara lain adalah pengangguran, konflik antara buruh dan majikan dan kerusuhan, termasuk di dalamnya tawuran. Entah tawuran kecil antar pemuda, antar mahasiswa dan tawuran besar antar desa, antar pendukung gubernur atau bupati/walikota. Dan yang paling sering terjadi adalah kericuhan antara penggusur dan kaum yang digusur serta antara masyarakat dengan aparat keamanan.

Penanda bulan suci Ramadhan di awal tulisan bukan sekadar pengingat waktu. Namun untuk mengingatkan hakikat akan apa-apa yang selama bulan itu diperdengarkan oleh para penceramah, dilakukan oleh kaum muslimin dan selayaknya diteruskan di bulan berikutnya. Hakikat yang ingin diaktualisasikan kembali adalah betapa pada waktu itu semua penceramah, semua kaum muslimin, mengajak dan diajak untuk berlaku jujur karena puasa di bulan itu tidak ada yang mengawasi kecuali Allah dan diri sendiri. Pada puasa itu diajarkan pengekangan hawa nafsu, dilambangkan dengan menahan pemenuhan keinginan perut dan syahwat seksual di siang hari dan pengekangan akan pembicaraan yang tidak perlu, terlebih caci maki, penyebaran berita bohong dan penghasutan. Kemarahan pun diikat kuat-kuat agar terjadi pembelajaran untuk tidak mengumbar amarah di sembarang waktu dan kesempatan.

Namun apa terjadi? Oleh akumulasi persoalan yang rumit yang melanda negri ini, pengekangan amarah itu sudah dilupakan. Di beberapa daerah hampir tak ada sisa tapak-tapak Ramadhan menghiasi, kecuali yang telah biasa terjadi, sekadar sholat fardhu. Amarah dan ketidakjujuran melanda di sana-sini. Soal ketidakjujuran, mungkin bisa diperdebatkan. Namun soal amarah yang menghambur tak bisa diingkari. Padahal jelas dikatakan berjuta kali firman Allah dalam Qs. Ali Imran 134, bahwa orang yang bertakwa “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Melalui ayat ini, Allah bermaksud mengajarkan kaum muslimin dan umat manusia seluruhnya sesungguhnya, bahwa di antara ciri-ciri orang yang baik, yang bertaqwa, adalah yang mampu menahan amarahnya dan bahkan jika mampu memaafkan kesalahan orang lain. Namun menahan amarah tampaknya masih menjadi perkara yang tidak mudah di negeri ini. Selaras dengan berbagai pertikaian dan konflik di tingkat elite, konflik di masyarakat banyak yang berujung penumpahan amarah secara membabi buta. Ricuh. Anarkhi. Chaos.

Sepertinya negeri yang dulu pernah dijuluki warganya ramah dan murah senyum ini sedang bermetamorfosa menjadi negeri yang berwajah angker dan murah tinju. Segala konflik menjadi kurang layak berita kalau tidak diwarnai kericuhan atau berakhir rusuh. Salah paham berebut – maaf – perempuan antara dua pemuda, dapat berakhir rusuh dua desa. Perdebatan batas dua desa dapat berakhir rusuh di depan balaikota. Perselisihan pemenang Pilkada dapat berakhir bentrok di depan gedung kantor gubernur.
Pemicu kekerasan masyarakat tentu banyak kaitannya. Baik terkait soal ekonomi, sosial, politik ataupun budaya. Namun dua kemungkinan bisa dicermati, yakni adanya kekerasan struktural dan kekerasan kultural.

Kekerasan struktural dipahami sebagai kekerasan yang muncul akibat struktur kekuasaan yang kurang memihak kepada rakyat, birokrasi yang menghambat dan penelantaran hak-hak warga negara yang seharusnya dipenuhi oleh pemimpin pemerintahan. Perombakan struktural tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat, kecuali melalui revolusi. Namun hal ini bukan pilihan yang banyak diminati. Akhirnya masyarakat hanya mampu berdemonstrasi, syukur-syukur diperhatikan dan terjadi perubahan. Jika ternyata tidak, maka kekerasan fisiklah yang terjadi.

Kekerasan kultural adalah kekerasan yang terjadi karena adanya budaya di daerah tertentu yang banyak menampilkan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Awalnya mungkin oleh kondisi geografis yang dihadapi, namun lambat laun menjadi perilaku sosial yang turun temurun. Pengikisan terhadap budaya kekerasan ini dilakukan melalui penyadaran, pencerahan akan bahayanya kekerasan dalam penyelesaian masalah, dan biasanya hal ini memakan waktu sangat lama, kecuali dilakukan oleh pemimpin yang sangat kharismatik.

Meskipun dua hal di atas mungkin mempengaruhi kebiasaan tawuran yang sekarang sedang mewabah di negeri ini, bukan berarti tidak ada contoh penyelesaian yang pernah terjadi. Dalam konteks Agama Islam, kehadiran Nabi Muhammad Saw pada zamannya dapat dijadikan pegangan. Betapa dalam kehidupan masyarakat Makkah yang dicengkeram oleh kekerasan struktural elit Quraisy dan kekerasan kultural dalam penyelesaian masalah, Muhammad dapat mengubah menjadi kepemimpinan yang lembut dan menghilangkan kekerasan kultural secara cukup signifikan. Sehingga orang sekaliber Umar ibn Khaththab pun menjadi lembut akhlaknya. Berbagai persoalan dapat dibicarakan. Kekerasan tidak diobral.

Nabi bersabda, “Orang yang dibenci Allah ialah orang yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam.” (HR Al-Bukhari dari ‘Aisyah/Shahih Al-Bukhari, hadis no. 2325). Mengingat Qs. Ali Imran ayat 134, tarikh Nabi Muhammad berikut sabdanya di atas, semoga masyarakat kita dapat terbebas dari wabah kekerasan. Negeri kita bukanlah negeri tawuran. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar



صحيح البخاري م ت البغا/6 - (ج 2 / ص 867)
2325 - حدثنا أبو عاصم عن ابن جريج عن ابن أبي مليكة عن عائشة رضي الله عنها
: عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( إن أبغض الرجال إلى الله الألد الخصم )
[ 4251 ، 6765 ]
[ ش أخرجه مسلم في العلم باب في الألد الخصم رقم 2668 . ( الألد الخصم ) المعوج عن الحق المولع بالخصومة والماهر بها والألد في اللغة الأعوج ]
صحيح مسلم مشكول - (ج 13 / ص 150)
4821 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ




Selengkapnya ......

Oleh : Abu Haikal*

Minggu-minggu ini masa pemberangkatan jemaah calon haji asal Indonesia sudah dilaksanakan. Tidak ada penambahan kuota sehingga antrian pendaftar sudah melampaui satu-dua tahun. Bahkan di beberapa daerah selain Kalbar, ada yang sampai lima tahun. Antusiasme kaum Muslimin tidak pernah pudar meski dalam keadaan keuangan nasional maupun global sedang tidak menentu. Ini memang panggilan ibadah. Bagi orang yang sudah sangat kepingin dan merasa telah mampu, maka halangan apapun insya Allah dapat diatasi.


Untuk mengatasi keterbatasan kuota haji yang nyaris tidak berubah – kalaupun berubah tidak cukup signifikan – maka ditempuh kebijakan bahwa bagi kaum Muslimin yang pernah berangkat haji tidak diperkenankan berangkat kembali untuk yang kedua kali atau selebihnya kecuali setelah melampaui 5 tahun atau disebabkan oleh alasan yang diperbolehkan, misalnya sebagai petugas atau sebagai mahram. Kebijakan ini ditempuh karena pada masa lalu kaum Muslimin yang pernah berhaji satu kali ingin berangkat kembali pada tahun berikutnya, bahkan seringkali untuk yang berkali-kali. Akibatnya kuota yang diperkirakan cukup untuk memberangkatkan calon haji yang terdaftar untuk pertama kali dapat teratasi. Kenyataannya tidak demikian. Kuota selalu segera penuh oleh kaum Muslimin yang ingin mengulang berangkat haji dan mempunyai uang untuk setoran lebih awal.

Meski kaum Muslimin tahu belaka bahwa Nabi Muhammad Saw hanya mencontohkan satu kali haji seumur hidup, toh banyak bapak/ibu haji yang baru pulang dari Tanah Suci sudah berniat kembali untuk sewaktu-waktu dapat mengulang hajinya. Ada yang beralasan adanya kenikmatan berhaji yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata sehingga hanya bisa dirasakan jika diulangi. Misalnya, di Tanah Suci bisa sholat wajib lima waktu selalu di masjid setelah pulang di rumah nyaris tak pernah ke masjid. Ada yang beralasan, sepertinya ibadah haji yang baru dilaksanakan kurang mantap, kurang sempurna, sehingga perlu diulang. Seolah-olah standar kesempurnaan dan pahala haji dapat ia tentukan sendiri.

Untuk mengatasi bertumpuknya kaum Muslimin pada musim haji, selain memekarkan dan memperbaiki tempat-tempat ibadah haji di Tanah Suci, Masdar Farid Mas’udi pernah mengusulkan wacana penafsiran “baru” soal waktu melaksanakan haji. Sebagaimana tercantum dalam Qs. Al Baqarah ayat 197, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi [Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji,. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, walau sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”

Dari ayat ini Masdar menyatakan bahwa musim haji tidak terbatas pada bulan Zulhijjah. Katanya, orang bisa saja mengerjakan haji pada bulan Syawal dan Zulkaidah. Sedang mengenai hadis sahih yang menyatakan bahwa ‘Haji adalah Arafah’ dan itu berarti hanya pada tanggal 9 Zulhijjah, harus ditinjau ulang pemaknaannya. Bahkan ia menyatakan hal itu “bertentangan” dengan ayat di atas. Dengan “penafsiran baru”nya itu, ia menganggap masalah kuota haji dapat diatasi, karena waktu pelaksanaannya menjadi longgar.

Tapi wacana ini tidak berkembang, bahkan tidak banyak yang menanggapi karena dinilai tidak valid. Ia dinilai melampaui penafsiran yang telah dilakukan banyak ahli tafsir dan ahli hadis yang kemampuannya tidak lebih rendah dari Masdar. Masdar sendiri belum pernah melaksanakan anjurannya itu, misalnya ia membawa rombongan calon haji untuk mengerjakan haji diluar bulan Zulhijjah.

