Oleh : Zainul Arifin

Apa bedanya orang yang berebut air celupan batu petir Ponari dengan pengalap (pencari) berkah dari sesajian pada perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw? Pertanyaan ini mungkin provokatif. Jika ia diajukan kepada orang-orang yang mau saling berebutan, berdesak-desakan demi memperoleh sebagian kecil saja dari aneka makanan, sayuran, yang dibuat tumpeng ataupun gunungan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad di sebahagian tempat di tanah air kita, mungkin bisa memancing kemarahan.


Pada tanggal 9 Maret 2009 yang lalu, menurut penanggalan Masehi, bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1430 H. Siapapun tahu belaka bahwa 12 Rabiul Awwal itu dipercaya sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, maka diperingatilah hari itu sebagai Maulid Nabi. Peringatan Maulid Nabi sendiri tidak diadakan sejak awal dalam sejarah perkembangan agama Islam. Ia muncul pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayubi. Almarhum Syaikh Ali Tantawi, penulis produktif di Saudi Arabia menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi adalah al-Malik al-Mudhaffar, salah seorang panglima Shalahuddin yang ditempatkan di Irak.

Perayaan Maulid zaman itu tidak berupa majlis ta’lim, tapi berupa festival, bazaar dengan aneka dagangan yang dibawa penduduk dari berbagai pelosok negeri, baik ternak maupun hasil kerajinan. Setelah bazaar itu berlangsung beberapa lama, keramaian berganti dengan parade pasukan. Setelah semua orang berkumpul di alun-alun, para ahli pidato pun tampil memamerkan keahlian retorikanya. Usai seluruh kemeriahan itu, al-Mudhaffar pun menghindangkan makanan yang berlimpah, dan dimulailah acara makan bersama. Tidak ada perebutan makanan atau apa saja yang disajikan dengan tujuan mencari berkah sultan atau sang panglima.

Karena perayaan Maulid ini adalah barang baru jauh sesudah Nabi Muhammad wafat, dan tidak ada contoh sebelumnya termasuk pada zaman shahabat, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Almarhum Syaikh Abdul Azis bin Baz, mufti besar Kerajaan Saudi Arabia menyatakan bahwa lantaran tidak ada contoh zaman Nabi, zaman Shahabat, begitupun zaman Tabi’in, maka ia termasuk mengada-ada dalam agama, istilah mudahnya : bid’ah. Hukumnya haram.


Sedang Syaikh Ali Tantawi, Ahmad Syurbashi (sebagaimana dikutip Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya ”Islam Masa Kini”, 2001) mengatakan bahwa peringatan Maulid Nabi itu perlu dilihat isinya. Kalau ia diisi dengan pengajian, ta’lim, penerangan tentang sejarah dan perjuangan Rasul menyebarkan dan menegakkan agama Islam, maka hal itu perlu dikerjakan. Ia termasuk perkara ma’ruf. Namun bila peringatan itu diisi dengan hal-hal yang maksiat, pemborosan, maka jatuhnya juga menjadi haram.


Kaum tradisionalis, meski mengetahui perayaan Maulid itu bid’ah, menganggapnya sebagai bid’ah hasanah (lihat Ahmad Haris, Ph.D, Islam Inovatif, 2007). Maka di Indonesia bentuk-bentuk perayaan Maulid menjadi beragam dengan tiga sifat dasar: bersifat politis, tradisional dan adat. Perayaan Maulid politik dilaksanakan oleh setiap tingkat pemerintahan di negeri ini. Di masa-masa menjelang Pemilu, arena ini tak jarang juga dipakai untuk ajang kampanye. Atau kampanye dengan mengadakan acara agama, seperti Maulid Nabi.

Pada tingkat tradisional, perayaan Maulid diadakan di masjid-masjid, pesantren, madrasah, pengajian-pengajian. Inti acaranya adalah mendengarkan pengajian dari ulama atau ustadz yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam. Dalam adat tertentu, dibacakan juga naskah Maulid seperti yang ditulis oleh al-Barzanji atau al-Diba’i.


Sementara sebagai adat, perayaan Maulid diperingati dengan ritual-ritual yang justru bercampur dengan hal-hal yang tidak jelas dalilnya. Misalnya diperingati dengan acara mencuci benda-benda pusaka keraton tertentu, seperti keris, tombak atau gong gamelan. Saat seperti itu, rakyat yang hadir berebut untuk mengambil air bekas cucian benda-benda tadi. Di Gorontalo, seperti diberitakan televisi, masyarakat berebut aneka makanan yang dibawa bahkan sebelum didoai oleh ulama di masjid. Masyarakat terlanjur percaya bahwa bisa mendapat bagian dari aneka makanan tadi akan mendatangkan berkah dan menolak bala. Sehingga dengan tidak sabar mencoba merebut tatkala masih di halaman sebelum masuk masjid.

Di Yogyakarta dan Surakarta, gerebeg Maulud, perayaan dengan mengarak gunungan sayuran dari keraton ke masjid juga merupakan contoh dari banyaknya praktek maulid yang terikat secara budaya. Ahmad Haris, Ph.D menulis, ”ribuan orang berebut ingin mendapatkan bagian dari gunungan yang diberkati itu, yang dipercaya dapat menjamin kesejahteraan dan kesehatan serta menjauhkan segala bala.”


Sampai di sini, dengan mengabaikan perbedaan para ulama tentang hukum perayaan Maulid Nabi, ada suatu hal yang menjadi paradoksal (bertentangan, ironi). Yakni antara peringatan Maulid Nabi yang seharusnya dipenuhi dengan mengingat kegigihan Nabi Muhammad memberantas kemusyrikan, memberantas ketergantungan manusia kepada selain Allah menjadi masyarakat tauhid, dengan aneka tambahan pada praktek ritual Maulid yang bernuansa kejahiliyahan dan merusak tauhid. Misalnya dengan perebutan aneka sajian yang dipercaya dapat membawa berkah, entah sudah didoai para kiyai, ulama ataupun belum. Apakah ini tidak mirip dengan kelakuan para pasien Ponari di Jombang?


Peringatan Maulid Nabi Muhammad memang adalah hal yang baru, muncul dalam sejaran perjalanan Islam dalam interaksinya dengan publik, lokasi dan waktu. Ia bukan bagian dari ajaran Islam tetapi bagian dari cara memuliakan Nabi besar dalam Islam itu. Niat luhur ini patut dihargai dan diapresiasi dengan baik. Seperti kata Syaikh Ali Tantawi, jika peringatan ini diarahkan dan diisi dengan mendalami perjuangan Nabi Muhammad dan meneladaninya dalam kehidupan kaum Muslimin sehari-hari, ia sangat bermanfaat.


Sayangnya di sejumlah tempat, perayaan yang telah bergulir bertahun-tahun itu kehilangan elan vitalnya. Jatuh sekadar sebagai tradisi. Masyarakat yang datang bukan untuk mendengarkan ceramah tentang keutamaan ajaran Nabi, tapi untuk saling berebut sajian yang dipercaya mampu menolak bala dan mendatangkan berkah dalam hidup. Padahal Allah berfirman dalam Qs. An Nur ayat 63, yang artinya, ”maka hendaklah orang-orang yang menyalahi ajaran-Nya (termasuk ajaran yang disampaikan oleh Rasul-Nya) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Beberapa hari yang lewat, kita menyaksikan tayangan berita di televisi yang sungguh dramatis yakni usaha percobaan bunuh diri seorang perempuan muda di Palembang. Setelah memotong urat nadi di tangannya, perempuan itu mencoba terjun dari lantai atas sebuah mall. Kamera wartawan menangkap momen menegangkan itu. Meski si perempuan tersebut dapat diselamatkan oleh warga yang sudah menyiapkan kasur di bawah, tapi pendarahan dari urat nadi yang disayat di tangannya membuat ia hampir sekarat.



