H a l : Suka silaturrahmi

Bapak suka silaturrahmi, saling mengunjungi baik dengan teman-teman atau famili-famili dekat dan jauh. Keakrabannya dapat terjalin seperti famili dekat. Salah satu ungkapan/kesan dari seorang putra temannya : mBiyen rumangsaku awake dhewe ki sedulur, jebulane dudu. Soale bapakku karo bapakmu ki raket banget, yen ngaturi ki : LEK utawo KANG, dadi koyo sedulur. Jebulane dudu.



Saling mengunjungi (silaturrahmi) itu direncanakan dan diatur pelaksanaannya : misalnya saat Iedul Fitri, adanya hajatan (perhelatan) nikah, khitan, bezoek tambah keluarga (bayen) dan seterusnya. Dicontohkanlah bagaimana mempraktekkan silaturrahmi tanpa mengganggu pekerjaannya. Pekerjaan berjualan di pasar kebiasaan simbok (dan ibu-ibu rumah tangga Kotagede) tidak terganggu. [-]


Artikel terkait :

Selengkapnya ......

Tentang kerja keras dan tertib administrasi

Bapak/Simbok tinggal di Ngledok, dirumah warisan mbah H. Abdul Rahman, orang tua bapak. Simbok punya rumah warisan dari mbah Kromowijoyo di Pondongan. Bapak Simbok itu pasangan orang tua pekerja keras yang selalu mengembangkan usahanya. Tabungan tanah/sawah adalah hasil pembeliannya sendiri.


Usahanya bermacam-macam, antara lain: mensuplai benang tenun ke pengusaha tenun kecil di desa. Simbok berjualan di Pasar Beringharjo Yogyakarta (hasil tenun, konveksi, kain batik). Bapak mengendalikan usaha koveksi, tenun dan pertanian dari rumah. Dan mungkin bapak pernah menjadi pengusaha kerajinan Perak. Aku sempat lihat bekas peralatannya yang tersimpan.

                Kira-kira mirip seperti inilah alat tenun Mbah Anwar Rofi'ie dulu

Semua usaha bapak selalu ada catatan pengeluaran dan penghasilan. Tertib administrasinya hebat, sangat teliti. Ternyata tak lupa pula mencatat tentang kelahiran semua anak dan cucunya, lengkap pula dengan nomor urutan cucu.

Bapak dan Simbok termasuk orang maju di zamannya !

Bapak dan Simbok benar-benar orang maju (modern) di zamannya. Fasilitas listrik (radio, seterika), mesin tulis (typewriter), camera foto, surat kabar harian, rekreasi keluarga (dengan membawa camera) telah jadi agenda keluarganya.

Di halaman luasnya, di rumah Ngledok selain untuk menjemur padi digunakan untuk olah raga Badminton. Tersedia juga Meja untuk permainan Tennis meja. Semuanya terselenggara (terlibatlah : bapak / simbok dan atau putra putrinya). Di rumah untuk kegiatan, rapat pengurus bagi kepentingan Organisasi Muhammadiyah, NA, HW (gerakan kepanduan Hizbul Wathon), Pemuda Muhammadiyah, PII (Pelajar Islam Indonesia), Mardihartoko, dan lain lain.

Bahkan ikut memperhatikan akan terpenuhinya kebutuhan dana Organisasinya itu. Bersama-sama dengan tokoh-tokoh gerakan lainnya (antara lain : Bapak H. Masyhudi, Bapak H. Bahar, Bapak Martodikoro, dll) mengumpulkan dana untuk usaha. Dan melalui Perkumpulan Mardihartoko (perkumpulan beberapa pribadi / tokoh Muhammadiyah itu) membeli tanah / sawah dan mendirikan usaha percetakan Stencil Cermat. Hasil usahanya untuk mendanai Muhammadiyah Kotagede. Sayang waktu Landreform ( + 1962 ) harta kekayaan tanah/sawah Mardihartoko disita karena Mardihartoko bukan badan hukum (jadi tak mempunyai hak kepemilikan tanah / sawah).
sumber foto : http://www.ranesi.nl/spesial/kabar_yogya_pasca_gempa2006/Menenun_Puing_Tradisi_060816


Artikel terkait :


Selengkapnya ......

Bidang pendidikan hidup sederhana dan mandiri.

Bapak memberi contoh dapat melakukan semua pekerjaan tukang dan memiliki semua peralatan tukang batu, tukang besi dan alat-alat mematri. Bapak / simbok tak membedakan pendidikan anak laki-laki dan perempuan. Semua ketrampilan sehari-hari harus bisa bahkan diajar sendiri oleh bapak/simbok. Dari menanak nasi, menjahit baju sampai memelihara sepeda, sampai menambal ban bocor.