Dorongan untuk mengerjakan ibadah haji lebih dari satu kali, mungkin bisa ditelusuri dari niat berangkat haji. Untuk apa orang berangkat haji? Ada orang yang berangkat haji karena ingin dianggap saleh, ada yang ingin sama dengan pejabat lain yang telah berhaji, ada yang ingin memperlihatkan bahwa ia cukup punya banyak uang.
Padahal orang yang mau berangkat haji itu semata-mata untuk mennggapai ridla Allah dengan mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw. Dan kalau bisa, satu kali saja.

Almarhum KH Amir, seorang kiyai saleh di Yogyakarta pada tahun 1950-an, pernah membuat kategori orang yang berangkat haji. Tentu kategori ini tidak kaku dan tidak untuk melecehkan siapapun. Ia berkata, “Haji yang pertama kali itu hajinya ikhlas. Haji yang kedua itu haji bisnis. Dan haji ketiga adalah haji preman (sesungguhnya ia menyebut dengan istilah Jawa yang tidak perlu dituliskan disini).”

Haji pertama sebagai haji yang ikhlas karena orang tersebut berangkat haji dengan niat tulus mengerjakan perintah agama. Ia belum punya pengetahuan selain manasik haji untuk kesempurnaan ibadah hajinya.

Haji kedua sebagai haji bisnis, karena menurutnya, orang tersebut sudah tahu suasana di Tanah Suci, sehingga ia bisa sambil berbisnis. Berjualan barang yang dibawa dari tanah air, atau membeli barang murah di Tanah Suci untuk dijual di tanah air.

Haji ketiga sebagai haji preman, karena setelah tahu seluk beluk penyelenggaraan ibadah haji, ia pun mencari-cari peluang untuk bisa menipu. Tidak hanya menipu di Tanah Suci, bahkan sejak di tanah air pun kalau bisa menipu. Haji ketiga ini kalau meminjam istilah Prof. Ali Mustafa Yaqub, sekarang imam besar Masjid Istiqlal, disebut sebagai haji pengabdi syetan. Karenanya bagi yang ingin berangkat haji pertama kali perlu diluruskan niatnya dan mantapkan tekad untuk sebisanya menunaikan ibadah haji sekali ini saja dan berusaha melaksanakannya yang terbaik. Tidak perlu berniat untuk mengulang, walau berlimpah uang di tabungan.

Bagi yang lelaki, gambarkanlah haji yang pertama ini seperti ketika ia akan dikhitan/disunat. Cukup satu kali dan kalau bisa yang terbaik. Hampir tidak ada lelaki yang mau disunat dua kali, kecuali ada kesalahan. Bagi yang perempuan, gambarkanlah haji yang pertama ini seperti ketika ia akan menikah. Cukup satu kali, satu suami dan kalau bisa yang terbaik. Hampir tidak ada perempuan yang mau menikah dua kali, kecuali ada alasan sangat kuat untuk itu.

Jika niat demikian dilaksanakan, insya Allah tidak perlu lagi ada haji dua-tiga kali atau lebih. Harta yang ada dapat disalurkan ke ibadah sosial yang pahalanya jauh lebih tinggi ketimbang ibadah haji itu sendiri. Soal apakah haji yang sekali itu mantap atau tidak, sempurna atau tidak, mabrur atau tidak, asal sudah sesuai dengan syariat Islam, serahkan saja kepada Allah Swt. Itu bukan urusan kita.
Jadi, haji satu kali (insya Allah) lebih baik. Allahu a’lam.

Penulis Penyuluh Agama Islam Honorer Pontianak


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Salah satu kebiasaan buruk yang menunjukkan hilangnya rasa malu kaum Quraisy sebelum kenabian Muhammad Saw adalah adat pernikahan jahiliyyah yang melibatkan banyak laki-laki untuk satu perempuan. Sekadar contoh, pertama, apa yang disebut dengan istibdha’, yakni seorang suami menyuruh istrinya berhubungan dengan laki-laki lain untuk mencari keturunan yang lebih baik. Si suami kemudian tidak berhubungan dengan istrinya sampai ia dapat mengetahui dengan pasti bahwa istrinya telah mengandung janin hasil hubungannya dengan lelaki lain tadi. Jika telah mengetahuinya, si suami baru kembali berhubungan dengan istrinya.



Kedua, rahth, yakni perempuan menikah/berhubungan dengan banyak laki-laki (tapi tidak lebih dari sepuluh), dan jika si perempuan mengandung lalu melahirkan, maka ia akan memanggil semua laki-laki yang pernah berhungan dengannya dan memberitahu bahwa ia telah melahirkan seorang anak. Si perempuan itu kemudian memilih sendiri siapa di antara para lelaki itu untuk menjadi ayah anaknya dan ia menyerahkan anak itu kepadanya. (Muhammad al-Baz, “Arabic Kamasutra”). Tak ada yang boleh menentang. Tak ada tes DNA.

Kebiasaan itulah yang setelah Islam datang dihapuskan. Karena sungguh perbuatan itu hal yang tidak wajar. Dalam perbuatan itu tidak tercermin rasa malu yang seharusnya dimiliki setiap orang. Dan tatkala rasa malu telah tercabut dari masyarakat, apapun akan dilakukan tanpa rasa sungkan. Akhirnya penghormatan atas martabat manusia yang mulia pun runtuh.

Karenanya mempertahankan dan mempertebal rasa malu (untuk berbuat buruk) adalah salah satu misi Agama Islam untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat. Karena menjaga rasa malu atau budaya malu adalah satu hal yang pertama-tama diingatkan oleh Nabi Saw, sebagaimana disebutkan dalam hadis,“Sesungguhnya diantara hal-hal yang didapati manusia sebagai ungkapan kenabian yang pertama adalah ‘jika hilang rasa malumu, maka lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki’.” (HR Al-Bukhari)

Ungkapan ini ingin menunjukkan bahwa suatu masyarakat akan menjadi rusak jika rasa malu (berbuat buruk) telah hilang. Artinya dengan hilangnya rasa malu itu, seluruh elemen masyarakat, orang per orang dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Dan jika ini terjadi maka masyarakat akan dilanda apa yang disebut out of order, keluar dari ketertiban dan rusaklah masyarakat tersebut.

Pornografi (dan pornoaksi) ditengarai sebagai salah satu persoalan sosial yang menyangkut hilangnya rasa malu di masyarakat. Daerah-daerah fisik seseorang yang sebaiknya ditutup atau tidak dipertontonkan kecuali untuk keperluan yang sangat urgen dan khusus, tetapi justru dipertontonkan di hadapan publik telah mempengaruhi moralitas sebagian masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja. Dapat dilihat keresahan alim ulama, tokoh agama, dan masyarakat yang memegang teguh moralitas akan maraknya pornografi di media massa, cetak maupun elektronik. Apalagi yang dipertontonkan secara langsung (live show).

Karenanya adalah hal yang wajar jika kita memerlukan UU Pornografi, yang telah disahkan beberapa waktu lalu. Sebagai sebuah keputusan yang berat, wajar saja jika ada pihak yang pro dan kontra. Yang kontra sebetulnya tidak berarti menyetujui pornografi di masyarakat (kecuali yang mengambil keuntungan dari bisnis ini) namun peraturan itu ingin lebih diperjelas, baik materinya maupun kedudukannya di antara peraturan-peraturan lain yang telah ada lebih dulu. Bagi kaum Muslimin telah jelas bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman.

Dalam hadis yang lain Nabi bersabda, ”Diceritakan oleh Abdullah bin Yusuf ia berkata, diberitakan kepada kami oleh Malik bin Anas dari Ibn Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya bahwa sungguh Rasulullah suatu ketika melewati seorang lelaki dari kaum Anshar dan dia sedang menasehati saudaranya dalam masalah rasa malu, maka Rasulullah bersabda, “Katakan padanya bahwa sungguh rasa malu itu sebagian dari iman.” (HR Al-Bukhari). UU Pornografi diinginkan sebagai instrumen pencegahan pengikisan bahkan penghilangan rasa malu di hadapan publik.

Ada beberapa kekeliruan yang hinggap pada para pengusung anti UU Pornografi. Ade Armando – pakar komunikasi dari UI -- dalam tulisannya di Majalah Madina edisi Oktober 2008 menulis paling tidak ada 10 hal. Di antaranya, pertama, dikatakan bahwa (R)UU Pornografi bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara. Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah sekadar masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografi dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang pornografi sebagai ”anak haram” yang mengganggu etika kaum beradab dan membawa banyak masalah kemasyarakatan.

Kedua, (R)UU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat. Para pengecam menganggap bahwa UU Pornografi tidak diperlukan karena untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi.

Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun lazim mempercayai arti penting peraturan. Di Amerika Serikat, terdapat aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategori cabul. Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting, namun membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi, sementara rangsangan pornografi berlangsung secara bebas di tengah masyarakat, mungkin adalah harapan yang berlebihan.

Pada pasal 13 dan 14 UU Pornografi disebutkan adanya pengecualian untuk hal-hal yang selama ini diusung oleh para penentangnya. Yakni bahwa ia dikecualikan untuk hal-hal yang bernilai seni budaya, adat istiadat atau ritual tradisional. Artinya tidak ada persoalan bahwa orang Dayak memakai pakaian tradisionalnya, baik untuk berkesenian maupun ritual adat. Seniman tetap bisa mengekspresikan kreativitasnya selama benar-benar bermuatan seni dan ditampilkan di tempat-tempat untuk itu. Bahkan dengan adanya UU tersebut, media cetak yang sering memuat tampilan pornografis mendapat kepastian hukum yakni bahwa ia boleh beredar di tempat khusus dan sesuai peraturan yang ada. Bukan dilabrak dengan tindakan anarkhi sebagaimana pernah terjadi.

Pada pasal 22 dinyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pencegahan pornografi adalah sosialisasi UU, melaporkan pelanggaran dan melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan. Jadi kekhawatiran bahwa akan ada tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat sesungguhnya telah dibatasi oleh UU ini.

Walau hadirnya UU Pornografi belum menjamin terpeliharanya moralitas dan rasa malu masyarakat, sebagai bangsa yang mendasarkan ideologi negaranya bersumber dari agama, UU Pornografi tersebut patut diapresiasi dengan baik. Bagi orang Islam”malu adalah sebagian dari iman”. Allahu a’lam.



Penulis pernah bekerja di Kanwil Depag Prov. DIY


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Dalam anatomi ramalan sosial terdapat dua kemungkinan yang terjadi, pertama apa yang disebut dengan self-fulfilling dan kedua, yang disebut self-defeating. Self-fulfilling adalah bahwa sesuatu hal terjadi karena sudah diramalkan. Kejadian tersebut berlaku sesuai ramalan yang telah diperhitungkan sebelumnya. Biasanya ramalan demikian pada awalnya diasumsikan dengan akan hadirnya manfaat yang bakal diperoleh bila sesuatu (yang diramalkan itu) terjadi di masa depan.



