Tatkala datang Idul Fitri, ungkapan ataupun kalimat yang paling banyak berhamburan adalah soal kemenangan dari masa ujian, dikaitkan dengan pelaksanaan puasa Ramadhan selama satu bulan yang baru saja berlalu. Hal ini terjadi karena setiap penceramah hampir selalu mengatakan bahwa puasa Ramadhan adalah ujian atau latihan keimanan sehingga siapa yang sanggup melaksanakannya sebulan penuh, atau tatkala Ramadhan berakhir, yang datang kemudian adalah hari kemenangan. Walau kita tidak tahu pasti apakah kita benar-benar menang. Yang penting, pas Idul Fitri semua orang merasa menang dan lulus dari ujian. Berapapun nilai yang didapat.
Kemudian ungkapan berikutnya adalah bahwa Idul Fitri berarti mengembalikan kita pada fitrah, kesucian atau asal mula kejadian yang sejati. Ini dipahami dari asal kata ied yang berarti kembali dan fitri yang berarti suci. Dikaitkan dengan hadis tentang barang siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan sepenuh iman dan harapan ridha Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka kembali kepada kesucian menjadi sangat relevan.
Setelah itu yang juga populer adalah ungkapan mengenai silaturahmi, halal bi halal, yang untuk konteks Indonesia berarti saling maaf memaafkan antara keluarga, kaum kerabat dekat, teman, kenalan, rakyat kecil dengan rakyat besar (baca : para pejabat) dan sebagainya. Walau disadari tradisi ini adalah khas lokal Nusantara dan yang serumpun (jadi bukan ajaran agama) namun kegiatan ini terus bergulir baik sebagai wacana maupun sebagai praksis di masyarakat. Sebagai wacana, ungkapan ini tak kalah serunya dikupas para khatib saat Idul Fitri.
Kalau kita amati, maka sebagian besar tema-tema khutbah Idul Fitri memang berkisar soal ‘hari kemenangan’, ‘kembali kepada kesucian’ dan makna ‘silaturahmi’. Ada juga yang melatarbelakanginya dengan makna bulan Ramadhan yang lalu, sehingga banyak khatib yang mengatakan bahwa ada hadis Rasul yang menyabdakan “kalau sekiranya umatku (Muhammad) tahu keutamaan bulan Ramadhan maka niscaya mereka akan meminta seluruh bulan dalam setahun dijadikan Ramadhan”. Sesungguhnya hadis ini berkwalitas sangat lemah/palsu dan tidak dijumpai dalam kitab-kitab hadis yang mu’tabar.
Tentang arti Idul Fitri sendiri, ada yang memaknainya sebagai ‘Hari Raya Berbuka’. Kata ied sebagai isim (kata benda) berarti hari raya, sebagaimana tercantum dalam Qs. Al Maidah ayat 114, “Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya (‘id) bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama”. Dan Qs. Thaha ayat 59, “berkata Musa: "Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya (mau’udakum) dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik”. (Lihat penjelasan ringkasnya dalam Tafsir Jalalain). Begitu pula dalam hadis Nabi Saw riwayat al-Bukhari yang menyatakan, “Wahai Abu Bakar sesungguhnya pada tiap kaum ada hari raya dan inilah hari raya kita.” Yakni Idul Fitri dan Idul Adha. Ied juga berarti yaumun jam’un nas, hari berkumpulnya banyak orang, sehingga hari Jum’at juga disebut ied, karena pada hari Jum’at berkumpul banyak orang untuk melaksanakan sholat Jum’at. Tidak ada sholat Jum’at yang dilaksanakan sendirian.
Sedang fitri dalam konteks Idul Fitri terambil dari kata ifthar yang berarti berbuka puasa. Maka Idul Fitri adalah hari raya berbuka, karena kita telah melampaui masa berpuasa Ramadhan selama satu bulan penuh. Dan setelah itu kita dapat melakukan berbagai kegiatan sebagaimana biasa seperti sebelum bulan Ramadhan tiba, terkecuali mengulangi kesalahan yang pernah kita perbuat. Karenanya di kawasan Timur Tengah, Idul Fitri tidaklah dirayakan atau dibesar-besarkan seperti di Indonesia. Sedang Idul Adha, Idul Qurban atau Idul Hajji dirayakan secara meriah karena ia berkenaan dengan ritual haji yang sarat makna dan ujian pula. Dalam konteks ini Idul Adha berarti hari raya (id) penyembelihan, Idul Hajji berarti hari raya (id) hajji. Hampir tidak ada yang memaknai Idul Adha atau Idul Hajji sebagai kembali kepada penyembelihan atau kembali kepada hajji.
Di samping soal makna kata, yang juga kurang sering disinggung dalam Idul Fitri adalah masalah pentingnya shadaqah. Alih-alih menekankan soal shadaqah pada khutbah Idul Fitri, banyak khatib lebih memilih mengupas hal-hal yang telah disinggung di awal tulisan, yakni soal makna idul fitri, hikmah Ramadhan dan silaturhami. Padahal shadaqah dalam konteks sehabis Ramadhan menjadi sangat penting karena ia adalah aktualiasai berkelanjutan dari kepedulian kepada fakir miskin, perasaan senasib dalam haus dan lapas, dan tolong menolong atas kekurangberuntungan kaum miskin.
Bahkan dalam hadis riwayat al-Bukhari diriwayatkan, “Nabi Muhammad Saw keluar pada hari ‘Ied lalu shalat 2 rakaat, beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya, lalu meminta sedekah harta pada para wanita dan Bilal bersamanya, lalu Nabi menasehati mereka dan memerintah mereka agar bersedekah, maka para wanita itu meletakkan kalung dan giwang (untuk disedekahkah).” Meski dalam teks hadis ini disebut secara spesifik kata ‘wanita’ namun bukan berarti tidak untuk pria. Karena pada waktu itu, di Arab, para wanitalah yang banyak memakai perhiasan (atau membawa harta) saat hadir pada shalat Id dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Sedang pada masa kini, baik laki-laki maupun perempuan banyak yang memakai perhiasan mahal saat Idul Fitri dan dalam kehidupan sehari-hari. Nabi mendatangi para perempuan untuk bersedekah lalu kemudian pada perempuan itu mencopoti kalung dan giwangnya untuk disedekahkan mempunyai makna betapa sangat pentingnya bersedekah pada saat Id dan kehidupan sehari-hari.
Dalam hadis riwayat al-Bukhari yang lain Nabi bersabda, “Wahai sekalian manusia, bersedekahlah kamu sekalian.” Perintah Nabi ini diucapkan saat beliau keluar untuk melasanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. (Shahih al-Bukhari/1393). Sedang dalam hadis riwayat Muslim, perintah bersedekah itu diulang oleh Nabi Saw sebanyak 3 kali, “tashaddaquu, tashaddaquu, tashaddaquu.” (Shahih Muslim/1472).
Mengingat hadis Nabi di atas, maka setelah Ramadhan dan Idul Fitri berlalu jangan sampai persoalan zakat, infaq dan shadaqah terlupakan. Jangan sampai pada saat Idul Fitri yang akan datang (tahun depan) kita tidak mampu bershadaqah seperti diperintahkan Nabi karena uang kita sudah habis di depan kasir super market. Allaahu a’lam.