Alhamdulillah, disela-sela kesibukan, kami telah menyelesaikan penyusunan silsilah Bani Kromowijoyo - Abdurrahman versi digital. Silsilah ini merupakan pengembangan dari silsilah versi cetak yang telah disusun sebelumnya.
Untuk tahap pertama, silsilah ini dibuat dalam 2 versi, yaitu :
  • Versi 01.a menggunakan MS Excel
  • Versi 01.b menggunakan Freemind

Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, silahkan dipilih mana yang paling cocok.

Versi 01.a


Versi 01.b


Rencananya silsilah ini akan dilengkapi dengan foto, sehingga akan sangat memudahkan bagi para sedulur yang jarang ketemu karena tinggal di luar kota, luar pulau, atau bahkan di luar negeri. Namun untuk versi 01 ini belum seluruhnya dilengkapi foto karena kami masih menunggu kiriman foto-foto keluarga dari para sedulur.

Bagi para sedulur yang mau mengirimkan foto, bisa dikirimkan lewat e-mail ke putrowayah@gmail.com. Bagi yang telah mengirimkan foto, disediakan bonus menarik berupa foto-foto jadul (jaman dulu) koleksi "Museum Foto" Ledok :-). Salah satunya adalah foto ini, Si Bolang (Bocah Petualang) Era '60-an :


Para Sedulur yang ingin mendapatkan silsilah ini bisa mengirimkan e-mail ke putrowayah@gmail.com dengan menyebutkan identitas yang jelas. Ayo.. tunggu apa lagi..!!

Semoga dengan silsilah ini akan semakin mengakrabkan kita semua dalam rangka menjalin tali shilaturrahim. Amin. [putrowayah]


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Waktu bulan Ramadhan yang lalu, satu hal yang selalu dinasehatkan para penceramah adalah jangan merusak pahala puasa dengan perkataan yang tidak perlu, bergunjing, dan berbohong atau berdusta. Dalam hadis riwayat Al-Bukhari dinyatakan, ‘Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasul bersabda, ‘Barang siapa tidak dapat meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta (waktu berpuasa) maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya.” Maka setelah keluar dari bulan suci itu pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar telah dapat meninggalkan dusta? Tentu yang mampu menjawabnya hanyalah kita sendiri. Jika kita jujur.

Apakah yang membuat seseorang berdusta? Tentu banyak hal. Namun salah satu sebab yang Nabi Muhammad berdo’a dan berlindung kepada Allah agar dijauhkan darinya adalah masalah hutang. Sebuah hadis sahih patut dikutip, dari ‘Aisyah ra. “Sungguh Rasulullah Saw berdo’a dalam sholat, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.’ Maka seseorang berkata kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah, alangkah banyaknya Anda memohon perlindungan kepada Allah dari hutang.’ Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya apabila orang itu berhutang, (biasanya bila) dia berbicara maka dia berdusta, dan bila berjanji maka dia tidak menepatinya.’” (HR Al-Bukhari/798 dan Muslim/920)

Sewaktu Indonesia diterpa badai krisis tahun 1997-1998, Bank Indonesia mengucurkan hutang kepada berbagai bank swasta nasional dalam jumlah sangat banyak yang sebagian besarnya dimiliki para konglomerat dengan jaringan usaha begitu rupa. Celakanya, uang itu bukannya untuk menyehatkan bank atau usaha yang mereka miliki secara benar-benar, namun justru banyak diselewengkan untuk hal-hal yang tidak fundamental. Akhirnya hutang itu macet. Banyak formula pengembalian dibikin, namun tak efektif. Tetap saja para konglomerat itu mengemplang. Agaknya bukan karena benar-benar tak punya uang, tapi karena mereka memang tidak bersedia secara sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya. Dan apa yang mereka lakukan kemudian? Melarikan diri ke luar negeri!

Inilah kebenaran yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw. Bahwa jika orang berhutang biasanya bila berbicara dia berdusta dan bila berjanji mengingkari. Para konglomerat itu sebagiannya telah berjanji untuk melunasi hutang-hutangnya namun kenyataannya tak ada yang mulus. Bahkan ada yang merekayasa agar kasus hutangnya (biasa disebut kasus BLBI) sebisa-bisanya tidak diutak-atik. Alias anggap saja tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan. Jadi selain mengingkari janji mereka juga cenderung berdusta. Jika mereka tidak cenderung berdusta, tentu akan secara jantan mengatakan apa yang terjadi dan berani menghadapi resiko yang bakal diterima. Tapi hati mereka ciut dan memilih bersembunyi di luar negeri.

Tidak semua hutang sebesar yang dikemplang para konglomerat itu. Siapa saja tentu pernah berhutang dalam jumlah berapapun. Apalagi di zaman seperti sekarang, di mana hutang justru ditawarkan misalnya oleh bank, dealer motor, mobil atau asuransi penjaminan kredit. Hal itu tentu tidak menimbulkan masalah, karena satu pihak ada kekuatan untuk memaksa dan ada limit hutang yang tidak terlalu besar. Maksudnya bahwa antar pihak ada mekanisme pembayaran yang jelas dan jaminan uang untuk membayarnya, misalnya lewat pemotongan gaji di kantor yang menyebabkan orang yang berhutang tidak mungkin –paling tidak diminimalisir—untuk mengemplang. Namun jika tidak ada mekanisme dan kesepakatan apapun, apa yang dikhawatirkan Nabi Saw sangat mungkin terjadi.