Uang sakupun sejak SR (Sekolah Rakyat sekarang SD) dibatasi, uang jajan (sebagian harus ditabung di Kantor Pos). Bapak / simbok tidak pernah memanjakan, anak mulai saat kelas 6 SD harus bisa mencuci pakaiannya sendiri walau di rumah ada pembantu. Dan pakaian sekolah Mu'allimat pun dicukupkan hanya 3 stel (1 stel untuk 2 hari).

Bapak/simbok punya prinsip : anakku okeh, aku ora nyangoni bondho, aku mung nyangoni ngelmu, lanang wedok podho wae.


Hari-hari biasa tak boleh mengenakan perhiasan. Perhiasan bagi anak putri hanya boleh dikenakan di hari Raya Iedul Fitri dan jagong manten. Sepeda dibelikan sesudah tamat SR, dibelikan jam tangan kalau naik kelas 3 Mu'allimat. Ini semua sudah dijadwal dan diberitahukan sebelumnya. Jadi, kami tidak bisa berharap (saat masih klas 1) akan punya jam tangan walaupun teman-teman sudah memakai. Kami tak merasa tertekan / minder, karena merasa itulah kemampuan orang tua kami.

Namun kami dengar orang mengatakan :
“mbah H Anwar Rofi'ie sugih anak, sugih bondho." Namun Sesungguhnya dan sebenarnya saya sendiri tidak merasa sebagai anak orang kaya, tetapi cukup saja.

Pada suatu saat ketika kami bercerita bahwa teman kami mengadakan kesepakatan ingin berbaju seragam (kembaran), berseragam tas dan lainnya, spontan :
bapak sendiri berkata : “ kowe ora usah melu-melu,
kae rak yo anake wong sugih-sugih ! ”

Kami diberi kebebasan untuk menambah ilmu dan ketrampilan dengan pesan harus mengajarkannya kepada yang lain. Kang Asy'ari kursus batik dan tenun, Yu Djamim kursus bordir, aku kursus Bahasa Inggris, batik, roti kering / basah, dll.


Artikel terkait :


Selengkapnya ......


(Diolah dari tulisan Wardanah binti Anwar Rofi'ie oleh Arsjad)

Inilah sekelumit pengalaman dan kesan-kesan saya kepada almarhum bapak/simbok H. Anwar Rofi'ie, Ngledok yang tertanam di lubuk hati saya dan sangat dalam. CERITAKU BERIKUT ADALAH WUJUD : INGIN MENIRU DAN MENERUSKAN PERJUANGAN BELIAU - BELIAU walaupun sangat sulit.

Bagaimana bapak dan simbok melaksanakan pendidikan agama Islam ?
  • Pendidikan untuk putra-putrinya diarahkan ke pendidikan agama. Bapak maupun simbok punya perhatian sama dan saling mendukung. Bapak & simbok memberi contoh konkrit membimbing dan mendorongnya. Bapak/Simbok mengamalkan TUNTUNAN AGAMA ISLAM dengan mengikuti Muhammadiyah secara konsisten. Bapak menunaikan ibadah haji bersama ibunya tahun 1926 dan simbok tahun 1968 diantarkan Kang Asy’ari.

  •  
    Dibiasakan sejak kecil kami bertiga dengan Yu Djamimah, Yu Nafi'ah mengaji Al Qur'an di rumah / dititipkan ke Ibu Zaroah (Ny Abd. Sayuti) Pondongan. Dibiasakan pula salat 5 waktu, puasa, dan salat maghrib selalu berjamaah. Kami disuruh mengajar mengaji anak-anak Ngledok dan Semoyan yang dilakukan di rumah.


  • Kegiatan DB (Dirosatul Banat) dari NA (Nasyiatul 'Aisyiyah = kegiatan untuk putri-putri anak Muhammadiyah) diharuskan ikut (meski jauh) setiap malam Jum'at.
    Bapak memimpin kegiatan ibadah seperti Yasinan & Tahlil, Nyadran tiap bulan Ruwah (Sya'ban). Sesudah Muhammadiyah menetapkan bahwa tidak ada dalil untuk kegiatan tersebut lalu bapak menghentikannya. Selain kegiatan ibadah yang terselenggara di rumah maka kegiatan di Surau (Jawa : Langgar) dilaksanakan bersama sesepuh lingkungan, misalnya Kang Wardoyohartono, Kang Zuhri Hasyim & Kang Adham Hasyim serta Wo Dimyati, dan lain-lain.