Dari pemberitaan yang dapat kita tangkap, percobaan bunuh diri itu dilatarbelakangi kesulitan si perempuan untuk mempertanggungjawabkan uang yang telah dipakainya di tempat kerjanya. Pemakaian uang itu tidak semata untuk keperluan dirinya, namun dikabarkan juga atas permintaan lelaki pasangannya. Setelah mengalami kebuntuan akhirnya ia sampai pada tekad untuk mengakhiri hidup dengan memotong urat nadi tangannya dan melompat dari atas ketinggian mall.

Fenomena bunuh diri dengan beragam cara, termasuk dengan cara melompat dari mall atau tower seluler yang kini marak, sungguh meresahkan. Bukan cara yang dipilih untuk mengakhiri hidup itu, tapi keputusan seseorang untuk bunuh diri itulah yang sangat memprihatinkan. Bunuh diri tentulah ujung dari sebuah keresahan, kegalauan pribadi seseorang dalam mengarungi hidup yang dirasanya sangat sulit dipecahkan. Karena usaha bunuh diri adalah sangat pribadi maka pada masa lalu dan biasanya bunuh diri direncanakan dan dilakukan secara rahasia.

Iman Budhi Santosa dan Wage Daksinarga dalam bukunya, “Tali Pati, Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul” (Yogyakarta, 2003) menulis bahwa pelaku bunuh diri sangat merahasiakan : rencana, perbuatan, dan alasan mengapa bertindak demikian. Sejumlah bukti yang dapat diajukan antara lain : tidak pernah memberi tahu secara eksplisit kepada orang lain bahwa ia akan bunuh diri, rencana sudah dipikir masak-masak seorang diri, sikap perilaku sangat dijaga agar tidak menimbulkan kecurigaan, waktu dan tempat bunuh diri dipilih ketika benar-benar sepi, sehingga kecil kemungkinan untuk diketahui, dan jarang meninggalkan pesan atau catatan karena takut latar belakang perbuatannya diketahui orang.

Mengapa seseorang sampai kepada keputusan untuk bunuh diri? Terhimpit masalah ekonomi, kehilangan orang yang dikasihi, dan masih banyak lagi masalah dalam hidup yang memicu tindakan bunuh diri. Sedangkan yang lainnya adalah karena gangguan mental. Menurut Norman Wright, 10 persen orang bunuh diri dengan alasan tidak jelas, 25 persen orang yang melakukan tindakan bunuh diri karena menderita ketidakstabilan mental dan 40 persen karena mengikuti kata hati ketika mengalami gangguan emosi. Yang pasti banyak orang melakukan bunuh diri karena ingin segera keluar dari masalah dan tekanan hidup.

Masyarakat kita begitu tertekan mengahadapi kenyataan hidup yang makin menjepit. Harga kebutuhan tinggi, pekerjaan sulit didapatkan. Bahkan kini, banyak orang tua pasrah anak mereka tidak sekolah, karena tingginya biaya yang harus mereka keluarkan. Semua itu, membuat masyarakat mengalami depresi, dan menjadi faktor awal tumbuhnya benih keinginan, untuk lari dari semua itu dengan cara pintas. Bunuh diri. karena itulah pelaku bunuh diri tidak saja datang dari komunitas masyarakat kelas bawah.

Seluruh kesulitan yang dihadapi pelaku bunuh diri bukanlah sesuatu yang khas atau unik yang hanya menimpa orang yang bersangkutan. Banyak orang yang mempunyai masalah yang sama namun tidak sampai pada keputusan untuk bunuh diri. Dalam hal ini tentu saja kekuatan mental, stabilitas mental seseorang sangat berpengaruh. Mentalitas itu dapat diperkuat dengan unsur agama yang mampu meneguhkan kepribadian seseorang. Tatkala seluruh daya upaya seorang manusia tak mampu lagi mengatasi masalahnya, maka Tuhanlah yang masih bisa dijadikan rujukan. Dalam Islam ialah Allah Swt. Harapan akan berkah dari Allah Swt inilah yang memungkinkan seseorang bertahan hidup dari kesulitan yang membelitnya. Dan ”ketakutan” akan balasan yang setimpal atas dosa bunuh diri yang bakal diterimanya kelak, telah mencegahnya untuk melakukan tindakan konyol itu. Dalam Qs. Al-Fatihah ayat 5 Allah berfirman yang artinya, ”Hanya kepada-Mulah kami menyembah, dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan.” Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Bantuan diperlukan tatkala kita tidak dapat, terhalang atau sulit meraih sesuatu yang kita perlukan atau inginkan. Bantuan adalah mempermudah melakukan sesuatu yang sulit diraih oleh yang memintanya dengan jalan misalnya, mempersiapkan sarana pencapaiannya, partisipasi dalam aktivitas baik dalam bentuk tenaga, harta, nasehat atau pikiran. Permohonan kepada Allah, tulis M. Quraish Shihab, adalah permohonan agar Dia mempermudah apa yang tidak mampu diraih oleh yang bermohon dengan upaya sendiri. Tentu saja dalam upaya ini seseorang tidak berarti berpelas diri dari masalahnya, ia terus terlibat di dalamnya, dalam usaha mengatasi masalahnya sendiri. Kita dituntut untuk berperan, sedikit atau banyak sesuai dengan kondisi yang kita hadapi.

Komunikasi adalah salah satu jalan mencegah usaha bunuh diri. Komunikasi dilakukan oleh orang dekat yang melihat saudaranya terbelit kesulitan yang berat, sehingga dapat mengurangi beban pikiran atau beban mentalnya. Kadang seseorang mencoba bunuh diri karena merasa tak ada lagi kawan yang mau mendengar keluh kesahnya. Seseorang tidak boleh mengutarakan niat untuk bunuh diri karena ucapan itu bisa jadi akan memprovokasinya. Orang yang mendengar seseorang yang mengatakan keinginan untuk bunuh diri tidak boleh menyepelekan, karena sesungguhnya hal itu berarti ia minta pertolongan.

Dan diatas segala saran yang bisa diberikan, penguatan agama pada setiap orang adalah yang fundamental agar usaha bunuh diri dapat dicegah. Dalam Qs. An-Nisa ayat 29-30 Allah berfirman yang artinya, ”..... dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Sedang Rasulullah bersabda dalam hadisnya, ”Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung untuk bunuh diri maka dia di dalam neraka Jahannam, jatuh ke dalamnya kekal dan dikekalkan selama-lamanya. Barangsiapa meneguk racun kemudian membunuh dirinya, maka racunnya ada pada tangannya dan ia meneguknya di neraka Jahannam, kekal dan dikekalkan selama-lamanya ... dst.” (HR Al-Bukhari dari Abu Hirairah/Shahih Al-Bukhari hadis no 5442)
Dari ayat dan hadis di atas sangat jelas bahwa bunuh diri adalah perbuatan dosa besar yang sangat dibenci Allah. Hukumannya sangat berat. Orang yang bunuh diri sejatinya tidak menyelesaikan masalah, hanya mengalihkan masalah dari dunia fana saat ini ke alam akhirat kelak. Allahu a'lam.

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Beberapa waktu yang lalu dunia pendidikan dihebohkan oleh peredaran video yang merekam adegan kekerasan yang dilakukan seorang guru SMK di Gorontalo. Rekaman itu menjadi pembicaraan ramai karena yang melakukan adalah seorang guru, seseorang yang seharusnya menunjukkan perilaku bijak yang patut dijadikan contoh. Kalau saja rekaman itu tidak tersebar luas, mungkin tidak akan ada pembicaraan sedikitpun tentang kekerasan yang dipertunjukkan itu, yakni menampar wajah seseorang.