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa janji adalah hutang (al wa’du dainun). Ini menunjukkan bahwa hutang memang tidak selalu berarti uang atau barang. Realitanya memang hampir selalu demikian. Orang yang berjanji berarti orang itu sedang berhutang sampai janjinya dipenuhi. Makin banyak orang membuat janji, makin banyak pula hutang yang harus dilunasinya. Orang yang banyak janji biasanya tidak terlalu tenang menjalani hidup. Apalagi jika janjinya adalah sesuatu hal yang besar atau berat. Dalam Islam ada sebuah janji yang wajib dipenuhi, yaitu nadzar, sepanjang bukan untuk berbuat maksiat. Nadzar wajib dipenuhi karena ia adalah janji kepada Allah Swt secara suka rela. Karenanya sebaiknya seseorang tidak terlalu mudah membuat nadzar, kecuali untuk meneguhkan niat bagi suatu hal yang besar yang mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bagi orang lain.

Pada musim kampanye Pilgub, Pilkada dan Pileg (pemilihan legislatif), hampir tak bisa dihindari para kandidat akan membuat janji-janji, baik dinyatakan secara terus terang atau yang berpura-pura menggunakan istilah lain. Semakin banyak janji yang diutarakan berarti makin banyak hutang yang kelak harus dipenuhinya. Konstituen (pendukung) dan audiens (masyarakat) umumnya akan mencatat janji apa saja yang dilontarkan dan kelak mereka akan menagih realisasinya.

Nah pengalaman yang terjadi, realisasi tidak sebanyak janji-janji. Akhirnya ada kecenderungan untuk mengelak dari tuntutan (sebagiannya) dengan dusta dan yang jelas ia telah berbuat ingkar. Orang demikian secara tidak sadar menjurus menjadi munafik yang diantara tanda-tandanya adalah bila berkata berdusta dan bila berjanji mengingkari. Karena dalam kampanye janji nyaris tidak bisa dihindari tentu harus dipilih janji yang paling mungkin untuk ditepati. Tidak boleh orang berjanji sekaligus berniat untuk mengingkari. Ia berjanji sekadar untuk gengsi dan menyenangkan orang.

Setelah puasa Ramadhan berlalu dan kaum muslimin telah berlatih secara sungguh-sungguh untuk meninggalkan dusta, kinilah saatnya kita benar-benar mengujinya dalam kehidupan yang tidak selalu ramah ini. Terlebih bagi orang-orang yang punya hasrat menjadi pemimpin daerah atau anggota dewan yang terhormat. Hutang bisa berupa uang, bisa berupa janji. Allahu a’lam.



Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin


Tatkala datang Idul Fitri, ungkapan ataupun kalimat yang paling banyak berhamburan adalah soal kemenangan dari masa ujian, dikaitkan dengan pelaksanaan puasa Ramadhan selama satu bulan yang baru saja berlalu. Hal ini terjadi karena setiap penceramah hampir selalu mengatakan bahwa puasa Ramadhan adalah ujian atau latihan keimanan sehingga siapa yang sanggup melaksanakannya sebulan penuh, atau tatkala Ramadhan berakhir, yang datang kemudian adalah hari kemenangan. Walau kita tidak tahu pasti apakah kita benar-benar menang. Yang penting, pas Idul Fitri semua orang merasa menang dan lulus dari ujian. Berapapun nilai yang didapat.

Kemudian ungkapan berikutnya adalah bahwa Idul Fitri berarti mengembalikan kita pada fitrah, kesucian atau asal mula kejadian yang sejati. Ini dipahami dari asal kata ied yang berarti kembali dan fitri yang berarti suci. Dikaitkan dengan hadis tentang barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan sepenuh iman dan harapan ridha Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka kembali kepada kesucian menjadi sangat relevan.

Setelah itu yang juga populer adalah ungkapan mengenai silaturahmi, halal bi halal, yang untuk konteks Indonesia berarti saling maaf memaafkan antara keluarga, kaum kerabat dekat, teman, kenalan, rakyat kecil dengan rakyat besar (baca : para pejabat) dan sebagainya. Walau disadari tradisi ini adalah khas lokal Nusantara dan yang serumpun (jadi bukan ajaran agama) namun kegiatan ini terus bergulir baik sebagai wacana maupun sebagai praksis di masyarakat. Sebagai wacana, ungkapan ini tak kalah serunya dikupas para khatib saat Idul Fitri.

