Oleh : Zainul Arifin

Jika tidak ada aral melintang, tanggal 25 Oktober 2008 besok akan berlangsung pemilihan pasangan calon kepala daerah di empat daerah di Kalimantan Barat. Banyak pasangan yang menjadi jago atau calon kepala daerah dan masing-masing telah melampaui masa perkenalan dan pengenalan kepada masyarakat pemilih yang biasa disebut kampanye (campaign).



Pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang, walau tidak selalu setelah mengenal akan tumbuh rasa sayang. Terkadang justru karena lebih mengenal maka justru harus meninggalkan. Namun juga tidak berarti bahwa lebih baik tidak perlu mengenal (lebih dalam) untuk mendatangkan rasa cinta atau kasih sayang, karena hal itu disebut cinta buta. Hal yang ditunjukkan oleh Islam sebagaimana tercantum dalam Qs. Al Hujuraat : 13 yang sangat populer adalah bahwa semua pengenalan haruslah bersifat positif, saling menghargai perbedaan apapun yang diidap oleh setiap individu atau kelompok masyarakat. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Walau pengutipan ayat di atas terasa klise, namun sebagai bagian dari sebuah kitab suci yang transcendent (inspiring), maka ia senantiasa patut disebut karena akan memberi landasan bertindak. Agar prilaku individu dan masyarakat lebih terarah dan terkontrol.

Dalam konteks pemilihan pasangan calon kepada daerah dalam nuansa demokrasi dimana penentuan pasangan terpilih dilakukan lewat pemungutan suara, terlebih saat ini dengan pemilihan langsung, maka hal-hal yang dapat merusak proses itu harus dieliminir (dikurangi sedemikian rupa) dan dihilangkan, kalau bisa. Hal-hal itu misalnya kecurangan dan ketidakadilan.

Kejujuran dan keadilan (jurdil) akan selalu diangkat ke permukaan karena pengingkaran atas asas itu akan memancing keburukan. Nabi Muhammad Saw sebagai sosok teladan bagi umat Islam dan diakui integritasnya oleh umat non-Islam yang objektif pertama-tama diakui atau dikenali sebagai Al-Amin, orang yang dapat dipercaya. Kepercayaan itu didapat pasti dilandasi kejujuran (shiddiq) yang selalu beliau tunjukkan dan keadilan dalam menyelesaikan masalah. Tidak mungkin orang percaya kepada seseorang jika ia tidak jujur dan atau adil.

Di beberapa daerah di Indonesia proses pemilihan calon kepala daerah (Pilgub, Pilbup, Pilwako) ada yang berbuntut kerusuhan, konflik, dan tak kunjung bisa tertangani. Ditengarai hal yang menyulut antara lain adanya ketidakadilan dan kecurangan. Jika ketidakpercayaan kepada institusi yang berwenang dalam penyelesaian perselisihan Pilkada terjadi dan prasangka terus berkembang, maka ekses buruk Pilkada akan menimpa masyarakat. Karenanya asas kejujuran harus benar-benar dijunjung tinggi dan ditegakkan. Integritas panitia dan pengawas Pilkada harus dapat dipercaya bahwa ia bisa berlaku jujur dan adil. Jika asas dan integritas itu dilanggar, apalagi secara sengaja untuk memenangkan salah satu pasangan dari semua kandidat yang maju, maka konflik dapat terjadi. Karenanya firman Allah agar kita berbuat adil dan jujur itu harus benar-benar diterapkan. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Maidah : 8) “Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu).” (Qs. Al-An’am 152)

Kecurangan dan ketidakadilan (jelasnya : keberpihakan) dapat dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan, baik yang bersifat pragmatis atau ideologis. Yang pragmatis misalnya untuk mencapai keuntungan-keuntungan duniawi (modal, popularitas, kekuasaan) sedang yang ideologis misalnya untuk keunggulan ideologi, agama atau pilihan politik. Dalam kaitan pembentukan budaya politik modern, ternyata politik primordial (agama atau yang lainnya) masih kuat. Maka tak heran jika agama, etnis, sering terjebak menjadi “kartu politik” ketimbang sebagai referensi (rujukan) moral politik yang objektif. (Moeslim Abdurrahman, 2004) Jika agama, misalnya, hanya diperlakukan sebagai “kartu politik” maka umat beragama akan digiring untuk menyetujui pilihan yang sesuai agamanya walau si calon tidak selalu terlihat “saleh” dalam kehidupannya. Maka untuk menentukan pilihannya, masyarakat harus mengedepankan pula pertimbangan rasional dimana sang calon menggunakan agama (Islam) sebagai referensi moral politiknya, kehidupannya bermasyarakat dan memperlihatkan komitmennya yang kuat terhadap kesejahteraan masyarakat.

Semua calon telah memperkenalkan dirinya, janji-janjinya. Kini masyarakatlah yang akan memilih diantara isu-isu yang bergentayangan. Pilihan rasional dalam sistem pemilihan langsung dengan banyak kandidat kadang tidak selalu sesuai hati nurani. Marilah berlapang dada. Tegakkan kejujuran dan keadilan. Hindari konflik akibat kecurangan. Allahu a’lam.


Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

0 komentar