Misalnya pada waktu lalu diramalkan bahwa di masa depan pergaulan manusia akan semakin mudah dengan pertolongan kecerdasan manusia yang menghasilkan teknologi maju. Ramalan tersebut bukan tanpa landasan. Sang peramal (bukan dukun dalam arti klenik dan berkonotasi syirk) membuat analisa berdasarkan pencapaian-pencapaian manusia pada masanya dan memperhitungkan kemungkinan yang dapat dicapai di masa depan. Maka apa yang diramalkan itu dapat menjadi kenyataan, contohnya, bahwa sekarang dengan bantuan teknologi maju, sebagian urusan manusia menjadi lebih mudah. Hal itu terjadi karena memang sudah diramalkan lalu kemudian ada intervensi, ada usaha-usaha untuk mewujudkannya karena dirasa hal tersebut bermanfaat.

Sedang self-defeating adalah bahwa ramalan itu tidak terjadi, meleset, justru karena sudah diramalkan. Misalnya dalam suatu Pilgub atau Pilkada dengan beberapa kandidat dimana ada faktor-faktor yang secara diametral sangat bertentangan dan berpotensi memicu konflik. Kemudian ada ramalan yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaan Pilgub atau Pilkada itu akan terjadi kerusuhan atau konflik akibat bertemunya faktor-faktor yang bertentangan itu. Atau mungkin oleh sentimen-sentimen yang lainnya. Karena kemungkinan itu tidak menyenangkan, maka akan ada intervensi untuk membelokkan ramalan tersebut agar tidak terjadi. Sejauh intervensi itu cukup kuat, maka self-defeating akan terjadi, yakni suatu peristiwa batal terjadi justru karena sudah diramalkan. Dan ramalan akan terbukti meleset.

Meskipun jika intervensinya tidak cukup kuat, maka yang akan terjadi adalah self-fulfilling, ramalan akan menjadi kenyataan. Walau kejadian itu buruk secara sosial bagi suatu pihak.

Dalam Pilkada di empat kabupaten dan kota di Kalbar satu minggu yang lalu, tentu ada ramalan atau analisa yang dibuat. Mungkin ada yang meramalkan bahwa pasangan ini akan menang namun nyatanya kalah, pasangan itu akan kalah tapi nyatanya menang (self-defeating), ada juga yang meramalkan bahwa pasangan sini akan menang dan nyatanya memang menang dan pasangan sono akan kalah dan nyatanya memang kalah (self-fulfilling).

Dari hasil ramalan sosial itu, pasti ada yang merasawa kecewa. Terlebih yang mengalami self-defeating, baik karena intervensi internal yang tidak jalan atau karena intervensi eksternal atas faktor-faktor lain dari seterunya lebih manjur. Ajaran universalnya adalah marilah kita hargai hasil yang diperoleh baik bagi kita sendiri maupun bagi orang lain. Bagi diri sendiri, hal tersebut adalah suatu pembelajaran, suatu kerangka evaluasi yang lebih mendalam seperti apa jati diri kita sebenarnya. Sedang bagi orang lain, kita hargai kehebatan yang dimilikinya sebagai sebuah kenyataan. Jika pilihan itu baik, insya Allah ia akan bermanfaat. Demokrasi yang kita anut sekarang – seberapapun banyak orang yang tidak ikhlas menerimanya – mendasarkan pada suara terbanyak yang dapat diperoleh atas suatu pilihan. Ia tidak memusingkan bahwa jumlah kumulatif antara yang tidak memilih dan suara-suara yang kalah akan lebih banyak jumlahnya dibanding yang dianggap menang. Karena ini memang yang berlaku, maka perintah Allah dalam al-Qur’an, bertawakkallah kepada Allah jika suatu urusan sudah diputuskan.

Sungguh tidak baik jika pertentangan diperpanjang, apalagi jika menyangkut internal umat Islam. Firman Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 103 menyebutkan (artinya), “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Firman Allah ini secara jelas diakhiri dengan perkataan “agar kamu mendapat petunjuk”. Artinya belajarlah dari kejadian di masa lalu, tatkala kamu saling bertentangan (termasuk seperti sebagian kaum muslimin sekarang ini) sehingga energimu habis untuk berkelahi sendiri, diibaratkan kecelakaan paling buruk sudah siap yakni kalian sudah berada di tubir neraka. Jika bukan karena rahmat Allah, sungguh kalian telah hancur. Agar kehancuran seperti itu tidak senantiasa berulang, apalagi jika memang sudah ada pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran, marilah hal itu dijadikan petunjuk. Kecuali kita memang bebal.

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya menulis, “berpegang teguhlah” berarti upayakan sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakkan disiplin tanpa kecuali. Sehingga kalau ada yang lupa, ingatkan dia, atau ada yang tergelincir, bantu ia bangkit agar semua dapat bergantung “kepada tali (agama) Allah”. Kalau kamu lengah atau ada salah seorang yang menyimpang, maka keseimbangan akan kacau dan disiplin akan rusak.

Kelengahan, penyimpangan adalah salah satu kelemahan manusia. Hal itu dapat dipengaruhi oleh perasaan hebat dalam dirinya (‘ujub) dan merasa harus ditampak-tampakkan, atau karena iming-iming kekuasaan dan harta. Kesemua itu akibat bisikan syetan yang menelusup dalam dada (alladzi yuwaswisu fi shudurinnas).

Sebagian pertarungan sudah usai. Ramalan-ramalan telah menampakkan hasilnya. Saatnya kembali untuk belajar, belajar dan belajar dari seluruh pengalaman yang telah kita lalui. Jika kita bukan orang yang bebal. Allahu a’lam.



Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Jika tidak ada aral melintang, tanggal 25 Oktober 2008 besok akan berlangsung pemilihan pasangan calon kepala daerah di empat daerah di Kalimantan Barat. Banyak pasangan yang menjadi jago atau calon kepala daerah dan masing-masing telah melampaui masa perkenalan dan pengenalan kepada masyarakat pemilih yang biasa disebut kampanye (campaign).



Pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang, walau tidak selalu setelah mengenal akan tumbuh rasa sayang. Terkadang justru karena lebih mengenal maka justru harus meninggalkan. Namun juga tidak berarti bahwa lebih baik tidak perlu mengenal (lebih dalam) untuk mendatangkan rasa cinta atau kasih sayang, karena hal itu disebut cinta buta. Hal yang ditunjukkan oleh Islam sebagaimana tercantum dalam Qs. Al Hujuraat : 13 yang sangat populer adalah bahwa semua pengenalan haruslah bersifat positif, saling menghargai perbedaan apapun yang diidap oleh setiap individu atau kelompok masyarakat. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Walau pengutipan ayat di atas terasa klise, namun sebagai bagian dari sebuah kitab suci yang transcendent (inspiring), maka ia senantiasa patut disebut karena akan memberi landasan bertindak. Agar prilaku individu dan masyarakat lebih terarah dan terkontrol.

Dalam konteks pemilihan pasangan calon kepada daerah dalam nuansa demokrasi dimana penentuan pasangan terpilih dilakukan lewat pemungutan suara, terlebih saat ini dengan pemilihan langsung, maka hal-hal yang dapat merusak proses itu harus dieliminir (dikurangi sedemikian rupa) dan dihilangkan, kalau bisa. Hal-hal itu misalnya kecurangan dan ketidakadilan.

Kejujuran dan keadilan (jurdil) akan selalu diangkat ke permukaan karena pengingkaran atas asas itu akan memancing keburukan. Nabi Muhammad Saw sebagai sosok teladan bagi umat Islam dan diakui integritasnya oleh umat non-Islam yang objektif pertama-tama diakui atau dikenali sebagai Al-Amin, orang yang dapat dipercaya. Kepercayaan itu didapat pasti dilandasi kejujuran (shiddiq) yang selalu beliau tunjukkan dan keadilan dalam menyelesaikan masalah. Tidak mungkin orang percaya kepada seseorang jika ia tidak jujur dan atau adil.

Di beberapa daerah di Indonesia proses pemilihan calon kepala daerah (Pilgub, Pilbup, Pilwako) ada yang berbuntut kerusuhan, konflik, dan tak kunjung bisa tertangani. Ditengarai hal yang menyulut antara lain adanya ketidakadilan dan kecurangan. Jika ketidakpercayaan kepada institusi yang berwenang dalam penyelesaian perselisihan Pilkada terjadi dan prasangka terus berkembang, maka ekses buruk Pilkada akan menimpa masyarakat. Karenanya asas kejujuran harus benar-benar dijunjung tinggi dan ditegakkan. Integritas panitia dan pengawas Pilkada harus dapat dipercaya bahwa ia bisa berlaku jujur dan adil. Jika asas dan integritas itu dilanggar, apalagi secara sengaja untuk memenangkan salah satu pasangan dari semua kandidat yang maju, maka konflik dapat terjadi. Karenanya firman Allah agar kita berbuat adil dan jujur itu harus benar-benar diterapkan. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Maidah : 8) “Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu).” (Qs. Al-An’am 152)

Kecurangan dan ketidakadilan (jelasnya : keberpihakan) dapat dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan, baik yang bersifat pragmatis atau ideologis. Yang pragmatis misalnya untuk mencapai keuntungan-keuntungan duniawi (modal, popularitas, kekuasaan) sedang yang ideologis misalnya untuk keunggulan ideologi, agama atau pilihan politik. Dalam kaitan pembentukan budaya politik modern, ternyata politik primordial (agama atau yang lainnya) masih kuat. Maka tak heran jika agama, etnis, sering terjebak menjadi “kartu politik” ketimbang sebagai referensi (rujukan) moral politik yang objektif. (Moeslim Abdurrahman, 2004) Jika agama, misalnya, hanya diperlakukan sebagai “kartu politik” maka umat beragama akan digiring untuk menyetujui pilihan yang sesuai agamanya walau si calon tidak selalu terlihat “saleh” dalam kehidupannya. Maka untuk menentukan pilihannya, masyarakat harus mengedepankan pula pertimbangan rasional dimana sang calon menggunakan agama (Islam) sebagai referensi moral politiknya, kehidupannya bermasyarakat dan memperlihatkan komitmennya yang kuat terhadap kesejahteraan masyarakat.