Kalau kita amati, maka sebagian besar tema-tema khutbah Idul Fitri memang berkisar soal ‘hari kemenangan’, ‘kembali kepada kesucian’ dan makna ‘silaturahmi’. Ada juga yang melatarbelakanginya dengan makna bulan Ramadhan yang lalu, sehingga banyak khatib yang mengatakan bahwa ada hadis Rasul yang menyabdakan “kalau sekiranya umatku (Muhammad) tahu keutamaan bulan Ramadhan maka niscaya mereka akan meminta seluruh bulan dalam setahun dijadikan Ramadhan”. Sesungguhnya hadis ini berkwalitas sangat lemah/palsu dan tidak dijumpai dalam kitab-kitab hadis yang mu’tabar.

Tentang arti Idul Fitri sendiri, ada yang memaknainya sebagai ‘Hari Raya Berbuka’. Kata ied sebagai isim (kata benda) berarti hari raya, sebagaimana tercantum dalam Qs. Al Maidah ayat 114, “Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya (‘id) bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama”. Dan Qs. Thaha ayat 59, “berkata Musa: "Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya (mau’udakum) dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik”. (Lihat penjelasan ringkasnya dalam Tafsir Jalalain). Begitu pula dalam hadis Nabi Saw riwayat al-Bukhari yang menyatakan, “Wahai Abu Bakar sesungguhnya pada tiap kaum ada hari raya dan inilah hari raya kita.” Yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Ied juga berarti yaumun jam’un nas, hari berkumpulnya banyak orang, sehingga hari Jum’at juga disebut ied, karena pada hari Jum’at berkumpul banyak orang untuk melaksanakan sholat Jum’at. Tidak ada sholat Jum’at yang dilaksanakan sendirian.

Sedang fitri dalam konteks Idul Fitri terambil dari kata ifthar yang berarti berbuka puasa. Maka Idul Fitri adalah hari raya berbuka, karena kita telah melampaui masa berpuasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Dan setelah itu kita dapat melakukan berbagai kegiatan sebagaimana biasa seperti sebelum bulan Ramadhan tiba, terkecuali mengulangi kesalahan yang pernah kita perbuat. Karenanya di kawasan Timur Tengah, Idul Fitri tidaklah dirayakan atau dibesar-besarkan seperti di Indonesia. Sedang Idul Adha, Idul Qurban atau Idul Hajji dirayakan secara meriah karena ia berkenaan dengan ritual haji yang sarat makna dan ujian pula. Dalam konteks ini Idul Adha berarti hari raya (id) penyembelihan, Idul Hajji berarti hari raya (id) hajji. Hampir tidak ada yang memaknai Idul Adha atau Idul Hajji sebagai kembali kepada penyembelihan atau kembali kepada hajji.

Di samping soal makna kata, yang juga kurang sering disinggung dalam Idul Fitri adalah masalah pentingnya shadaqah. Alih-alih menekankan soal shadaqah pada khutbah Idul Fitri, banyak khatib lebih memilih mengupas hal-hal yang telah disinggung di awal tulisan, yakni soal makna idul fitri, hikmah Ramadhan dan silaturhami. Padahal shadaqah dalam konteks sehabis Ramadhan menjadi sangat penting karena ia adalah aktualiasai berkelanjutan dari kepedulian kepada fakir miskin, perasaan senasib dalam haus dan lapas, dan tolong menolong atas kekurangberuntungan kaum miskin.

Bahkan dalam hadis riwayat al-Bukhari diriwayatkan, “Nabi Muhammad Saw keluar pada hari ‘Ied lalu shalat 2 rakaat, beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya, lalu meminta sedekah harta pada para wanita dan Bilal bersamanya, lalu Nabi menasehati mereka dan memerintah mereka agar bersedekah, maka para wanita itu meletakkan kalung dan giwang (untuk disedekahkah).” Meski dalam teks hadis ini disebut secara spesifik kata ‘wanita’ namun bukan berarti tidak untuk pria. Karena pada waktu itu, di Arab, para wanitalah yang banyak memakai perhiasan (atau membawa harta) saat hadir pada shalat Id dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Sedang pada masa kini, baik laki-laki maupun perempuan banyak yang memakai perhiasan mahal saat Idul Fitri dan dalam kehidupan sehari-hari. Nabi mendatangi para perempuan untuk bersedekah lalu kemudian pada perempuan itu mencopoti kalung dan giwangnya untuk disedekahkan mempunyai makna betapa sangat pentingnya bersedekah pada saat Id dan kehidupan sehari-hari.

Dalam hadis riwayat al-Bukhari yang lain Nabi bersabda, “Wahai sekalian manusia, bersedekahlah kamu sekalian.” Perintah Nabi ini diucapkan saat beliau keluar untuk melasanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. (Shahih al-Bukhari/1393). Sedang dalam hadis riwayat Muslim, perintah bersedekah itu diulang oleh Nabi Saw sebanyak 3 kali, “tashaddaquu, tashaddaquu, tashaddaquu.” (Shahih Muslim/1472).

Mengingat hadis Nabi di atas, maka setelah Ramadhan dan Idul Fitri berlalu jangan sampai persoalan zakat, infaq dan shadaqah terlupakan. Jangan sampai pada saat Idul Fitri yang akan datang (tahun depan) kita tidak mampu bershadaqah seperti diperintahkan Nabi karena uang kita sudah habis di depan kasir super market. Allaahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......