Pada penayangan adegan kekerasan yang juga pernah muncul di televisi, misalnya yang dilakukan oleh Geng Nero di Pati dan Geng Motor di Bandung, menampar wajah sepertinya menjadi sesuatu yang pasti dilakukan. Mungkin hal itu terjadi begitu saja, karena wajah adalah bagian yang mudah untuk menerima pukulan dan terbuka sehingga bekas pemukulan akan mudah kelihatan. Sesuatu yang agaknya disukai oleh si pemukul atau si penampar.
Celakanya, dalam dunia sinetron kita pun adegan kekerasan dengan menampar atau memukul wajah sangat mudah dilakukan. Dalam sinetron yang setiap hari disiarkan di televisi, setiap adegan kekerasan fisik selalu menunjukkan adegan menampar wajah dengan bengisnya. Entah ayah menampar anak, suami menampar istri, majikan menampar pembantu, atau teman menampar teman. Hal ini sungguh menyedihkan karena adegan tersebut tidak patut dilakukan apalagi sengaja dipertontonkan. Prilaku itu lambat laun ditiru masyarakat baik sadar atau tidak sadar secara lebih massif meskipun prilaku semacam itu mungkin memang acap terjadi dalam kenyataan sehari-hari.
Wajah adalah bagian sangat penting dari manusia. Seseorang dikenali antara lain karena wajahnya. Ia sedikit banyak dapat menunjukkan pribadi seseorang. Begitu pentingnya wajah bagi seseorang, apalagi bagi seorang wanita, tak heran bagian ini sering mendapat perawatan dan tata rias yang menghabiskan cukup banyak uang. Sedemikian pentingnya, maka sungguh mengherankan jika adegan kekerasan yang mengorbankan wajah terus berlangsung di sinetron kita.
Wajah (muka) adalah salah satu anggota badan yang dimuliakan Allah Swt, dan yang paling dihormati. Dari wajahlah dapat dilihat identitas seseorang, dari wajahlah kegembiraan dan kesusahan seseorang dapat dilihat, bahkan tanda-tanda bekas sujud pun terlihat pada wajahnya. Apabila nama ‘Ali bin Abi Talib disebut, para shahabat pun mendo’akan “karramallahu wajhah” (semoga Allah memuliakan wajahnya). Karena itulah Islam melarang menampar wajah, melukai, atau memberikan cap atau tato di wajah, baik wajah manusia maupun wajah binatang.
Prof. Saad Abdul Wahid dalam bukunya “Membersihkan dan Menyembuhkan Berbagai Penyakit Qalbu” (Citra Media, 2006) menjelaskan perihal larangan menampar wajah itu dengan mengutip beberapa hadis Rasulullah. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim ditegaskan, “Dari Abi Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila seseorang di antaramu memerangi saudaranya, maka jauhilah wajah.” (Shahih Al-Bukhari/No. 2420, Shahih Muslim/No. 112/2612) Sedang dalam hadis yang lain, dari Abi Zannad, dengan sanad yang sama, ia berkata, “Apabila seseorang di antaramu memukul” (jauhilah wajah).
Sedang perihal dilarang menyakiti binatang pada bagian wajah, termasuk menatonya, Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Jabir, “Bahwa Nabi Saw lewat di depan seekor himar (keledai) yang telah diberi tato di wajahnya, kemudian beliau bersabda: ‘Allah melaknat orang yang memberi tato pada wajahnya’.” (Shahih Muslim/No. 107/2117)
Hadis yang pertama dan kedua menjelaskan bahwa menampar wajah saudaranya adalah haram, demikian pula jika dalam peperangan, menembak, atau melukai wajah adalah haram, kecuali tidak sengaja. Adapun hadis yang ketiga menjelaskan bahwa menampar atau memberi tato di wajah binatang, juga haram, bahkan pada hadis yang ketiga Nabi menggunakan kata-kata laknat, yang mengandung pengertian azab yang sangat berat.
Pelarangan seseorang menampar wajah orang lain ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati harkat dan martabat seseorang. Orang yang menampar wajah orang lain biasanya dilakukan disertai keinginan merendahkan martabat korban. Bukan sekadar menyakiti. Karenanya jika suatu negara mendapat perlakuan tak senonoh dari negara lain sering dikatakan sebagai menampar wajah negara. Mendapat tamparan di wajah berarti mendapat penghinaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, permasalahan, pertikaian kecil maupun besar, perselisihan adalah hal yang biasa terjadi. Kesemua hal itu dapat dicarikan jalan keluar yang bijaksana tanpa harus saling menyakiti, apalagi menindas kehormatan orang lain, misalnya dengan menampar wajahnya. Siapapun orang tidak akan rela mendapati tangan orang lain mendarat di wajahnya. Karenanya sudah selayaknya jika adegan-adegan kekerasan yang memperlihatkan sangat mudahnya menampar wajah dalam dunia sinetron kita dihentikan. Sadar atau tidak sadar, tontonan itu akan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk melakukan hal-hal yang diharamkan agama. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prof. Kalbar






Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Sungguh tragis, di sebuah negeri yang dahulu pernah diagung-agungkan sebagai negeri yang ramah, tumbuh pertikaian fisik di mana-mana. Beberapa waktu terakhir dapat kita saksikan di televisi berita konflik di tengah masyarakat, di Jakarta, di Ambon, di NTB, Timika dan tempat lain, yang sebagiannya ada yang memakan korban tewas. Konflik itu bisa antara aparat dengan masyarakat atau antar masyarakat sendiri. Pemicunya bisa jadi sangat sepele, namun cukup untuk memantik kekerasan fisik yang mencekam.

Menurut sebagian orang konflik-konflik yang sangat mudah tersulut itu bukan semata akibat kondisi sosial ekonomi yang kian menghimpit dewasa ini, namun juga karena penyelesaian di masa lalu tidak tuntas. Penjagaan stabilitas yang sangat dominan membuat persoalan tidak dipecahkan secara tuntas, tapi dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tidak bergejolak. Istilahnya, kotoran yang disapu hanya disimpan di balik karpet, tidak dibuang di tempat sampah. Sehingga tatkala karpet diangkat atau diganti ternyata kotorannya masih bertumpuk dan muncul kembali.

Bilamana kekerasan terjadi? Kekerasan terjadi dalam lingkungan tertentu di mana hanya kekerasan yang menjadi satu-satunya jalan untuk mengekspresikan eksistensi kemanusiaannya. Kekerasan hanyalah manifestasi luar dan kadang menjadi jalan akhir setelah upaya yang panjang dan berliku dilewati. Karenanya kekerasan dimulai dari situasi yang paling tidak terbentuk oleh tiga elemen: pertama, perasaan mendalam dari individu, kelompok dan bangsa akan ketidakadilan dan keputusasaan. Kedua, ketidakberdayaan individu, kelompok dan masyarakat dalam mengubah ketidakadilan melalui segala cara tanpa kekerasan. Ketiga, ketiadaan dialog antara pelaku ketidakadilan dan korbannya, atau mungkin ada namun sekadar dialog semu (bisu). (Hassan Hanafi, 2001)

Masalah ketidakadilan dalam masyarakat bukan hal mudah untuk mengatasinya. Namun jika pemecahan masalahnya bisa dituntaskan maka ke depan masalah yang sama tidak berulang. Tidak perlu ada dendam agar kehidupan dalam masyarakat aman.
Pertikaian, kekerasan, sejak dahulu disadari melemahkan persatuan masyarakat. Demikian juga dalam sejarah pertumbuhan umat Islam saat awal kehadiran Raslullah Muhammad Saw. Masyarakat Arab, baik Quraisy Makkah ataupun Yahudi Madinah, sangat suka bertikai. Sampai kemudian datang Islam yang dibawa Nabi Muhammad dengan susah payah menyelamatkan suku-suku di Jazirah Arab dan mendapatkan eksistensinya kembali. Firman Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 103 menyebutkan, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Pesan ayat di atas menurut M. Quraish Shihab bisa disebut sebagai pesan kolektif, jami’an, semuanya. Artinya bahwa usaha penegakan kesatuan dengan berpegang teguh kepada tuntutan Tuhan dan menegakkan disiplin itu harus dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat, bukan hanya untuk satu individu. Sehingga kalau ada yang lupa ada yang mengingatkan, kalau ada yang tergelincir dibantu agar bangkit kembali. Jika ada masalah harus dipecahkan agar tidak mengganggu kehidupan masyarakat.