Semua calon telah memperkenalkan dirinya, janji-janjinya. Kini masyarakatlah yang akan memilih diantara isu-isu yang bergentayangan. Pilihan rasional dalam sistem pemilihan langsung dengan banyak kandidat kadang tidak selalu sesuai hati nurani. Marilah berlapang dada. Tegakkan kejujuran dan keadilan. Hindari konflik akibat kecurangan. Allahu a’lam.


Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Alhamdulillah, disela-sela kesibukan, kami telah menyelesaikan penyusunan silsilah Bani Kromowijoyo - Abdurrahman versi digital. Silsilah ini merupakan pengembangan dari silsilah versi cetak yang telah disusun sebelumnya.
Untuk tahap pertama, silsilah ini dibuat dalam 2 versi, yaitu :
  • Versi 01.a menggunakan MS Excel
  • Versi 01.b menggunakan Freemind

Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, silahkan dipilih mana yang paling cocok.

Versi 01.a


Versi 01.b


Rencananya silsilah ini akan dilengkapi dengan foto, sehingga akan sangat memudahkan bagi para sedulur yang jarang ketemu karena tinggal di luar kota, luar pulau, atau bahkan di luar negeri. Namun untuk versi 01 ini belum seluruhnya dilengkapi foto karena kami masih menunggu kiriman foto-foto keluarga dari para sedulur.

Bagi para sedulur yang mau mengirimkan foto, bisa dikirimkan lewat e-mail ke putrowayah@gmail.com. Bagi yang telah mengirimkan foto, disediakan bonus menarik berupa foto-foto jadul (jaman dulu) koleksi "Museum Foto" Ledok :-). Salah satunya adalah foto ini, Si Bolang (Bocah Petualang) Era '60-an :


Para Sedulur yang ingin mendapatkan silsilah ini bisa mengirimkan e-mail ke putrowayah@gmail.com dengan menyebutkan identitas yang jelas. Ayo.. tunggu apa lagi..!!

Semoga dengan silsilah ini akan semakin mengakrabkan kita semua dalam rangka menjalin tali shilaturrahim. Amin. [putrowayah]


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Waktu bulan Ramadhan yang lalu, satu hal yang selalu dinasehatkan para penceramah adalah jangan merusak pahala puasa dengan perkataan yang tidak perlu, bergunjing, dan berbohong atau berdusta. Dalam hadis riwayat Al-Bukhari dinyatakan, ‘Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasul bersabda, ‘Barang siapa tidak dapat meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta (waktu berpuasa) maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya.” Maka setelah keluar dari bulan suci itu pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar telah dapat meninggalkan dusta? Tentu yang mampu menjawabnya hanyalah kita sendiri. Jika kita jujur.

Apakah yang membuat seseorang berdusta? Tentu banyak hal. Namun salah satu sebab yang Nabi Muhammad berdo’a dan berlindung kepada Allah agar dijauhkan darinya adalah masalah hutang. Sebuah hadis sahih patut dikutip, dari ‘Aisyah ra. “Sungguh Rasulullah Saw berdo’a dalam sholat, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.’ Maka seseorang berkata kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah, alangkah banyaknya Anda memohon perlindungan kepada Allah dari hutang.’ Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya apabila orang itu berhutang, (biasanya bila) dia berbicara maka dia berdusta, dan bila berjanji maka dia tidak menepatinya.’” (HR Al-Bukhari/798 dan Muslim/920)

Sewaktu Indonesia diterpa badai krisis tahun 1997-1998, Bank Indonesia mengucurkan hutang kepada berbagai bank swasta nasional dalam jumlah sangat banyak yang sebagian besarnya dimiliki para konglomerat dengan jaringan usaha begitu rupa. Celakanya, uang itu bukannya untuk menyehatkan bank atau usaha yang mereka miliki secara benar-benar, namun justru banyak diselewengkan untuk hal-hal yang tidak fundamental. Akhirnya hutang itu macet. Banyak formula pengembalian dibikin, namun tak efektif. Tetap saja para konglomerat itu mengemplang. Agaknya bukan karena benar-benar tak punya uang, tapi karena mereka memang tidak bersedia secara sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya. Dan apa yang mereka lakukan kemudian? Melarikan diri ke luar negeri!

Inilah kebenaran yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw. Bahwa jika orang berhutang biasanya bila berbicara dia berdusta dan bila berjanji mengingkari. Para konglomerat itu sebagiannya telah berjanji untuk melunasi hutang-hutangnya namun kenyataannya tak ada yang mulus. Bahkan ada yang merekayasa agar kasus hutangnya (biasa disebut kasus BLBI) sebisa-bisanya tidak diutak-atik. Alias anggap saja tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan. Jadi selain mengingkari janji mereka juga cenderung berdusta. Jika mereka tidak cenderung berdusta, tentu akan secara jantan mengatakan apa yang terjadi dan berani menghadapi resiko yang bakal diterima. Tapi hati mereka ciut dan memilih bersembunyi di luar negeri.

Tidak semua hutang sebesar yang dikemplang para konglomerat itu. Siapa saja tentu pernah berhutang dalam jumlah berapapun. Apalagi di zaman seperti sekarang, di mana hutang justru ditawarkan misalnya oleh bank, dealer motor, mobil atau asuransi penjaminan kredit. Hal itu tentu tidak menimbulkan masalah, karena satu pihak ada kekuatan untuk memaksa dan ada limit hutang yang tidak terlalu besar. Maksudnya bahwa antar pihak ada mekanisme pembayaran yang jelas dan jaminan uang untuk membayarnya, misalnya lewat pemotongan gaji di kantor yang menyebabkan orang yang berhutang tidak mungkin –paling tidak diminimalisir—untuk mengemplang. Namun jika tidak ada mekanisme dan kesepakatan apapun, apa yang dikhawatirkan Nabi Saw sangat mungkin terjadi.

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa janji adalah hutang (al wa’du dainun). Ini menunjukkan bahwa hutang memang tidak selalu berarti uang atau barang. Realitanya memang hampir selalu demikian. Orang yang berjanji berarti orang itu sedang berhutang sampai janjinya dipenuhi. Makin banyak orang membuat janji, makin banyak pula hutang yang harus dilunasinya. Orang yang banyak janji biasanya tidak terlalu tenang menjalani hidup. Apalagi jika janjinya adalah sesuatu hal yang besar atau berat. Dalam Islam ada sebuah janji yang wajib dipenuhi, yaitu nadzar, sepanjang bukan untuk berbuat maksiat. Nadzar wajib dipenuhi karena ia adalah janji kepada Allah Swt secara suka rela. Karenanya sebaiknya seseorang tidak terlalu mudah membuat nadzar, kecuali untuk meneguhkan niat bagi suatu hal yang besar yang mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bagi orang lain.

Pada musim kampanye Pilgub, Pilkada dan Pileg (pemilihan legislatif), hampir tak bisa dihindari para kandidat akan membuat janji-janji, baik dinyatakan secara terus terang atau yang berpura-pura menggunakan istilah lain. Semakin banyak janji yang diutarakan berarti makin banyak hutang yang kelak harus dipenuhinya. Konstituen (pendukung) dan audiens (masyarakat) umumnya akan mencatat janji apa saja yang dilontarkan dan kelak mereka akan menagih realisasinya.

Nah pengalaman yang terjadi, realisasi tidak sebanyak janji-janji. Akhirnya ada kecenderungan untuk mengelak dari tuntutan (sebagiannya) dengan dusta dan yang jelas ia telah berbuat ingkar. Orang demikian secara tidak sadar menjurus menjadi munafik yang diantara tanda-tandanya adalah bila berkata berdusta dan bila berjanji mengingkari. Karena dalam kampanye janji nyaris tidak bisa dihindari tentu harus dipilih janji yang paling mungkin untuk ditepati. Tidak boleh orang berjanji sekaligus berniat untuk mengingkari. Ia berjanji sekadar untuk gengsi dan menyenangkan orang.

Setelah puasa Ramadhan berlalu dan kaum muslimin telah berlatih secara sungguh-sungguh untuk meninggalkan dusta, kinilah saatnya kita benar-benar mengujinya dalam kehidupan yang tidak selalu ramah ini. Terlebih bagi orang-orang yang punya hasrat menjadi pemimpin daerah atau anggota dewan yang terhormat. Hutang bisa berupa uang, bisa berupa janji. Allahu a’lam.



Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin


Tatkala datang Idul Fitri, ungkapan ataupun kalimat yang paling banyak berhamburan adalah soal kemenangan dari masa ujian, dikaitkan dengan pelaksanaan puasa Ramadhan selama satu bulan yang baru saja berlalu. Hal ini terjadi karena setiap penceramah hampir selalu mengatakan bahwa puasa Ramadhan adalah ujian atau latihan keimanan sehingga siapa yang sanggup melaksanakannya sebulan penuh, atau tatkala Ramadhan berakhir, yang datang kemudian adalah hari kemenangan. Walau kita tidak tahu pasti apakah kita benar-benar menang. Yang penting, pas Idul Fitri semua orang merasa menang dan lulus dari ujian. Berapapun nilai yang didapat.

Kemudian ungkapan berikutnya adalah bahwa Idul Fitri berarti mengembalikan kita pada fitrah, kesucian atau asal mula kejadian yang sejati. Ini dipahami dari asal kata ied yang berarti kembali dan fitri yang berarti suci. Dikaitkan dengan hadis tentang barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan sepenuh iman dan harapan ridha Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka kembali kepada kesucian menjadi sangat relevan.

Setelah itu yang juga populer adalah ungkapan mengenai silaturahmi, halal bi halal, yang untuk konteks Indonesia berarti saling maaf memaafkan antara keluarga, kaum kerabat dekat, teman, kenalan, rakyat kecil dengan rakyat besar (baca : para pejabat) dan sebagainya. Walau disadari tradisi ini adalah khas lokal Nusantara dan yang serumpun (jadi bukan ajaran agama) namun kegiatan ini terus bergulir baik sebagai wacana maupun sebagai praksis di masyarakat. Sebagai wacana, ungkapan ini tak kalah serunya dikupas para khatib saat Idul Fitri.

Kalau kita amati, maka sebagian besar tema-tema khutbah Idul Fitri memang berkisar soal ‘hari kemenangan’, ‘kembali kepada kesucian’ dan makna ‘silaturahmi’. Ada juga yang melatarbelakanginya dengan makna bulan Ramadhan yang lalu, sehingga banyak khatib yang mengatakan bahwa ada hadis Rasul yang menyabdakan “kalau sekiranya umatku (Muhammad) tahu keutamaan bulan Ramadhan maka niscaya mereka akan meminta seluruh bulan dalam setahun dijadikan Ramadhan”. Sesungguhnya hadis ini berkwalitas sangat lemah/palsu dan tidak dijumpai dalam kitab-kitab hadis yang mu’tabar.