  • Membantu dana mendirikan bangunan SD Muhammadiyah Purbayan dan SD Muhammadiyah Mertosanan. Keluarga mewakafkan rumah joglo Ngledok untuk mendirikan bangunan Masjid Semoyan dan sebidang sawah di desa Sanggrahan untuk membantu pembangunan Masjid Mrican, adalah untuk merealisasikan wasiyat Simbok atas sebagian warisannya.



  • Bapak berpesan : “senengo wakaf koyo Ismail (pemilik Toko Terang Bulan Malioboro Yogyakarta). Wong wakaf kuwi ora marahi mlarat.”
    Dan selain berpesan maka kami diajak membantu menghitung zakat, disuruh mengantarkan zakat kepada mustahik, tetangga dan kerabat.


  • Pada musim paceklik menjual beras murah untuk tetangga-tetangga. Hasil panen lainnya (selain padi) selalu dibagikan ke tetangga.

  • Simbok mengadakan tarwehan dan menjadi imam tetap dan sesudah tarweh simbok memimpin sendiri tadarus Al Qur’an beranggotakan para tetangga dari Ngledok, Ndalem dan Cokroyudan.

  • Ketika simbok dirawat Di PKU Muhammadiyah Yogyakarta telah berwasiat kepadaku dan Kang Bashori bahwa beliau punya simpanan uang untuk ikut meringankan biaya pendidikan santri di Pondok Pesantren Gontor Jatim dan Pabelan Jateng.


Saya simpulkan : bapak simbok mendidik (tidak hanya mengajar). Beliau, bapak dan simbok, itu mendidik putra-putrinya agar bukan hanya kaya harta saja tetapi kaya harta yang bermanfaat untuk ibadah. Kesimpulanku ini sangat kuyakini kebenarannya sesaat mendengar jawaban simbok atas pertanyaan bapak waktu berdialog sepulang ibadah haji simbok (1968) :

Bapak tanya : “ Opo anak anake didongakke ben podho sugih ?”
Jawab simbok : “ Mboten ming kula dongakke biso munggah kaji kabeh. Nek biso munggah kaji niku rak nggih sugih to !”




Artikel terkait :


Selengkapnya ......


Dikutip dari butir-butir NASEHAT BAPAK / IBU H MUHAMMAD CHIRZIN
(Yayasan wakaf Atika Yogyakarta : 2000)


1. Sing guyub rukun anggonmu paseduluran lan tansah
podho tulung tinulung.

Hendaknya kamu saling menjaga kerukunan dan kedamaian
serta senantiasa saling tolong menolong.

2. Biasakno podho seneng niliki lan kabar kinabaran
antarane sedulur.

Biasakan suka saling menjenguk dan menanyakan
keselamatan di antara para anggota saudara.

3. Cepet cepet tilikono yen ono sedulur nandhang lara utowo susah.

Cepat cepatlah datang menjengukapabila ada anggota keluarga
yang sedang sakit atau mendapat kesusahan.

4. Sing luwih tuwo biso ngemong sing enom, sebalike sing enom
biso ngurmati sing luwih tuwo.

Yang lebih tua umurnya dapat membimbing & melindungi yang muda,
sebaliknya yang muda dapat menghormati dan meneladani yang lebih tua.


[-<>-]


Artikel terkait :


Selengkapnya ......

TRAH (dalam tradisi masyarakat Jawa) adalah nama rentetan keturunan yang di dalamnya dituliskan urutan silsilah keturunan sebuah keluarga. Kini, bergeser menjadi nama PERKUMPULAN KELUARGA BESAR berdasarkan urutan silsilah keluarga besar tersebut. Inilah makna "trah" yang populer saat ini.


Bagi kalangan MUSLIM, trah sering disebut dengan BANI yang artinya anak keturunan (terlepas apakah tepat atau tidak penggunaan kata tersebut). TRAH & BANI sering digunakan secara bergantian.

Kajian berikut ini :
Apakah tradisi trah (masyarakat Jawa) tersebut dapat dimodifikasi agar dapat diterima Islam ?
(baca : dalam kehidupan sebagai muslim)

Kehidupan masyarakat Jawa sangat diwarnai oleh pengaruh budaya hidup keraton sebab abad ke-5 hingga 15 (tepatnya hingga jatuhnya Kerajaan Majapahit pada 1478 M) masyarakatnya dikuasai pemerintah kerajaan, bahkan di kerajaan Islam pun (raja pertamanya adalah JIN BUN alias RADEN PATAH), yang masih meneruskan tradisi model kehidupan keraton hingga kini, baik di Keraton Surakarta (dengan Pakubuwono XIII) maupun di Keraton Ngayogyokarta (dengan Hamengkubuwono X).