Dalam upaya penuntasan masalah inilah kekerasan terus dieliminir. Karena jika tidak, maka masyarakat dapat tercerai berai. Bisa-bisa masyarakat atau suatu bangsa berada di tubir neraka. Dalam masyarakat Islam, sebagai bagian mayoritas negri ini, penyelesaian konflik dengan cara kekerasan sangat tidak diterima. Karenanya penyelesian masalah secara tuntas dengan cara dialog ataupun jalan hukum yang jelas mutlak diperlukan. Dendam mendendam hanya akan menimbulkan keresahan berkepanjangan dan setiap saat dapat meledak. Setiap individu dan kelompok masyarakat menjaga akhlak dan perilakunya supaya tidak mengganggu bagi orang lain atau kelompok lainnya.

Hadis Nabi menyatakan, “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah telah bersabda, ‘Orang Islam adalah yang mana orang Islam lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya, orang mukmin adalah orang yang manusia aman darinya dalam harta dan nyawa (darah) mereka’.” (HR At-Tirmidzi, hasan shahih) Sedang dalam hadis lain riwayat Al-Bukhari dan Muslim Nabi bersabda, “Orang Islam adalah yang menyelamatkan orang-orang Islam lainnya dari lisannya dan tangannya.” Bahkan dalam Qur’an pun tegas dinyatakan Allah bahwa jika ada dua kelompok yang berkonflik (bukan hanya untuk kaum Muslim) maka keduanya harus didamaikan dengan menuntaskan masalah yang terjadi. Jika sudah dicoba dituntaskan tapi salah satunya tidak mematuhi dan membangkang, maka harus “diperangi” agar kelak tidak memunculkan masalah kembali. Tentu saja dalam usaha memecahkan masalah itu harus adil.
Perseteruan dalam masyarakat seringkali juga timbul karena saling mengejek, saling memperolok, yang walau kadang bagi salah satu dianggap iseng, namun tatkala penerimaan oleh kelompok lainnya dianggap serius, ia bisa menyulut pertikaian. Maka berolok-olok dan memberi gelar-gelar yang buruk dalam masyarakat baik bagi individu atau kelompok sangat dilarang oleh Islam. (Qs. Al Hujuraat : 9-12)

Jika ketidakadilan dan prasangka dapat dipecahkan secara tuntas, insya Allah konflik-konflik dalam masyarakat dapat dihindari. Pemecahan masalah tidak boleh laksana orang menyapu kotoran di karpet dengan tidak benar. Kotorannya tidak dibuang di tempat sampah tapi hanya dimasukkan ke bawah karpet. Di atas kelihatan bersih, di bawah bergejolak. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Dalam khutbah-khutbah Jum’at dan ceramah di majlis ta’lim, banyak da’i atau muballigh yang menjelaskan tentang sebab-sebab keruntuhan umat Islam. Cerita-cerita kedurhakaan umat terdahulu yang diazab oleh Allah Swt, pertikaian dan cerai berainya umat Islam menjadi alas cerita mengapa umat Islam mengalami kemunduran. Begitu pun yang sekarang ini banyak terjadi menimpa kaum muslimin.
Menurut para dai atau muballigh itu, kaum muslimin ditimpa kehinaan karena telah meninggalkan atau setidak-tidaknya mengabaikan banyak hal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kemudian sebagian dari da’i atau muballigh itu menyitir ayat 112 Qs. Ali Imran yang artinya, “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) dari Allah dan tali dari manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan, yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar, yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”

Dengan mengutip ayat di atas, para da’i atau muballigh itu menyatakan dengan tegas bahwa manusia atau kaum Muslimin akan selamat dan kembali bermartabat bila berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (ikatan) manusia sebagaimana tercantum dalam Qs. Ali Imran ayat 112 itu. “Kehinaan yang menimpa manusia atau kaum muslimin selama ini adalah karena kita tidak konsisten berpegang kepada tali Allah dan tali manusia. Untuk itu kita harus teguh manjaga hubungan vertical dan hubungan horizontal itu dengan sebaik-baiknya,” kurang lebih seperti itulah yang biasa dinyatakan para da’i atau muballigh.

Dua hal besar dapat direnungkan terkait masalah di atas. Pertama, bahwa sesungguhnya kaum Muslimin tidak pernah lepas dari pengamalan ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja pengamalannya memang fluktuatif, terutama bila berkaitan dengan urusan kekuasaan atau politik. Padahal urusan ini dapat berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat banyak. Pendengar khutbah Jum’at atau pun hadirin di majlis ta’lim akan merasa tidak nyaman dikatakan tidak mengamalkan ajaran Islam secara baik, karena sesungguhnya mereka telah berupaya untuk itu sebaik-baiknya. Namun kekalahan umat lebih disebabkan sebagian pemimpin politik atau pemuka agama yang terlena indahnya dunia sehingga mengabaikan pengamalan ajaran agamanya secara konsisten.

Hal kedua menyangkut pemakaian ayat 112 Qs. Ali Imran yang tidak tepat. Dalam ilmu tafsir dikenal istilah munaasabah, yakni keterkaitan antara surat yang satu dengan surat sebelumnya atau antara satu ayat dengan ayat sebelumnya. Dalam kasus ayat 112 Qs. Ali Imran tersebut, maka perkataan ”mereka” (hum) adalah kembali kepada atau sebagai kata ganti dari kaum Ahli Kitab dalam hal ini adalah penganut Nasrani dan (terutama) Yahudi. Jadi kehinaan yang ditimpakan oleh Allah Swt itu adalah kepada penganut agama Nasrani dan (terutama) Yahudi, tidak ada kaitannya dengan kaum Muslimin apalagi umat manusia seluruhnya seperti dinyatakan da’i atau muballigh tadi.

Makna dalam Kitab Tafsir

Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa firman Allah ta’ala dalam ayat 112 Qs. Ali Imran ”dluribat ’alaihim al-dzillatu” itu maksudnya adalah bagi Ahli Kitab yakni kaum Yahudi. Dalam kitab tafsir Jalalain dinyatakan bahwa ”dimana pun kamu bertemu dengan mereka jangan memberi ketinggian martabat kepada mereka dan jangan berpegang teguh kepada mereka.” Sedang Asy-Syaukani dalam kitab tafsir Fathul Qadir-nya menyatakan bahwa kaum Yahudi itu akan diliputi kehinaan dalam keadaan apapun dan di manapun kamu (kaum Muslimin) menemui mereka, kecuali yang menerima ketetapan (perlindungan) Allah dan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Islam atas mereka (sebagai ahli dzimmah). Hal itu karena mereka telah membunuh para nabi dan berbuat durhaka serta melampaui batas. Hal yang tidak terjadi pada kaum Muslimin, sehingga persepsi da’i atau muballigh di muka tadi menjadi tidak tepat.