Tentang arti Idul Fitri sendiri, ada yang memaknainya sebagai ‘Hari Raya Berbuka’. Kata ied sebagai isim (kata benda) berarti hari raya, sebagaimana tercantum dalam Qs. Al Maidah ayat 114, “Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya (‘id) bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama”. Dan Qs. Thaha ayat 59, “berkata Musa: "Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya (mau’udakum) dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik”. (Lihat penjelasan ringkasnya dalam Tafsir Jalalain). Begitu pula dalam hadis Nabi Saw riwayat al-Bukhari yang menyatakan, “Wahai Abu Bakar sesungguhnya pada tiap kaum ada hari raya dan inilah hari raya kita.” Yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Ied juga berarti yaumun jam’un nas, hari berkumpulnya banyak orang, sehingga hari Jum’at juga disebut ied, karena pada hari Jum’at berkumpul banyak orang untuk melaksanakan sholat Jum’at. Tidak ada sholat Jum’at yang dilaksanakan sendirian.

Sedang fitri dalam konteks Idul Fitri terambil dari kata ifthar yang berarti berbuka puasa. Maka Idul Fitri adalah hari raya berbuka, karena kita telah melampaui masa berpuasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Dan setelah itu kita dapat melakukan berbagai kegiatan sebagaimana biasa seperti sebelum bulan Ramadhan tiba, terkecuali mengulangi kesalahan yang pernah kita perbuat. Karenanya di kawasan Timur Tengah, Idul Fitri tidaklah dirayakan atau dibesar-besarkan seperti di Indonesia. Sedang Idul Adha, Idul Qurban atau Idul Hajji dirayakan secara meriah karena ia berkenaan dengan ritual haji yang sarat makna dan ujian pula. Dalam konteks ini Idul Adha berarti hari raya (id) penyembelihan, Idul Hajji berarti hari raya (id) hajji. Hampir tidak ada yang memaknai Idul Adha atau Idul Hajji sebagai kembali kepada penyembelihan atau kembali kepada hajji.

Di samping soal makna kata, yang juga kurang sering disinggung dalam Idul Fitri adalah masalah pentingnya shadaqah. Alih-alih menekankan soal shadaqah pada khutbah Idul Fitri, banyak khatib lebih memilih mengupas hal-hal yang telah disinggung di awal tulisan, yakni soal makna idul fitri, hikmah Ramadhan dan silaturhami. Padahal shadaqah dalam konteks sehabis Ramadhan menjadi sangat penting karena ia adalah aktualiasai berkelanjutan dari kepedulian kepada fakir miskin, perasaan senasib dalam haus dan lapas, dan tolong menolong atas kekurangberuntungan kaum miskin.

Bahkan dalam hadis riwayat al-Bukhari diriwayatkan, “Nabi Muhammad Saw keluar pada hari ‘Ied lalu shalat 2 rakaat, beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya, lalu meminta sedekah harta pada para wanita dan Bilal bersamanya, lalu Nabi menasehati mereka dan memerintah mereka agar bersedekah, maka para wanita itu meletakkan kalung dan giwang (untuk disedekahkah).” Meski dalam teks hadis ini disebut secara spesifik kata ‘wanita’ namun bukan berarti tidak untuk pria. Karena pada waktu itu, di Arab, para wanitalah yang banyak memakai perhiasan (atau membawa harta) saat hadir pada shalat Id dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Sedang pada masa kini, baik laki-laki maupun perempuan banyak yang memakai perhiasan mahal saat Idul Fitri dan dalam kehidupan sehari-hari. Nabi mendatangi para perempuan untuk bersedekah lalu kemudian pada perempuan itu mencopoti kalung dan giwangnya untuk disedekahkan mempunyai makna betapa sangat pentingnya bersedekah pada saat Id dan kehidupan sehari-hari.

Dalam hadis riwayat al-Bukhari yang lain Nabi bersabda, “Wahai sekalian manusia, bersedekahlah kamu sekalian.” Perintah Nabi ini diucapkan saat beliau keluar untuk melasanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. (Shahih al-Bukhari/1393). Sedang dalam hadis riwayat Muslim, perintah bersedekah itu diulang oleh Nabi Saw sebanyak 3 kali, “tashaddaquu, tashaddaquu, tashaddaquu.” (Shahih Muslim/1472).

Mengingat hadis Nabi di atas, maka setelah Ramadhan dan Idul Fitri berlalu jangan sampai persoalan zakat, infaq dan shadaqah terlupakan. Jangan sampai pada saat Idul Fitri yang akan datang (tahun depan) kita tidak mampu bershadaqah seperti diperintahkan Nabi karena uang kita sudah habis di depan kasir super market. Allaahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*
Barangkali tidak begitu kita rasakan, ternyata saat ini kita telah berada di paruh kedua bulan Ramadhan. Bahkan saat ini kita berada di seputaran tanggal 17 Ramadhan, tanggal yang dianggap sebagai permulaan ayat al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad Saw. Itulah hari yang kita sebut sebagai Nuzul al-Qur’an.
Suatu hari istimewa bagi Muhammad yang saat itu sedang bertahannus (bersendiri untuk merenung) di Gua Hira. Bulan Ramadhan memang dinyatakan oleh Allah sebagai bulan di mana al-Qur’an diturunkan, namun tidak ada keterangan pasti pada tanggal berapa.
Firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 185 menyatakan, (artinya) “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil) ... dst.” Meski dalam ayat itu Allah memakai kata “nuzul” yang berarti ‘turun’ namun al-Zurqani sebagaimana dikutip Prof. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya “Islam Masa Kini”, menyatakan cenderung mengkonotasikan kata-kata nuzul atau nazala untuk al-Qur’an dengan pengertian majazi (kiasan), yaitu al-I’lam (pemberitahuan). Maka ungkapan Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Saw, harus diartikan Allah memberitahukan al-Qur’an kepada Nabi Saw.

Dalam Bahasa Arab, nazala memiliki dua arti. Pertama, nazala berarti singgah atau menempati, seperti ungkapan nazala al-amir al-madinah (kepala negara itu singgah di kota). Kedua, nazala berarti berjalan dari atas ke bawah (turun). Seperti ungkapan, nazala Ahmad min al-jabal (Ahmad berjalan dari atas ke bawah gunung). Menurut al-Zurqani, kedua pengertian di atas tidak layak diterapkan pada al-Qur’an. Karena pengertian singgah ataupun berjalan dari atas ke bawah hanya dapat dilakukan oleh sesuatu yang bersifat material, sementara al-Qur’an sebagai firman Allah bukanlah sesuatu yang material.

Sementara tanggal 17 Ramadhan populer sebagai awal Nuzul al-Qur’an adalah buah analisis sejarahwan Islam Ibnu Ishaq (wafat 150 H) yang menyandarkan argumennya pada firman Allah dalam Qs. Al-Anfal ayat 41, (artinya) “... Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.”

Furqaan ialah pemisah antara yang haq dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di peperangan Badar, pada hari Jum'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. Ibn Ishaq berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al-Quran al-Karim pada malam 17 Ramadhan, meski tahunnya tidak sama. Pendapat Ibn Ishaq ini kemudian dikutip oleh Muhammad al-Khudori dalam ‘Tarikh Tasyri’ al-Islami’ yang sangat populer di Indonesia, sehingga melembagalah perhitungan 17 Ramadhan sebagai awal turunnya Al-Qur’an.

Prof. Mustafa Yaqub sendiri mencoba memverifikasi pendapat Ibn Ishaq dan hadis-hadis yang berkenaan dengan Nuzul al-Qur’an dan mendapati tiga buah hadis yang saling melengkapi sehingga berderajat hasan lighairihi (baik karena dukungan yang lain) yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan pada hari keduapuluh empat bulan Ramadhan.

Diluar perdebatan soal ketepatan tanggal Nuzul al-Qur’an, yang jelas bulan Ramadhan dipilih sebagai bulan turunnya al-Qur’an mengimplikasikan bahwa Ramadhan adalah bulan yang mulia. Prof. Quraish Shihab menyatakan, al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan mengisyaratkan bahwa sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an selama bulan Ramadhan dan yang mempelajarinya diharapkan dapat memperoleh petunjuk serta memahami dan menerapkan penjelasan-penjelasannya, karena orang tersebut pada bulan Ramadhan sedang membersihkan hatinya dan jiwanya sedemikian cerah, pikirannya jernih, sehingga akan memperoleh kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil.

Sedang al-Furqaan adalah ilmu yang benar dan hukum yang haq tentang suatu perkara. Atau yang biasa disebut sebagai tolok ukur. Landasan tolok ukur ini tentu saja al-Qur’an dan Hadis, baik dalam bentuk hukum maupun etika/moral. Orang yang dikaruniai al-Furqaan tidak mendahulukan hukum dan mengabaikan moralitas, atau mengutamakan etika dan mengabaikan kebenaran hukumnya.

Rasyid Ridla menyatakan bahwa al-Furqaan juga bermakna sebagai an-Nuur, cahaya. Sehingga orang yang takwa (sebagai tujuan puasa Ramadhan) harus mencerminkan sikap an-Nuur, cahaya dalam setiap aspek kehidupannya.

Pertanyaannya, sebegitu jauh kita telah berpuasa Ramadhan, sudahkah kita menangkap makna al-Furqaan dalam hidup kita dan sudahkah kita menjadi an-Nuur, cahaya bagi orang-orang di sekitar kita? Nuzul al-Qur’an semoga bukan sekadar sebuah perayaan peringatan yang melengkapi kemeriahan bulan Ramadhan. Allahu a’lam.


Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Mengikuti tahapan peradaban versi Alvin Toffler dalam bukunya “Gelombang Ketiga” dan “Kejutan Masa Depan”, saat ini sebagian besar warga dunia berada dalam tahap Peradaban Informasi, dimana informasi dan komunikasi cepat menjadi kebutuhan sangat penting bagi masyarakat. Komputer yang masa awalnya sebesar almari kini telah dapat hadir di mana saja, di atas pangkuan kita (laptop) atau dalam genggaman tangan (palmtop/PDA).
Radio transistor yang awal kelahirannya menggunakan tabung-tabung gelas aneka ukuran, kini menjadi lebih simpel, lebih kecil bahkan terintegrasi dengan fasilitas lain semisal pemutar kaset/CD/VCD di mobil dan hand phone (HP) sehingga dapat didengar di mana saja. Dalam keadaan demikian, informasi dan akses komunikasi cepat menjadi satu kebutuhan yang telah menempati “jantung” kehidupan masyarakat modern. Begitu dominannya kebutuhan informasi ini, orang yang kehilangan alat informasi dan komunikasi seolah-olah kehilangan “sebahagian nyawa hidupnya”.