Budaya hidup keraton membagi masyarakat Jawa menjadi 2 lapisan : NINGRAT dan WONG CILIK. Ningrat adalah keturunan keluarga keraton atau pejabat keraton (yang mendapat gelar kebangsawanan dari keraton). Wong Cilik adalah keturunan rakyat jelata atau orang kebanyakan.

Dua lapis ini dalam kehidupan sosial kemasyarakatan terlihat nampak sekali nyata. Lebih-lebih dalam masa kejayaan keraton di bidang politik dan pemerintahan (hingga tahun 1945 atau Proklamasi Kemerdekaan). Garis pembatas dua lapisan masyarakat tersebut terletak dalam gelar kebangsawanan, misalnya BPH (Bendoro Pangeran Haryo), RM (Raden Mas), KRT (Kanjeng Raden Tumenggung), R Ng (Raden Ngabehi), R (Raden) dan sebagainya. Siapapun yang bergelar kebangsawanan mesti kajen keringan, artinya sangat dihormati oleh orang banyak, terutama dimata lapisan wong cilik.

Pelapisan sosial yang sangat tajam tersebut berdampak luas dalam masyarakat Jawa, baik kalangan ningrat apalagi di kalangan wong cilik.

Mereka kalangan ningrat berusaha untuk menjaga kelestarian kewibawaan lapisan sosial itu, antara lain dengan menjaga urutan keturunan (trah) tadi. Mereka membuat silsilah keluarga sedemikian sehingga urutan keluarganya itu selalu dapat diketahui para anggota keluarga yang bersangkutan bila diperlukan. Untuk mengetatkan hubungan silaturrahim mereka, lalu tidak jarang mereka melakukan pertemuan keluarga (reuni). Pertemuan tersebut ada yang direncanakan secara reguler (ajeg, pada waktu-waktu tertentu) ada juga karena peristiwa insidental, misalnya : kelahiran, khitanan, tarapan (upacara untuk gadis yang mulai haid), lamaran, sadranan atau kematian. Di lapisan wong cilik kurang dikenal tradisi trah ini (tarapan tak dikenal, tetesan = khitan untuk anak wanita, dikenal).

WONG CILIK sudah tentu sangat besar jumlahnya dibanding NINGRAT-nya. Wong Cilik di kota hidup sebagai pedagang kecil-kecilan dan sebagian besar jumlahnya hidup di pedesaan sebagai petani.

Demikianlah, adalah tidak mengherankan bahwa kaum ningrat (dimata wong cilik) adalah mempesonakannya. Kenyataan hidupnya kaum ningrat itu sangat ideal secara keseluruhannya (dimata wong cilik). Kaum Ningrat itu orang beruntung, berwibawa, terhormat, dan berkecukupan, berdarah biru serta bagus rumahnya, umumnya menjadi pemimpin serta tertib hidupnya. Hal seperti ini berlangsung cukup lama (ratusan tahun) hingga menjelang masa kemerdekaan Republik Indonesia (sekitar 1945).

Patut menjadi catatan sejarah juga bahwa pada masa paruh akhir abad ke-19 (kira-kira tahun 1850 – 1900) dari keluarga ningrat dan atau putra putrinya ORANG-ORANG KAYA JAWA dapat masuk sekolah-sekolah Belanda seperti ELS (Europeesche Lagere School), HIS (Hollandsch Inlandsche School), maupun HBS (Hoogere Burger School).

Setelah dimulai Politik Etis (Etische Politic)-nya Belanda, tahun 1901, banyak sekolah menengah didirikan seperti MULO (Meer Uitgebreid Laster Onder wijs), AMS (Algemene Midlebaar School) dan KS (Kweek School). Untuk Pendidikan Tingginya yakni STOVIA (School tot Opleideng voor Indische Artsen = Sekolah Dokter Jawa) di Batavia (Jakarta), NIAS (Netherlansche Indische Artsen School = Sekolah Kedokteran Hindia Belanda ) di Surabaya, GKHS (Geneeskundige Hooges School = Sekolah Kedokteran Tinggi), RHS (Rechtkundige Hooge School = Sekolah Tinggi Hukum ) di Batavia, dan THS (Technische Hooge School = Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung yang kemudian sekarang menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung).
Gelar akademiknya yakni Dr = dr = dokter, Mester in de Rechten = Mester = Mr untuk sarjana hukumnya dan Insinyur = Ir untuk sarjana tekniknya. Mereka (orang orang kaya) yang berhasil lulus sekolah sebagian menjadi pegawai Belanda, pegawai pemerintah kolonial Belanda. Dan mereka yang lulus dari perguruan tinggi kedokteran, hukum dan teknik ada yang masuk sebagai pegawai Belanda, ada yang berprofesi swasta dengan pendapatan tinggi. Para terpelajar tinggi dan menengah inilah kemudian menyebut dirinya sebagai Priyayi. Kaum Priyayi ini juga menyukai tradisi trah seperti tradisinya Kaum Ningrat.