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah-nya menulis, sementara orang ada yang menggunakan kedua istilah – hablun minallah dan hablun minanas – itu sebagai cerminan dari ajaran Islam. Seorang Muslim, kata mereka, hendaknya menjalin hubungan baik dengan Allah dan hubungan baik dengan manusia. Hemat penulis, pandangan itu kurang tepat, paling tidak dari dua sisi. Pertama adalah bahwa yang dituntut dari seorang muslim adalah menjalin hubungan, dengan demikian ia dituntut untuk aktif, sedang ayat ini menegaskan bahwa tali hubungan itu datang dari Allah dan dari manusia. Yang aktif menurut ayat ini adalah Allah dan manusia yang membantu. Kedua, bahwa ajaran Islam tidak hanya terbatas pada hubungan baik dengan Allah dan dengan sesama manusia, tetapi mencakup juga hubungan baik dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan seluruh lingkungan hidup serta hubungan yang baik dengan diri sendiri. Bukankah menurut al-Qur’an banyak orang yang menganiaya dirinya sendiri?

Mengutip Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya yang sangat populer, Prof. Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya ’Islam Masa Kini’ (2001) menulis bahwa yang dimaksud dengan hablun minallah itu adalah tanggungan Allah, di mana orang-orang kafir itu membuat perjanjian sebagai kafir dzimmi (ahli dzimmah – yang memperoleh jaminan keamanan baik untuk diri sendiri dan harta mereka) dan mereka wajib membayar jizyah (pajak). Sementara hablun minannas adalah jaminan keamanan yang mereka peroleh dari kaum mukminin. Ringkasnya seperti yang tertera dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar, hablun minallah adalah kewajiban membayar jizyah atas orang-orang kafir, sedang hablun minannas adalah hak mereka untuk memperoleh keamanan.

Jadi adalah tidak tepat (bahkan Prof. Mustafa Yaqub menyatakan termasuk tafsir haram) pemaknaan atas Qs. Ali Imran ayat 112 sebagaimana yang lazim kita dengar dari sebahagian da’i atau muballigh di masyarakat dengan makna seperti di awal tulisan ini. Ia tidak dapat dijadikan dalil untuk kebangkitan umat Islam, kerukunan manusia atau kesatuan kaum Muslimin. Dalil yang lebih tepat untuk menjaga persatuan umat adalah Qs. Ali Imran ayat 103 dan yang semakna dengannya tanpa mengaitkan dengan ayat yang ke 112. Allhu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar










Selengkapnya ......

Oleh: Lek Iwan

Setiap kali membaca headline media massa, yang terbaca adalah berita tentang kekejaman Zionis Israel kepada warga Palestina di Gaza. Hari ini agresi militer memasuki hari yang ke-23. Bermacam persenjataan Israel (=made in USA) yang dipergunakan alam agresi kali ini. Mulai dari senjata artileri, peluru kendali 'pintar' dan yang terakhir adalah penggunaan serbuk phosphor putih yang bersifat membakar dan termasuk bahan yang dilarang dalam peperangan.

Yang paling membuat hati sakit adalah, kenyataan bahwa saat ini HAMAS berjuang seorang diri! Negara-negara Arab semuanya bungkam, hanya berani mengumbar sumpah serapah tanpa arti! Entah berapa lama lagi perang ini akan berlanjut. Berapa lagi korban Israel yang akan terus berjatuhan? Hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui.

Jika kita menengok lagi ke belakang beribu tahun yang lalu, sebenarnya Israel (bani Israel) memang bangsa yang 'perlu selalu dibimbing' oleh para Rasul. Dalam mitosnya, Israel adalah bangsa yang paling disayang oleh Tuhan. Tetapi dalam kenyataannya, Israel adalah bangsa yang berpotensi berbuat kerusakan di dunia ini. Jadi kehadiran Rasul di tengah bani Israel ini adalah sebagai petunjuk jalan, panutan supaya tidak melenceng dari jalan-Nya.

Dalam bahasa guyonan, bani Israel digambarkan sebagai bangsa yang 'ngeyel' bin 'ndableg' (bandel) terhadap Rasul Allah. Banyak riwayat yang menceritakan mengenai sifat khas ini. Al Qur'an mengabadikannya dalam kisah mengenai sapi betina di zaman Nabi Musa As. (QS. Al Baqarah). Kalimat yang terkenal dari bangsa Israel kepada Nabi Musa pada saat mereka tidak sabar atas ujian Allah : "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami." Perhatikan penggalan kata "Tuhanmu", dimana kata "Tuhan" diberikan kepada "orang kedua tunggal" tanpa mau mengikut sertakan kalimat "kami" (Tuhan kami). Terdapat perbedaan yang jauh dari segi makna antara kalimat "Tuhanmu" dan kalimat "Tuhan kami". Seakan mereka mengatakan "Tuhan kamu saja" bukan "Tuhan kami".

Bani Israel memang sangat mudah untuk menyimpang dari ajaran Allah SWT. Hanya ditinggal beberapa hari oleh Nabi Musa yang mendapat wahyu dari Allah, akal sehat bangsa israel mulai hilang. Dibuatnya patung anak sapi (Hathor) sebagai Tuhan yang baru. Pada saat akan memasuki tanah Palestina pun umat Nabi Musa ini enggan untuk berperang, sehingga diharamkan memasuki wilayah tersebut selama 40 tahun. Kondisi 'diaspora' ini berakhir dan menjadi masa keemasan ketika Nabi Daud As memimpin kerajaan bani Israel. Sepeninggal Sulaiman As (Putra Nabi Daud), Allah mengutus banyak lagi nabi kepada Bani Israel meskipun dalam banyak hal mereka tidak mendengarkan mereka dan mengkhianati Allah.Israel kembali terpecah dan berbuat menyimpang dari ajaran Tauhid. Allah SWT menghukumnya dengan membiarkan Bangsa Assyria, Babilonia dan Romawi menghancurkan dan menghinakan bangsa Israel.

Bani Israel yang beragama Yahudi sangat terkenal sebagai bangsa pembunuh. Betapa banyaknya para nabi diturunkan ke tengah-tengah Bani Israil, kaumnya Nabi Musa a.s., untuk mengembalikan mereka ke jalan ketauhidan. Namun kaum Yahudi yang cenderung kepada kejahatan dan kesesatan, bahkan banyak melakukan pembunuhan terhadap para nabi Allah. Nabi Zakaria a.s. dibelah badannya, Nabi Yahya a.s. dipenggal kepalanya, dan sebagainya. Jadi kalau saat ini Israel membantai bangsa Palestina, bukanlah barang yang istimewa bagi mereka.

Kekejaman tentara zionis Israel terhadap warga di Gaza memang harus segera dihentikan. Seharusnya, para pemimpin negara muslim sebagai pelopor perjuangan. Sayang sekali, para pemimpin itu adalah begundal dari Amerika Serikat yang memberikan dukungan penuh kepada Israel.

* Penulis adalah seorang Blogger (http://gamingnow.tk)

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Allah SWT berfirman dalam Qs. Al-Hasyr : 18, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dikedepankannya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Mengutip Thabathabai, Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbahnya menulis bahwa perintah memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok sebagai perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan.