Sesungguhnya yang membuat alat komunikasi dan penerima informasi itu menjadi sangat penting bukanlah harga bendanya, namun kegunaan dan data yang mungkin tersimpan di dalamnya. Sebuah laptop yang mahal di tangan masyarakat Gelombang Pertama, misalnya yang masih menghuni di pedesaan terpencil atau daerah terisolir, tidaklah berarti apa-apa. Ia mungkin hanya akan dijadikan alas memotong sayur atau mengiris bawang merah. Namun bagi masyarakat Gelombang Ketiga, laptop itu dapat berharga tiga kali lipat lebih mahal dibanding harga beli barangnya. Maka tak heran jika orang kehilangan laptop yang disesali adalah hilangnya data yang sangat berarti baginya.

Keadaan serupa di atas berlaku pula dengan dunia hand phone (HP/hape). Revolusi telepon dari fixed (tetap/rumahan) menjadi mobile (bergerak) sangat membantu kita dalam hal informasi dan komunikasi. Dengan hape, kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang kita perlukan tanpa kerepotan mencari wartel seperti waktu yang lalu. Dengan hape, kita dapat berkomunikasi oral (lisan) dan verbal lewat Short Massage Service (SMS) bahkan dengan gambar dan video. Kecanggihan hasil teknologi ini menolong mempermudah kehidupan kita. Prof. M. Quraish Shihab bilang, dengan agama hidup menjadi terarah, dengan teknologi hidup menjadi lebih mudah. Seiring banyaknya perusahaan pembuat hape dan operator jaringan komunikasi, harga di pasaran pun kian murah. Tak heran jika anak-anak SD, tukang becak, penjaja sayur pun asyik berhape ria.


SMS Dakwah dan SMS ‘Dukun’

Kehebohan ini dalam pandangan para da’i dan muballigh adalah peluang untuk berdakwah. Toh metode dakwah bukan ceramah belaka. Maka bersyukur atas berkah teknologi hape, dikombinasikan dengan software komputer, muncullah siaran dakwah lewat hape, baik dengan SMS atau lisan yang dapat disiarkan pula langsung lewat siaran radio. Di tataran nasional, layanan dakwah lewat SMS berlangganan diawali oleh KH Abdullah Gymnastiar, Ikhsan Tanjung, Didin Hafiduddin dan Arifin Ilham. Masyarakat yang berminat dapat memilih salah satu ustadz atau borongan dengan mendaftar (REG) ke operator, cukup dengan mengetik kode yang ditunjukkan lewat iklan dan mengirim ke nomor yang dituju. Tak lama kemudian, ia akan menerima konfirmasi registrasi dan akan segera mendapat siraman ruhani setiap hari. Bukan hanya siraman ruhani, dengan fasilitas hape, kita dapat pula minta do’a, pilihan ayat al-Qur’an ataupun hadis-hadis yang telah masuk dalam database penyedia layanan dakwah SMS ini. Inilah salah satu berkah teknologi dalam menolong mempermudah penyebaran dakwah Islam kepada masyarakat. Kini layanan SMS dakwah sudah meluas sampai di daerah-daerah dengan pelayanan dari da’i atau muballigh setempat. Alhamdulillah.

Namun rupanya layanan SMS bukan hanya dilirik da’i untuk berdakwah. Ia pun dilirik para penipu untuk mencari mangsa kepada warga masyarakat yang tidak cukup cerdas dan waspada. Yang tak mau ketinggalan adalah para paranormal, cenayang, peramal dan ‘dukun’. Dulu orang datang kepada mereka, sekarang mereka yang datang kepada masyarakat lewat hape dengan cara berlangganan. Sebagian para paranormal, cenayang dan peramal itu beriklan di media massa dan meminta pemirsa berlangganan ramalan hidupnya dengan cara mengirim nama atau nomor hape (maksudnya sim card) kita. Begitu pun yang ingin tahu ramalan hidupnya melalui astrologi atau zodiac, ada layanannya pula.

Jadi selain ada SMS dakwah, ada pula SMS “perdukunan” modern. Inilah yang disebut peperangan via SMS. Padahal dalam Islam perihal perdukunan dan peramalan hidup adalah perkara yang besar. Sebab ia dapat mengotori keimanan seseorang dan menggoyahkan ketaqwaannya kepada Allah Swt. Dalam hadis diriwayatkan, ”Dari Hafshah, dia berkata, bersabda Rasulullah SAW, ”Barang siapa mendatangi dukun peramal dan bertanya tentang sesuatu maka shalatnya selama empat puluh malam, tidak akan diterima’.” (HR. Muslim). Dalam redaksi yang lain, dari Shafiyah binti Abi ’Ubaid (istri Nabi), Nabi bersabda, ”Barang siapa mendatangi dukun peramal dan bertanya tentang sesuatu kemudian ia membenarkannya maka shalatnya selama empat puluh hari tidak akan diterima’.” (HR. Muslim). Kedua hadis di atas adalah shahih. Banyak lagi hadis semakna yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, Baihaqi, Thabrani.

Dalam hadis shahih yang dikeluarkan Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibn Majah diriwayatkan, ”Dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW bersabda, ’Ramalan mujur-sial adalah syirik (Rasul mengulanginya tiga kali) dan tiap orang pasti terlintas dalam hatinya perasaan demikian, tetapi Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakkal’.”

Pada zaman dahulu orang menemui dukun dan peramal dengan datang bertatap muka, kini menemui dan berbicara dengan dukun dan peramal dapat dilakukan jarak jauh dan berlangganan dengan fasilitas SMS. Essensinya sama dan hukumnya pun sama. Yakni haram dan berdosa. Tentu ada orang yang berkilah bahwa bertanya ramalan lewat SMS hanya iseng, namun hal itu terjawab dengan hadis riwayat al-Bukhari di atas. Bahwa setiap orang dapat terlintas untuk mengetahui nasib hidupnya, baik iseng atau sungguh-sungguh. Karena hal itu dapat menggoyahkan iman, maka ia sangat dilarang, dan Allah menegaskan agar kita bertawakkal kepada-Nya. Allahu a’lam.


Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Di zaman informasi seperti sekarang ini, tak pelak berita-berita dari manapun mudah diakses. Berita datang silih berganti dengan beraneka isi. Sampai-sampai ada yang menjadi bingung, bimbang, takut, gelisah, sesungguhnya apa yang sedang terjadi di dunia atau negeri kita ini.

Lantaran informasi datang dari berbagai saluran, kita di sini menjadi tahu bahwa di daerah tertentu terus terjadi pergolakan (di Maluku Utara, misalnya). Berita tentang kerusuhan, pembunuhan dan berita-berita belum terbukti menghujani kita setiap saat, membikin kita limbung, seolah negeri ini memang sedang kacau balau. Hal itu dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, was-was, yang dalam skala tertentu dapat memunculkan gejala-gejala penyakit kejiwaan.

Tampaknya dewasa ini kejahatan sedang bersimaharaja lela. Hal ini memang menimbulkan kecemasan masyarakat. Pembunuhan terjadi seolah tak kenal tempat dan waktu. Bahkan dengan cara-cara yang sangat sadistis. Padahal pembunuhan adalah kejahatan kemanusiaan yang paling besar. Masyarakat Arab pra-Islam dibilang Jahiliyah antara lain karena pembunuhan dianggap hal yang biasa. Kehancuran bangsa-bangsa terdahulu salah satu penyebabnya adalah bersimaharaja lelanya pembunuhan sedang orang-orang tak kuasa menghentikannya. Bila kejahatan terus berjalan maka kegelapan akan segera tiba.

Dalam bahasa agama, kejahatan disebut sebagai dosa, lawan dari pahala. Menganut agama hampir mustahil tanpa menerima dan menghayati konsep pahala dan dosa ini. Apalagi jika agama itu berpusat kepada keimanan kepada Allah yang menghendaki perbuatan baik sebagai sarana pendekatan kepada-Nya. Allah berfirman dalam Qs. Al-Kahfi ayat 110 yang artinya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Al-Qur’an banyak menggunakan kata “dzulm” untuk kejahatan atau dosa. Dan pelakunya “dzalim” (atau lalim dalam Bhs. Indonesia). Dari segi bahasa, dzulm arinya gelap (dzulmatun berarti gelap gulita), karena memang kejahatan itu menimbulkan kegelapan hati. Dan dhalim berarti orang yang melakukan kegelapan. Makna ini berhimpitan dengan konsep lain dalam agama tentang hakikat hati sebagai “hati nurani”. Nurani berarti ‘bersifat nur’ atau ‘cahaya’. Karena hati kita bersifat menerangi jalan hidup kita dan merupakan hidayah asli dari Allah. Hati akan tetap terang atau ‘nurani’ selama seseorang tidak melakukan kejahatan yang akan membuat hati bersifat gelap (dzulmani). Oleh karenanya, dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa jika seseorang melakukan kejahatan, ia tidaklah berbuat jahat terhadap Allah (dalam arti merugikan Allah) melainkan ia berbuat jahat terhadap dirinya sendiri; sebagaimana jika ia berbuat baik, maka ia tidaklah berbuat untuk kebaikan Allah, melainkan untuk dirinya sendiri (Qs. Al-Baqarah ayat 57, “dan tidaklah mereka menganiaya (berbuat dzalim) kepada Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”

Rasulullah bersabda, “Jauhilah dosa, sebab dosa itu adalah kegalapan di Hari Kiamat.” Seseorang memang tidak bisa bersih sama sekali dari kelalaian yang mungkin mengakibatkan dosa. Tapi selama ia masing ingat untuk kembali (taubat) kepada Allah, maka ia akan kembali tersinari (nurani). Yang sungguh celaka adalah kalau orang berbuat dosa dan ia selalu tidak merasakannya.


