Oleh : Abu Haikal*Minggu-minggu ini masa pemberangkatan jemaah calon haji asal Indonesia sudah dilaksanakan. Tidak ada penambahan kuota sehingga antrian pendaftar sudah melampaui satu-dua tahun. Bahkan di beberapa daerah selain Kalbar, ada yang sampai lima tahun. Antusiasme kaum Muslimin tidak pernah pudar meski dalam keadaan keuangan nasional maupun global sedang tidak menentu. Ini memang panggilan ibadah. Bagi orang yang sudah sangat kepingin dan merasa telah mampu, maka halangan apapun insya Allah dapat diatasi.
Untuk mengatasi keterbatasan kuota haji yang nyaris tidak berubah – kalaupun berubah tidak cukup signifikan – maka ditempuh kebijakan bahwa bagi kaum Muslimin yang pernah berangkat haji tidak diperkenankan berangkat kembali untuk yang kedua kali atau selebihnya kecuali setelah melampaui 5 tahun atau disebabkan oleh alasan yang diperbolehkan, misalnya sebagai petugas atau sebagai mahram. Kebijakan ini ditempuh karena pada masa lalu kaum Muslimin yang pernah berhaji satu kali ingin berangkat kembali pada tahun berikutnya, bahkan seringkali untuk yang berkali-kali. Akibatnya kuota yang diperkirakan cukup untuk memberangkatkan calon haji yang terdaftar untuk pertama kali dapat teratasi. Kenyataannya tidak demikian. Kuota selalu segera penuh oleh kaum Muslimin yang ingin mengulang berangkat haji dan mempunyai uang untuk setoran lebih awal.
Meski kaum Muslimin tahu belaka bahwa Nabi Muhammad Saw hanya mencontohkan satu kali haji seumur hidup, toh banyak bapak/ibu haji yang baru pulang dari Tanah Suci sudah berniat kembali untuk sewaktu-waktu dapat mengulang hajinya. Ada yang beralasan adanya kenikmatan berhaji yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata sehingga hanya bisa dirasakan jika diulangi. Misalnya, di Tanah Suci bisa sholat wajib lima waktu selalu di masjid setelah pulang di rumah nyaris tak pernah ke masjid. Ada yang beralasan, sepertinya ibadah haji yang baru dilaksanakan kurang mantap, kurang sempurna, sehingga perlu diulang. Seolah-olah standar kesempurnaan dan pahala haji dapat ia tentukan sendiri.
Untuk mengatasi bertumpuknya kaum Muslimin pada musim haji, selain memekarkan dan memperbaiki tempat-tempat ibadah haji di Tanah Suci, Masdar Farid Mas’udi pernah mengusulkan wacana penafsiran “baru” soal waktu melaksanakan haji. Sebagaimana tercantum dalam Qs. Al Baqarah ayat 197, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi [Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji,. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, walau sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
Dari ayat ini Masdar menyatakan bahwa musim haji tidak terbatas pada bulan Zulhijjah. Katanya, orang bisa saja mengerjakan haji pada bulan Syawal dan Zulkaidah. Sedang mengenai hadis sahih yang menyatakan bahwa ‘Haji adalah Arafah’ dan itu berarti hanya pada tanggal 9 Zulhijjah, harus ditinjau ulang pemaknaannya. Bahkan ia menyatakan hal itu “bertentangan” dengan ayat di atas. Dengan “penafsiran baru”nya itu, ia menganggap masalah kuota haji dapat diatasi, karena waktu pelaksanaannya menjadi longgar.
Tapi wacana ini tidak berkembang, bahkan tidak banyak yang menanggapi karena dinilai tidak valid. Ia dinilai melampaui penafsiran yang telah dilakukan banyak ahli tafsir dan ahli hadis yang kemampuannya tidak lebih rendah dari Masdar. Masdar sendiri belum pernah melaksanakan anjurannya itu, misalnya ia membawa rombongan calon haji untuk mengerjakan haji diluar bulan Zulhijjah.
Dorongan untuk mengerjakan ibadah haji lebih dari satu kali, mungkin bisa ditelusuri dari niat berangkat haji. Untuk apa orang berangkat haji? Ada orang yang berangkat haji karena ingin dianggap saleh, ada yang ingin sama dengan pejabat lain yang telah berhaji, ada yang ingin memperlihatkan bahwa ia cukup punya banyak uang.
Padahal orang yang mau berangkat haji itu semata-mata untuk mennggapai ridla Allah dengan mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw. Dan kalau bisa, satu kali saja.
Almarhum KH Amir, seorang kiyai saleh di Yogyakarta pada tahun 1950-an, pernah membuat kategori orang yang berangkat haji. Tentu kategori ini tidak kaku dan tidak untuk melecehkan siapapun. Ia berkata, “Haji yang pertama kali itu hajinya ikhlas. Haji yang kedua itu haji bisnis. Dan haji ketiga adalah haji preman (sesungguhnya ia menyebut dengan istilah Jawa yang tidak perlu dituliskan disini).”
Haji pertama sebagai haji yang ikhlas karena orang tersebut berangkat haji dengan niat tulus mengerjakan perintah agama. Ia belum punya pengetahuan selain manasik haji untuk kesempurnaan ibadah hajinya.
Haji kedua sebagai haji bisnis, karena menurutnya, orang tersebut sudah tahu suasana di Tanah Suci, sehingga ia bisa sambil berbisnis. Berjualan barang yang dibawa dari tanah air, atau membeli barang murah di Tanah Suci untuk dijual di tanah air.
Haji ketiga sebagai haji preman, karena setelah tahu seluk beluk penyelenggaraan ibadah haji, ia pun mencari-cari peluang untuk bisa menipu. Tidak hanya menipu di Tanah Suci, bahkan sejak di tanah air pun kalau bisa menipu. Haji ketiga ini kalau meminjam istilah Prof. Ali Mustafa Yaqub, sekarang imam besar Masjid Istiqlal, disebut sebagai haji pengabdi syetan. Karenanya bagi yang ingin berangkat haji pertama kali perlu diluruskan niatnya dan mantapkan tekad untuk sebisanya menunaikan ibadah haji sekali ini saja dan berusaha melaksanakannya yang terbaik. Tidak perlu berniat untuk mengulang, walau berlimpah uang di tabungan.
Bagi yang lelaki, gambarkanlah haji yang pertama ini seperti ketika ia akan dikhitan/disunat. Cukup satu kali dan kalau bisa yang terbaik. Hampir tidak ada lelaki yang mau disunat dua kali, kecuali ada kesalahan. Bagi yang perempuan, gambarkanlah haji yang pertama ini seperti ketika ia akan menikah. Cukup satu kali, satu suami dan kalau bisa yang terbaik. Hampir tidak ada perempuan yang mau menikah dua kali, kecuali ada alasan sangat kuat untuk itu.
Jika niat demikian dilaksanakan, insya Allah tidak perlu lagi ada haji dua-tiga kali atau lebih. Harta yang ada dapat disalurkan ke ibadah sosial yang pahalanya jauh lebih tinggi ketimbang ibadah haji itu sendiri. Soal apakah haji yang sekali itu mantap atau tidak, sempurna atau tidak, mabrur atau tidak, asal sudah sesuai dengan syariat Islam, serahkan saja kepada Allah Swt. Itu bukan urusan kita.
Jadi, haji satu kali (insya Allah) lebih baik. Allahu a’lam.
Penulis Penyuluh Agama Islam Honorer Pontianak
0 komentar
Posting Komentar