Ini seperti seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan dan barang tersebut tampil sempurna. Kebaikan tentu bukan hanya perbuatan individual yang didasari niat baik namun harus dapat mengekspresikan aksi kolektif berdasarkan tujuan universal sesuai yang dinyatakan dalam wahyu dan sejalan dengan asas positif kehidupan.
Maka jika kita menengok sedikit ke belakang, ke tahun yang sebentar lagi akan berganti ini, kita mendapati persoalan sosial (kolektif) yang begitu banyak. Di antara yang sangat menonjol adalah sering terjadinya tindak kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Kekerasan itu dapat berupa perseteruan antar individu, dapat pula antar kelompok yang mengakibatkan korban tewas atau luka berat. Kehidupan sosial yang kurang mendatangkan rasa aman dan nyaman itu agaknya masih akan berlanjut. Bukannya kita tidak menengok ke belakang untuk membuat evaluasi, namun kesulitan yang melanda masyarakat agaknya sedikit mengurangi alternatif yang dapat diraih untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Tentu saja secara normatif agama Islam mempunyai ajaran luhur yang mencegah segala perendahan martabat kehidupan manusia itu. Ada lima hal yang menjadi tujuan universal asas positif hukum Islam yakni : pemeliharaan kehidupan, pemeliharaan akal, penegakan kebenaran, kehormatan manusia, dan pemeliharaan kesejahteraan.
Prof. Hassan Hanafi dalam bukunya “Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer” menulis bahwa tujuan-tujuan tersebut dapat dijadikan tolok ukur utama bagi etika global dan kesatuan aksi kolektif untuk solidaritas manusia.
Pertama, pemeliharaan kehidupan manusia sebagai tolok ukur (nilai) utama dan absolut. Tidak ada ruang dan kebenaran bagi pembinasaan kehidupan manusia. Apabila kehidupan manusia terancam, maka semua hukum berkewajiban untuk menyelamatkan. Kehidupan bukan hanya untuk manusia, namun juga untuk alam lingkungan seluruhnya. Di sini dapat dipahami mengapa Islam sangat memperhatikan kelestarian kehidupan baik manusia maupun alam. Islam sangat mengecam terjadinya pembunuhan atas diri seseorang kecuali ada alasan yang haq untuk itu.

Kedua, pemeliharaan akal manusia menentang segala bentuk pengrusakan pikiran seperti alkohol, obat-obat terlarang, kebodohan dan lain-lain. Hal ini merupakan tujuan universal bagi umat manusia. Memerangi obat-obat terlarang dan alkohol berarti memerangi pengrusakan akal. Sungguh tidak beradab dan sangat membahayakan, para pembuat dan pengedar minum-minuman keras dengan kadar alkohol tinggi dan narkoba dalam segala jenisnya. Dalam tradisi yang menjunjung tinggi akal sehat, minum-minuman yang memabukkan tidak mendapat tempat. Karenanya sungguh mengherankan jika banyak orang yang masih saja menenggak minuman keras bahkan dengan campuran yang mematikan sampai akhirnya benar-benar menemui ajal. Akal merupakan prasyarat pertanggungjawaban manusia, tulis Hassan Hanafi.
Ketiga, karena akal manusia sebagaimana ditegaskan menjadi inti pengetahuan, maka perjuangan untuk kebenaran pengetahuan (informasi) menjadi komponen ketiga bagi etika global. Kebenaran tidak terbatas hanya pada apa yang dikatakan. Ia bersifat objektif. Islam sangat menganjurkan penyelidikan, penelitian dalam ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan sosial. Hal ini guna menghindari kerancuan berpikir dan keragu-raguan akan kebenaran Islam. Penelitian atas suatu informasi yang diterima seseorang atau kelompok akan ditelisik (tabayyun) sehingga nyata kebenarannya atau kebohongannya.

Keempat, menjunjung tinggi harkat manusia dan kehormatan masyarakat merupakan tujuan selanjutnya dan salah satu tolok ukur utama dalam etika global. Harkat tidak bersifat individual sebagaimana diungkap dalam konsep hak asasi manusia, akan tetapi bersifat kolektif, bertalian dengan kehormatan masyarakat, negara dan kebudayaan. Setiap ancaman bagi harkat kolektif kemanusiaan tidak dapat begitu saja dieliminasi mengatasnamakan hak asasi manusia secara individual. Hukuman berat (bahkan mati) bagi perusak moral dan martabat bangsa – misalnya oleh para koruptor kelas kakap dan bandar-bandar narkoba – harus dipandang sebagai balasan setimpal pada bahaya besar yang mungkin ditimbulkannya.

Kelima, pemeliharaan kesejahteraan individu dan negara merupakan salah satu komponen utama bagi pembangunan etika global dan solidaritas manusia. Hak milik pribadi merupakan bagian dari hak setiap individu untuk menggunakannya secara pribadi. Namun manusia hanya dipercaya Tuhan untuk menggunakannya sementara. Manusia berhak mengembangkan namun bukan untuk memonopoli.
Menilik kelima hal di atas dikaitkan dengan Qs. Al Hasyr ayat 18 di awal tulisan, maka evaluasi kolektif kiranya menjadi sangat penting dilakukan, terlebih di masa sulit sekarang ini. Agar segala pekerjaan yang pernah kita lakukan lebih bermakna sosial ketimbang sekadar individual. Dan agar pengelola negara lebih tegas menjaga kesejahteraan kolektif, kesejahteraan masyarakat, bukan menjaga kesejahteraan individual semata. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Mantan Danjen Kopassus Muchdi PR meradang. Usai sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang menuntutnya dihukum 15 tahun penjara, Muchdi mengatakan bahwa hal itu adalah puncak sebuah konspirasi dan sebuah fitnah. “Ingat, fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Entah ada maksud apa Muchdi mengatakan hal itu.


Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Kalimat ini begitu populer di masyarakat. Ia adalah arti letterlijk (apa adanya) dari beberapa ayat dalam al-Qur’an, walau sedikit aneh. Maksudnya, kata fitnah dalam ayat Al-Qur’an itu tidak diartikan, ia diambil begitu saja. Sedang pembunuhan adalah arti dari al-qatl. Kata kejam diambil dari kata asyaddu, sedang di ayat lain berarti lebih besar dari kata akbar. Dengan demikian ada satu kata dalam untaian ayat-ayat mengenai ‘fitnah’ yang tidak diartikan secara benar, yaitu kata ‘fitnah’ itu sendiri.

Sejauh pemahaman populer di masyarakat, fitnah dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai kabar bohong, isu, rumor, menjelekkan orang lain. Jika seseorang mengatakan bahwa si Fulan melakukan korupsi sedang kenyataannya si Fulan tidak korupsi, maka seseorang itu dibilang memfitnah, menyebar fitnah. Jika dalam suasana kampanye menjelang Pilkada ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa jika kandidat A terpilih akan terjadi begini-begitu, kemudian kandidat A atau siapa saja merasa bahwa hal itu adalah kampanye hitam, maka ia akan menyebutnya juga sebagai fitnah. Berita bohong yang tidak benar, tidak perlu dipercaya.

Benarkah fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Jika kita memakai konteks fitnah dalam Bahasa Indonesia seperti di atas, tentu menjadi tidak terlalu pas. Betapapun sebuah pembunuhan adalah puncak kejahatan kemanusiaan. Kekejaman itu pula yang dulu pernah dilakukan Qabil kepada Habil, anak-anak Nabi Adam, sehingga ia merasa sangat berdosa dan membopong jenazah Habil kesana-kemari sebelum menemukan cara penguburan jenazah. Jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, mengapa pula aktivis HAM Munir mesti dibunuh – oleh siapapun yang merasa menjadi musuhnya – dan tidak difitnah saja?