Kekejaman Kemanusiaan

Sebagai makhluk mulia manusia diberi beberapa hak oleh Allah yang harus dijaga dan dihiormati, diantaranya adalah hak untuk hidup. Sewaktu haji Wada’, dari atas ontanya yang berdiri di Namirah dekat bukit Arafah, Nabi Muhammad SAW berwasiat, “Wahai manusia, tahukah kamu hari apa ini?” “Inilah hari yang suci.” “Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Bulan apakah ini?” “Bulan yang suci.” Demikian pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Nabi. Kemudian Nabi melanjutkan khutbahnya, “Sesungguhnya darah (nyawa) kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian sama sucinya seperti hari ini, negeri ini dan bulan ini. Sesungguhnya umat Islam itu bersaudara, tidak boleh ditumpahkan darahnya. Tuhan kalian satu, bapak kalian adalah Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling taqwa. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, kecuali karena taqwanya.”

Inilah prinsip yang ditekankan oleh Nabi yakni hak hidup (dima’), hak milik (amwal) dan hak kehormatan (a’radl) manusia. Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa ayat 93 yang artinya, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” Ayat ini menunjukkan betapa pembunuhan adalah perbuatan dosa yang besar. Sedang dalam ayat 92, Allah menyatakan, “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).” Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya menulis bahwa ayat ini mengandung makna “tidak ada wujudnya seorang mukmin membunuh mukmin yang lain.” Yakni tidak mungkin dapat menyatu keimanan dengan pembunuhan.

Maka jika ada orang yang dikenali sebelumnya sebagai orang beriman menjadi pelaku pembunuhan tentulah keimanannya itu sekadar kamuflase. Karenanya, pertama, marilah kita senantiasa menjaga kehidupan ini dengan selalu menjaga kebersihan hati. Hati yang tersinari oleh cahaya Allah, hati nurani. Hati nurani akan selalu berkata benar dan jujur kepada kita. Sastrawan Prancis, Eugene Ionesco mengatakan, “Jika suara hati seseorang berbisik, biasanya itu merupakan tanda bahwa orang itu telah melakukan hal yang jelek.”

Kedua, bagaimanapun keadaan kita sekarang ini, jangan sampai terjadi pembunuhan (tanpa alasan yang dibenarkan). Karena ia adalah sebuah kekejaman kemanusiaan yang sangat buruk. Masyarakat tidak boleh mudah terpengaruh oleh berita-berita yang mungkin sengaja disebarkan orang tertentu untuk memperkeruh keadaan atau menakut-nakuti masyarakat. Dengan hati yang jernih, semoga berita-berita buruk yang kini mengharu-biru perasaan kita tak akan menggoyahkan keteguhan iman dan akal sehat kita. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Pada suatu hari Rasalullah SAW mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. Nabi mengambil makanan dan berkata kepadanya, ”Makanlah!”

Perempuan itu berkata, ”Saya sedang berpuasa ya, Rasululllah.”

Kata Nabi, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa, padahal telah kau maki jariyah-mu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah telah menjadikan puasa sebagai penghalang – selain dari makan dan minum – juga dari hal-hal tercela, perbuatan atau perkataan yang merusak puasa. Alanglah sedikitnya yang puasa, alangkah banyaknya yang lapar.”

Tatkala kita melaksanakan puasa Ramadhan, sejatinya kita sedang melaksanakan dua hal : pertama, menahan diri dari segala sesuatu yang merusak, kedua, bahwa kita melakukan hal itu adalah dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Al-imsak ‘anil-mufthirat al-ma’hudat bi qashdi qurbah). Demikian definisi puasa menurut para ahli fiqh.

Dalam definisi itu terkandung kata al-imsak, yang dalam Bahasa Arab dapat berhubungan dengan kata ‘an atau dengan bi. Bila berhubungan dengan ‘an (imsak ‘an) maka ia berarti menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Sedang bila berhubungan dengan bi (imsak bi) maka ia bermakna berpegang teguh kepada sesuatu yang dijadikan gantungan atau pegangan. Dalam Qs. Al Baqarah : 256 dinyatakan bahwa barang siapa yang ingkar kepada Thaghut (syaitan) dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang teguh (istamsaka bi) kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.

Orang yang berimsak bi – berpegang teguh kepada Allah SWT – maka seharusnya ia berimsak ‘an – menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, baik dalam puasa maupun di luar puasa. Pokoknya dalam seluruh kehidupannya di dunia. Sedang orang yang berimsak ‘an, belum tentu berimsak bi. Karena ia menahan diri dari melakukan sesuatu bukan karena Allah SWT tapi sekadar untuk menyenangkan orang lain, atau maksud-maksud duniawi semata. Pokoknya diluar kepatuhan kepada Allah SWT. Oleh karenanya tidak heran jika suatu ketika ia dapat menahan diri di saat lain tidak. Contoh : di traffic light, orang yang patuh akan berhenti saat lampu merah menyala karena disiplin berlalu lintas, bukan karena takut pada polisi. Tapi orang yang tidak patuh, maka tatkala tidak ada polisi, meski lampu traffic light menyala merah, ia akan menerabasnya. Sedang kalau ada polisi, ia akan pura-pura patuh.

Orang berpuasa Ramadhan menyadari bahwa ia harus berimsak bi dan berimsak ‘an. Maka meski di saat sepi tidak ada orang selain dirinya, ia tidak akan membatalkan puasanya dengan makan minum atau melakukan hal lain yang merusak nilai puasanya. Orang yang berimsak bi (berpegang teguh kepada tali Allah) dalam kehidupannya maka ia tak punya pilihan lain kecuali untuk melakukan hal-hal yang baik. Ia akan menahan diri dari korupsi, karena ia teguh dengan keimanannya. Bukan karena takut diperiksa KPK atau BPK. Ia tidak akan mencuri bukan karena tidak ada kesempatan, atau karena bernyali ciut, tapi karena ia tahu mencuri dilarang oleh agama.

Dengan berpuasa Ramadhan sesungguhnya kita juga sedang menegaskan kembali pernyataan kita, permohonan kita kepada Allah untuk diberi atau ditunjukkan jalan yang lurus (ihdina ash-shiraat al-mustaqiim) seperti yang tercantum dalam Qs. Al-Fatihah. Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya menyatakan bahwa shirat bagaikan jalan tol. Kita tidak dapat lagi keluar atau tersesat setelah memasukinya. Bila memasukinya, kita telah ditelan olehnya dan tidak dapat keluar kecuali setelah tiba pada akhir tujuan perjalanan. Sedang dalam pengertian lebih sederhana, jalan lurus, seperti juga garis lurus, adalah jalan atau garis yang paling cepat menghubungkan dua titik. Demikian halnya dengan puasa Ramadhan. Agar puasa Ramadhan kita dapat benar-benar menyampaikan kepada derajat muttaqin, maka kita harus lurus dan jujur mengikuti aturan yang ada, baik yang fisik maupun yang non-fisik. Ini jika kita benar-benar berpuasa lantaran berpegang teguh kepada ajaran Allah Swt.

Di dunia ini, ada orang yang tidak imsak ‘an dan imsak bi. Ia tidak dapat menahan diri dan tidak pula punya pegangan dalam mengarahkan kehidupannya. Orang ini hidup dalam kehampaan makna (nihilis). Dalam ekspresi sehari-hari dapat berupa pemujaan kepada kesenangan duniawi semata dan tidak percaya adanya kehidupan akhirat (sikap hidup hedonistic) dan sikap pragmatis (lebih mementingkan hasil dan tidak menghargai proses). Di dunia ia meniti jalan yang berkelok-kelok, mungkin juga jalan yang sempit dan berdesak-desakan (sabil – menurut Quraish). Ia mungkin saja akan sampai ke tujuan hidupnya namun waktu tempuhnya menjadi lama, atau bahkan bisa-bisa tersesat dan tidak menemui tujuan akhir perjalananya yang hakiki.

Puasa Ramadhan melatih kaum muslim mencerahkan ruhani dan akal budinya. Dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang merusak dan semua itu dilakukan semata karena mengharap ridlo dari Allah SWT. Dengan berpuasa, kita mengembalikan harkat kemanusiaan kita yang lebih mulia dari segala yang ada di dunia ini sebagai makhluk ciptaan Allah. Kitalah yang mengendalikan harta, bukan harta mengendalikan kita. Kitalah yang mengendalikan makanan, bukan makanan yang mengendalikan kita. Kita kembalikan jalan hidup kita ke jalan yang sebenarnya. Ash-shiraat al-mustaqiim. Insya Allah.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Media Aprilyanti *)

Setiap memasuki bulan Ramadhan, kita senantiasa diajak bergembira menyambutnya. Orang-orang yang masih hidup hingga bulan Ramadhan dianggap sebagai orang-orang yang berbahagia lantaran masih bertemu dengan bulan yang penuh berkah dan ampunan dari Allah. Sampai-sampai konon ada hadis yang menyatakan bahwa “barangsiapa bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan maka diharamkan tubuhnya disentuh api neraka”.

Dikatakan konon, karena hadis ini tidak diketahui sanad dan pentakhrijnya sehingga diduga kuat sebagai hadis palsu (maudhu’). Andai pun benar, benarkah Anda merasakan hal demikian? Apakah ada perasaan suka cita dalam diri Anda tatkala Ramadhan mulai menjelang? Jangan-jangan tidak. Siapa tahu perasaan Anda sebetulnya malahan susah lantaran memikirkan akan mengalami haus dan lapar di siang hari. Merasa susah karena harus menahan diri dari obrolan yang tidak perlu padahal kebiasaan itu bagi Anda mungkin susah dihindari. Termasuk bergunjing atau ghibah yang sudah menjadi “tradisi” di masyarakat hatta ke televisi.

Kalau benar demikian, mungkin ada yang salah dalam diri kita. Yakni kita menerima peribadatan dalam Islam sebagai hal yang memberatkan dan penuh larangan. Padahal bila kita meninjaunya dengan pikiran positif, insya Allah ibadah-ibadah dalam agama kita terasa ringan dan menentramkan. Hal demikian tentu saja akan dirasakan oleh mereka yang beriman secara sungguh-sungguh dan ikhlas dalam beragama (mukhlishiina lahud diin). Bagi orang yang tidak ikhlas beragama, maka apapun yang dikehendaki agama akan terasa berat dan menyiksa. Orang demikian adalah yang paling mudah tergoda syetan dan tidak stabil imannya. Meski para ulama salaf, termasuk Imam Asy-Syafi’i dll, menyetujui bahwa iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang (al imaanu yaziidu wa yanqushu. Ungkapan ini menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Al Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dhaif, bukanlah hadis seperti sering disangka orang).