Keluarga kaum wong cilik ini kebanyakan mengincar status sosial kaum priyayi. Keyakinannya hanya dengan itulah akan dapat mengantarkan dirinya ke status sosial yang seimbang dan atau sejajar dengan para ningrat. Para ningrat bergelar R, RM, KRT dan sebagainya, para priyayi gelar dirinya Dr, Mr atau Ir. Status sosial PRIYAYI nampak nya menjadi idola masyarakat Jawa baik di pedesaan apalagi di perkotaan pada masa awal paruh abad ke-20 (1901 – 1945) itu.
Karena itulah maka dalam percakapan sehari-hari (baca : timbul kebiasaan baru dalam hal ngerumpi) orang merasa bangga dengan mengait-ngaitkan dirinya ke status sosial PRIYAYI atau menyatakan diri masih adanya hubungan famili dengan pemilik status sosial priyayi itu. Mereka merasa sudah terangkat status sosialnya di mata masyarakat luas. Status sosial ningrat jelas tidak mungkin diraihnya. Percakapan seperti ini sebenarnya kurang berguna. Meniru (di kalangan priyayi) kebiasaan melestarikan tradisi trah (di kalangan ningrat) tumbuh subur di masyarakat Jawa baik yang santri maupun abangan.

Inti kajian kita :
Bagaimana kebiasaan TRAH ala Priyayi ini dapat ditempatkan secara proporsional untuk kalangan muslim taat (santri) ?!

Dalam Islam dikenal istilah SILATURRAHIM, artinya : hubungan persaudaraan seolah-olah saudara serahim (sekandung) untuk hubungan saudara sekandung maupun tidak sekandung. Maknanya bahwa Islam menghendaki kedekatan (keeraatan) sosial dan tidak menghendaki keretakan atau permusuhan sosial.

Dengan keeratan sosial ini maka seorang muslim dengan muslim lainnya mudah dan senantiasa saling membantu dan menolong (ta'awun). Dengan menghindari keretakan dan menghindari permusuhan sosial maka akan terhindar dari perselisihan, pertikaian, konflik, kerusuhan sosial, kekerasan sosial dan perang.

Demikianlah maka kegiatan TRAH / BANI bagi ummat Islam adalah dalam rangka diniati sebagai sarana untuk pengamalan konsep silaturrahim. Jadi, amat sangat jauh dari tujuan mempertahankan status sosial, status kebanggaan sosial, pelestarian lapisan sosial tertentu, kepriyayian dan segala macamnya. Kegiatan tradisi trah yang bernuansa ke-Islam-an memang sangat baik, lebih-lebih kalau dijatuhkan pada momentum Hari Raya Iedul Fitri (misalnya). Saat seperti itu dipergunakan sebagai ajang / sarana saling mengenal (ta'aruf), saling mengeratkan kekeluargaan (silaturrahim) dan saling memaafkan. Lebih diutamakan lagi kalau kegiatan trah tersebut berakar pada pohon silsilah keluarga besar secara lengkap. Sedemikian ini hubungan pertalian persaudaraan masing-masing lebih erat, lebih akrab, mantab dan diketahui (dimengerti) secara benar (minimal akan kenal wajah, kenal nama). Meskipun nanti mungkin sekali dapat terjadi ketika perpisahan abadi (atau meninggal dunia) sudah tidak tahu lagi dimana penguburannya / tak dikenal kuburnya.

Manfaat lain dari adanya CATATAN POHON SILSILAH KELUARGA BESAR dapat diharapkan adalah jika ada nama yang tertulis dapat menjadi TOKOH SURI TELADAN bagi orang lain terutama akhlaknya, profesinya, karya karyanya, kepribadiannya. Tokoh itu dijadikan uswatun khasanah untuk generasi muda / penerusnya. Bukankah kini banyak kalangan muda mulai kehilangan tokoh idola yang layak diteladani ? Bukankah banyak dari kalangan muda dan kawula muda dewasa ini justru tak terarah dan tidak jarang yang terjerumus dalam kehidupan hedonistik (bersifat serba bernikmat-nikmat) yang justru merusak (destuktif) ?
Wa Allohu a'lam bi ash Showwab !


Penulis : Drs. Damami Zein M Ag (cucu menantu no. 20)


Artikel terkait :


Selengkapnya ......