Dalam Al-Qur’an sendiri, begitu kejamnya sebuah pembunuhan, maka pembalasannya dapat berupa pembunuhan juga (nyawa dibayar nyawa) kecuali ada pengampunan dari keluarga korban. Sedangkan jika fitnah dimengerti sebagai kabar bohong, rumor, menjelek-jelekkan orang lain, ia dihukumi tidak terlalu berat. Jika hal itu dilakukan pada saat puasa Ramadhan, maka ia tidak akan mendapat pahala, puasanya tetap sah. Jika dalam kondisi biasa, maka ia laksana memakan daging saudaranya yang telah menjadi mayat (dalam hal ini bergunjing atau ghibah). Karena itu jauhilah.

Jadi apa itu fitnah? Merujuk pada Qs. Al Baqarah ayat 217 yang artinya, “mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah, dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, dst.” maka fitnah di sini berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan muslimin. Jadi fitnah adalah penindasan.

Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya, kata fitnah terulang tidak kurang dari tiga puluh kali dan tidak satupun yang mengandung makna membawa berita bohong atau menjelekkan orang lain. Karena itu, tidaklah tepat mengartikan al-fitnatu asyaddu minal qatl dan al-fitnatu akbaru minal qatl dengan makna “memfitnah/membawa berita bohong/menjelekkan orang lain lebih kejam atau lebih besar dosanya dari pembunuhan.” Kekeliruan ini muncul, kata Quraish, akibat pemahaman yang meleset tentang kata fitnah yang diperparah oleh diabaikannya konteks sebab turun suatu ayat. Kata fitnah terambil dari akar kata ‘fatana’ yang pada mulanya berarti “membakar emas untuk mengetahui kadar kualitasnya”. Kata tersebut digunakan Al-Qur’an dalam arti “memasukkan ke neraka” atau siksaan.

Berkenaan dengan Qs. Al-Baqarah ayat 217 di atas, fitnah disitu ditafsirkan sebagai penyiksaan yang dilakukan oleh kaum musyrikin Makkah. Itulah yang ditunjuk lebih kejam dan lebih besar dosanya daripada pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan pimpinan Abdullah bin Jahesy dan kelompoknya. Fitnah di sini juga bisa difahami dalam arti siksaan bagi kaum musyrikin di kemudian hari, lebih besar dan lebih keras sakitnya daripada pembunuhan yang dilakukan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin.

Fitnah yang tercantum dalam Qs. Al-Baqarah ayat 191 dan 192 juga bermakna penganiayaan / penyiksaan dan kemusyrikan itu sendiri jika dikaitkan dengan pembunuhan. Sementara kata fitnah dalam Qs. An-Nisa’ ayat 3 yang berkaitan dengan pemaknaan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an (untuk menimbulkan fitnah) berarti menimbulkan kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman. Hal ini dinyatakan pula oleh Rasulullah dalam hadis riwayat Muslim, “Jika kamu berbicara (menyampaikan ucapan) tentang sesuatu perkara kepada suatu kaum padahal perkara itu tidak terjangkau (tidak dipahami) oleh akal pikiran mereka, niscaya akan membawa fitnah di kalangan mereka.” (HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud/Sahih Muslim). Fitnah dalam hadis ini berarti kebingungan, kerancuan berpikir karena tidak faham atas perkara yang dibicarakan.

Dengan demikian mengartikan bahwa fitnah lebih kejam atau lebih besar daripada pembunuhan dengan mindset ayat-ayat al-Qur’an yang populer itu adalah tidak tepat. Jika yang dimaksud Muchdi PR fitnah adalah character assassination (pembunuhan karakter) pun rasanya tidak lebih kejam ketimbang pembunuhan. Character assassination masih bisa direhabilitasi, tapi orang yang sudah mati (terbunuh) tidak bisa dihidupkan kembali. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar





Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Masih hangat dibicarakan sampai saat ini, tragedi ”peradilan sesat” yang terjadi di Jombang. Tentu saja peradilannya sendiri tidak berlangsung dalam kesesatan namun yang terjadi sekarang adalah bahwa perkara yang diajukan ternyata objeknya salah. Yakni tentang pembunuhan di sebuah kebun tebu yang semula korban dikenali sebagai Asrori tapi belakangan ternyata ia adalah Fauzin Suyanto. Tiga orang tersangka pembunuh Asrori versi kebun tebu itu diajukan ke sidang pengadilan. Dua orang – Kemat dan David -- telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi narapidana di penjara. Sedang yang ketiga, Maman, masih dalam tahap proses pengadilan. Semula Maman pun menginap di tahanan, namun atas permintaan kuasa hukumnya dan memperhatikan bahwa telah terjadi salah objek yang dituduhkan, ia pun dikeluarkan dari tahanan. Namun proses hukumnya sendiri masih berjalan, sampai menemukan putusan yang berkekuatan hukum tetap.



Kasus serupa pernah terjadi. Yang paling terkenal adalah kasus Sengkon dan Karta tahun 1974. Alkisah, Sengkon dan Karta ditangkap dengan sangkaan merampok dan membunuh pasangan suami istri Sulaiman Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Polisi menyidik kasus ini dan meyakinkan Sengkon-Kartalah pelakunya. Hingga tiga tahun kemudian, kedua petani itu tetap menyangkal tuduhan jaksa. Tapi, Hakim Djurnetty Soetrisno lebih memercayai cerita polisi ketimbang pengakuan kedua terdakwa. Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta 7 tahun. Tapi ternyata ada orang lain bernama Gunel, mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang sebenarnya. Sengkon dan Karta akhirnya dibebaskan. Dan Gunel dipenjara.

Namun, kesalahan para penegak hukum terhadap kedua orang itu tidak tertebus. Akibat peristiwa ini, keluarga Karta, bersama dua istri dan 12 orang anak, kocar kacir dan jatuh miskin.

Perihal salah tangkap dalam sebuah tindak kriminalitas bukan perkara baru di negeri kita. Di luar negeri pun hal serupa juga bisa terjadi. Hal tersebut bisa terjadi karena aparat keamanan/polisi mungkin menemukan petunjuk yang dianggap cukup untuk menangkap seseorang atau lebih yang ditengarai melakukan tindak kriminalitas dimaksud. Setelah melalui proses penyidikan yang sewajarnya, tentu polisi akan bisa mengambil kesimpulan awal apakah orang yang ditangkapnya itu benar-benar bersalah ataukah tidak. Dari sinilah kemudian perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilanjutkan ke pengadilan.

Tatkala yang saling berperkara telah berada di ruang persidangan, maka hakimlah yang berkuasa. Menjadi kewajiban hakim untuk mendengarkan semua pihak yang berhadapan untuk mengemukakan tuduhan dan sanggahan. Hal yang sama terjadi di semua persidangan, baik pidana, perdata, agama dan tata usaha negara. Tidak boleh hakim membuat penilaian apalagi keputusan tanpa mendengar kedua belah pihak yang berperkara. Hakim pun tentu akan menanyakan kepada pihak-pihak tentang perkara yang disidangkan agar menjadi jelas dan kuat.