Memang benar bahwa seharusnya kaum muslimin yang bertemu kembali dengan Ramadhan itu adalah orang beruntung. Tetapi bagaimana agar keberuntungan itu betul-betul berpihak pada kita ? Kita tahu, bahwa persoalan Ramadhan bukan melulu soal berpuasa (shoum). Tetapi adalah juga persoalan bagaimana agar nilai puasa itu tidak runtuh dan puasa kita tidak hanya menuai haus dan lapar. Untuk itu ada baiknya kita merenungkan beberapa amalan keseharian yang ada kaitannya dengan ibadah shiyam kita.

Dalam sebuah hadis shahih dari Anas bin Malik diriwayatkan, “Rasulullah Saw menaiki mimbar (untuk berkhotbah). Menginjak anak tangga (tingkat) pertama beliau mengucapkan, “Amin”, begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Seusai shalat para shahabat bertanya, “Mengapa Rasulullah mengucapkan ‘Amin’?” Beliau menjawab, ‘Malaikat Jibril datang dan berkata, ‘Kecewa dan merugi seorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucap shalawat atasmu” lalu aku berucap, “Amin”. Kemudian malaikat berkata lagi, “Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orangtuanya tetapi tidak sampai bisa masuk surga.” Lalu aku mengucap, “Amin.” Kemudian malaikat berkata lagi, “Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) apada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya.” Lalu aku mengucapkan “Amin.” (Ditakhrij oleh al-Bazzar, dan At-Thabrani dengan sanad dari Ka’b bin ‘Ajrah dalam Majma’ al-Zawaid)

Bila kita tilik rangkaian hadis di atas, ternyata shiyam tidak terpisahkan dari amalan-amalan lain yang seharusnya kita kerjakan. Bahkan secara tegas dinyatakan bahwa bisa saja orang-orang yang masih sempat ketemu Ramadhan hanya akan menemu kecewa dan merugi bila ternyata pada kesempatan itu tidak digunakannya untuk usaha menghapus dosa. Dari hadis ini kita lihat benang merah antara dua amalam di awal hadis dengan penutup hadis yakni soal puasa.

Pertama, dinyatakan bahwa orang akan kecewa dan merugi bila tatkala disebut nama Rasulullah Muhammad Saw dia ti­dak mengucap shalawat. Secara mudah bila ia tidak mengucap shalawat atas Nabi, maka ia telah mengabaikan pahala dan kebaikan yang terkandung dalam amalan itu. Secara agak dalam, orang Islam yang bila disebut nama Rasulullah Muhammad Saw, dia tidak mengucapkan shalawat maka orang ini dicap sebagai orang yang bakhil, kikir. Kalau untuk menguncapkan shalawat saja tidak mau, maka kita ti­dak dapat berharap banyak padanya untuk mau berinfaq dengan harta atau jiwa, padahal di bulan Ramadhan, misalnya, pahala berinfaq itu berlipat lebih banyak dari hari-hari biasa. Rasul bersabda, ”Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa maka dia memperoleh pahala (seperti orang berpuasa itu) dan pahala bagi yang (menerima makanan) berpuasa tidak dikurangi sedikitpun”. (Ditakhrij oleh At-Tirmizi dalam Sunan At-Tirmidzi, dengan sanad dari Hannad, Abdurrahim, Abdul Malik bin Abu Sulaiman, dari Atho’, dari zaid bin Khalid al-Juhany, shahih),

Dikaitkan dengan puasa, amalan pertama dalam hadis ini mensugesti kita untuk menjadi orang dermawan. Puasa akan menjadi lebih afdol bila ia membikin kita juga lebih bermurah hati. Ucapan shalawat adalah ekspresi kecintaan kita kepada Nabi. Sedangkan Nabi kita itu adalah orang yang sangat penyayang dan pemurah kepada sesamanya.

Amalan yang kedua adalah bahwa kita harus selalu berbakti ke­pada orangtua. Terlebih bila keduanya atau salah satu dari keduanya masih hidup, baik kita serumah dengan mereka atau terpisah. Dalam hadis ini digambarkan, orang akan rugi bila berkesempatan hidup bersama orangtua tapi tidak bisa memibikin dia masuk surga. Sebab orangtua adalah ladang amal bagi anak-anaknya. Orangtua mengajari kita beragama, beribadah, termasuk berpuasa Ramadhan dengan baik. Bahkan Nabi pernah menyuruh seorang pemuda untuk pulang dan tidak ikut berperang agar pemuda itu mengurus ibunya. Hadis ini menohok anak-anak dari mereka berdua yang dalam hidupnya tidak berbakti atau mengabaikan orangtua.

Sedang amalan ketiga, yakni puasa itu sendiri harus dilakukan sebaik-baiknya. Puasa tidak hanya dalam laku lahiriah tetapi juga dalam hal-hal yang lebih bersifat ruhaniah. Sebab bila sekedar yang lahiriah, menahan dari makan-mimum atau berhubungan suami-istri siang hari, menurut Rasul nilainya kurang. Kalau nilai puasa kita kurang, maka ia tidak dapat menebus dosa-dosa kita yang telah lalu. Orang demikian itulah yang dalam hadis tadi dinyatakan sebagai orang yang kecewa dan rugi. Ketemu Ramadhan, harus puasa, tidak tahunya tidak mendapat apa-apa. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung dengan ampunan dosa dari Allah di bulan Ramadhan ini. Allahu a’lam.

*)Penulis bekerja di STAIN Pontianak


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin *)

Pada hari Jum’at terakhir pada bulan Sya’ban 1429 H yang lalu, seorang khatib di sebuah masjid menyampaikan khotbah seputar (akan) kehadiran bulan Ramadhan 1429 H ini. Secara umum isi khotbah yang disampaikannya cukup baik dan menghasung kaum muslimin untuk bersemangat menyambut Ramadhan. Hanya saja tatkala ia mengutip satu hadis yang menjadi landasan bagaimana kita seharusnya berpuasa Ramadhan dan implikasi yang dihasilkannya, ia mengutip hadis yang lemah (dha’if).

Hadis dimaksud adalah, ”Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan (pengharapan akan ridlo Allah) semata, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Benarkah hadis ini lemah?

Sekilas tampak bahwa hadis ini adalah hadis yang sudah sangat populer dan bahkan seringkali dianggap diriwayatkan atau ditakhrij oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga dijamin kesahihannya. Namun jika kita teliti sedikit seksama, maka hal yang menjadikannya lemah adalah adanya tambahan kalimat ”yang akan datang” (maa taakhkhara).

Dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim hadis yang menyatakan pengampunan dosa-dosa karena pelaksanaan puasa Ramadhan adalah ”dosa-dosa yang telah lampau” (ma taqaddama min dzambih). Tidak ada tambahan ”ma taakhkhara” (dosa yang akan datang). Perawi lain yang mentakhrij hadis serupa dengan berbagai variasi jalur sanad, yang dianggap hadisnya shahih, mencukupkan sampai ”min dzambih” pula. Kalaulah ada sambungannya, termasuk dalam beberapa hadis riwayat Al Bukhari dan Muslim antara lain adalah dikaitkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawal.

Jika kita telusuri maka ”hadis” yang memakai tambahan ”ma taakhkhara” terdapat misalnya pada kitab ”Sunan An-Nasaai” karya Imam An Nasaai. Kritikus hadis Nashiruddin Al Albani menyatakan bahwa hadis ini dha’if (lemah) karena terdapat sanad yang terputus (munqathi’) dan majhul (tidak dikenal). Begitu pula hadis yang menghubungkan penghapusan dosa karena puasa pada bulan Ramadhan akan bersih ”seperti tatkala ia baru dilahirkan oleh ibunya” adalah juga dha’if.

Apakah penelaahan ini penting? Tergantung pada sikap masing-masing orang. Namun jika hadis-hadis lemah yang contohnya kita kutip di atas terus saja dipopulerkan akan ada dua implikasi negatif. Pertama, menurut para ulama, adalah tidak dibenarkan mengutip atau menyebar-nyebarkan hadis dha’if kecuali untuk dijelaskan kedha’ifannya. Hal ini bisa serius karena berarti orang tersebut menyebarkan ”kabar bohong” atau kabar yang aslinya tidak berasal dari Rasulullah Saw.

Kedua, apakah benar bahwa dengan puasa Ramadhan, dosa-dosa kita yang akan datang terampuni? Bagaimana hal itu dapat terjadi padahal peristiwanya belum berlangsung? Katakanlah kita berpuasa Ramadhan tahun 1429 H ini dengan baik, apakah itu berarti selepas bulan Ramadhan nanti jika kita berbuat salah, baik kepada Allah atau kepada manusia, tidak akan merupakan sebuah dosa karena telah terampuni tatkala kita berpuasa Ramadhan sebelumnya? Jika hal ini benar, tentu akan memberi peluang orang berbuat kesalahan tanpa merasa berdosa, suatu hal yang mendatangkan dampak negatif amat serius.

Mungkin ada orang yang tidak sepakat dengan persepsi di atas dan akan menjelaskan persepsinya yang lain. Namun hal itu menjadi tidak terlalu penting karena apa yang didiskusikan bukanlah sebuah hadis yang shahih. Dan hadis dha’if memang akan selalu mengundang perdebatan, karena yang shahih pun seringkali ada orang yang masih menggugatnya.

Dengan demikian maka landasan asasi dalam kita melaksanakan puasa Ramadhan adalah semata-mata karena keimanan dan penuh perhitungan (penuh pengharapan akan ridha Allah) yang akan membawa kita pada pengampunan dosa-dosa kecil (ash-shaghaair) kita yang telah lampau. Pelaksanakan puasa sepenuh iman dan pengharapan ridha Allah berarti kita melaksanakan puasa dengan memenuhi seluruh tuntunan syar’inya dan tidak merusak dengan hal-hal yang dilarang-Nya, baik secara ”fisik” maupun substantif.

Ramadhan 1429 H ini secara kebetulan berada pada masa hiruk-pikuk politik baik lokal Kalimantan Barat maupun nasional. Di beberapa daerah Kabupaten dan Kota di Kalimantan Barat akan diselenggarakan Pilkada, yang meski secara resmi belum dimulai masa kampanye namun seringkali “trik” politik memanfaatkan momen berkumpulnya banyak orang, misalnya pada waktu shalat Tarawih, ceramah Subuh, berbuka puasa, untuk interest tertentu yang menurut pandangan awam di luar ibadah. Soal niat memang hanya diketahui yang bersangkutan dan Allah saja. Namun kehati-hatian memelihara keihlasan beribadah tentu harus dijunjung tinggi. Allahu a’lam.

*)Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Sumber : Mutiara Ramadhan 1429 H (Pontianak Post)

Selengkapnya ......