Pada posisi inilah kemudian hakim mendapatkan perannya yang menentukan. Sesuai dengan seluruh penjelasan yang diterimanya, pertimbangan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan suara hatinya, ia akan mengambil keputusan. Mana yang salah, mana yang benar. Mana yang kalah, mana yang menang. Tatkala ia bertekad untuk memutuskan, maka dikatakan ”sebelah kaki berada di surga, sebelah kaki berada di neraka”. ”Lidah seorang hakim berada di antara dua bara api sehingga dia menuju surga atau neraka.” (HR. Abu Na'im dan Ad-Dailami) Jika ia memutus perkara dengan benar dan jujur, maka ia akan masuk surga. Namun jika ia memutus perkara dengan salah diibaratkan sebelah kakinya telah menuju neraka. Dan jika putusan yang salah itu dilatarbelakangi dendam pribadi atau intervensi pihak lain (misalnya lewat tekanan atau sogokan), maka ia benar-benar bisa masuk neraka. Tapi jika putusan yang salah itu bukan kesengajaan setelah melalui proses hukum yang benar, maka menurut hadis Nabi riwayat Al-Bukhari, ia tetap mendapat satu pahala. Ini diibaratkan sebagai ijtihad dalam pengambilan (istimbat) hukum. Walau ada adagium, lebih baik melepaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.

Sesuai dengan artinya, hakim adalah orang yang bijaksana. Diperlukan kearifan yang tinggi untuk mencermati suatu perkara sampai memutuskan. Jangan sampai terjadi salah vonis. Vonis dalam Bahasa Arab disebut al-qadha’, yaitu putusan hakim pada sidang pengadilan yang berkaitan dengan persengketaan antara pihak-pihak yang berperkara.

Di dunia memang terdapat hakim yang jujur dan ada pula hakim yang curang, yang tidak menegakkan keadilan dan hanya mencari keuntungannya saja. Keputusan hakim yang tidak adil diharamkan oleh Allah Swt, dan diancam dengan hukuman yang sangat berat, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi, "Rasulullah saw bersabda: Ada dua hakim; hakim yang satu masuk neraka, dan hakim lainnya masuk surga: Yaitu: Hakim yang satu mengetahui mana yang haq (benar), dan dia memutuskan dengan benar, dialah yang masuk surga, sedang hakim yang lainnya mengetahui mana yang haq (benar) tetapi dia menyimpang dengan sengaja, atau memutuskan suatu keputusan tanpa ilmu, maka dia masuk neraka." (HR al-Hakim, Abu Dawud, at-Tirmiziy, Baihaqi dan Ibnu Majah).

Pengambilan keputusan yang salah oleh seorang hakim bisa terkait dengan aparat yang lainnya. Misalnya karena polisi mengajukan tersangka yang ternyata salah tangkap. Hanya saja tanggung jawab yang lebih besar ada pada hakim, karena dialah yang memutus perkara. Kita berharap tak ada lagi hakim yang memutus dengan salah. v


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Belum genap dua bulan berlalu bulan suci Ramadhan 1429 H, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menyaksikan bencana alam dan bencana sosial mewabah di seantero negeri. Bencana alam datang sebagiannya akibat ulah manusia selama beberapa tahun sebelum kini, misalnya penggundulan hutan beberapa saat lalu, sehingga kini kita menuai buahnya. Tanah longsor dan banjir. Sedang bencana alam semisal gempa bumi tektonik, nyaris tak bisa diprediksi dan dihindari sebagai bagian dari pergeseran lempeng Bumi (pangea) dan pergerakan alam semesta sesuai sunnatullah.


Sementara bencana sosial yang mewabah sekarang ini antara lain adalah pengangguran, konflik antara buruh dan majikan dan kerusuhan, termasuk di dalamnya tawuran. Entah tawuran kecil antar pemuda, antar mahasiswa dan tawuran besar antar desa, antar pendukung gubernur atau bupati/walikota. Dan yang paling sering terjadi adalah kericuhan antara penggusur dan kaum yang digusur serta antara masyarakat dengan aparat keamanan.

Penanda bulan suci Ramadhan di awal tulisan bukan sekadar pengingat waktu. Namun untuk mengingatkan hakikat akan apa-apa yang selama bulan itu diperdengarkan oleh para penceramah, dilakukan oleh kaum muslimin dan selayaknya diteruskan di bulan berikutnya. Hakikat yang ingin diaktualisasikan kembali adalah betapa pada waktu itu semua penceramah, semua kaum muslimin, mengajak dan diajak untuk berlaku jujur karena puasa di bulan itu tidak ada yang mengawasi kecuali Allah dan diri sendiri. Pada puasa itu diajarkan pengekangan hawa nafsu, dilambangkan dengan menahan pemenuhan keinginan perut dan syahwat seksual di siang hari dan pengekangan akan pembicaraan yang tidak perlu, terlebih caci maki, penyebaran berita bohong dan penghasutan. Kemarahan pun diikat kuat-kuat agar terjadi pembelajaran untuk tidak mengumbar amarah di sembarang waktu dan kesempatan.

Namun apa terjadi? Oleh akumulasi persoalan yang rumit yang melanda negri ini, pengekangan amarah itu sudah dilupakan. Di beberapa daerah hampir tak ada sisa tapak-tapak Ramadhan menghiasi, kecuali yang telah biasa terjadi, sekadar sholat fardhu. Amarah dan ketidakjujuran melanda di sana-sini. Soal ketidakjujuran, mungkin bisa diperdebatkan. Namun soal amarah yang menghambur tak bisa diingkari. Padahal jelas dikatakan berjuta kali firman Allah dalam Qs. Ali Imran 134, bahwa orang yang bertakwa “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Melalui ayat ini, Allah bermaksud mengajarkan kaum muslimin dan umat manusia seluruhnya sesungguhnya, bahwa di antara ciri-ciri orang yang baik, yang bertaqwa, adalah yang mampu menahan amarahnya dan bahkan jika mampu memaafkan kesalahan orang lain. Namun menahan amarah tampaknya masih menjadi perkara yang tidak mudah di negeri ini. Selaras dengan berbagai pertikaian dan konflik di tingkat elite, konflik di masyarakat banyak yang berujung penumpahan amarah secara membabi buta. Ricuh. Anarkhi. Chaos.

Sepertinya negeri yang dulu pernah dijuluki warganya ramah dan murah senyum ini sedang bermetamorfosa menjadi negeri yang berwajah angker dan murah tinju. Segala konflik menjadi kurang layak berita kalau tidak diwarnai kericuhan atau berakhir rusuh. Salah paham berebut – maaf – perempuan antara dua pemuda, dapat berakhir rusuh dua desa. Perdebatan batas dua desa dapat berakhir rusuh di depan balaikota. Perselisihan pemenang Pilkada dapat berakhir bentrok di depan gedung kantor gubernur.
Pemicu kekerasan masyarakat tentu banyak kaitannya. Baik terkait soal ekonomi, sosial, politik ataupun budaya. Namun dua kemungkinan bisa dicermati, yakni adanya kekerasan struktural dan kekerasan kultural.

Kekerasan struktural dipahami sebagai kekerasan yang muncul akibat struktur kekuasaan yang kurang memihak kepada rakyat, birokrasi yang menghambat dan penelantaran hak-hak warga negara yang seharusnya dipenuhi oleh pemimpin pemerintahan. Perombakan struktural tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat, kecuali melalui revolusi. Namun hal ini bukan pilihan yang banyak diminati. Akhirnya masyarakat hanya mampu berdemonstrasi, syukur-syukur diperhatikan dan terjadi perubahan. Jika ternyata tidak, maka kekerasan fisiklah yang terjadi.

Kekerasan kultural adalah kekerasan yang terjadi karena adanya budaya di daerah tertentu yang banyak menampilkan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Awalnya mungkin oleh kondisi geografis yang dihadapi, namun lambat laun menjadi perilaku sosial yang turun temurun. Pengikisan terhadap budaya kekerasan ini dilakukan melalui penyadaran, pencerahan akan bahayanya kekerasan dalam penyelesaian masalah, dan biasanya hal ini memakan waktu sangat lama, kecuali dilakukan oleh pemimpin yang sangat kharismatik.

Meskipun dua hal di atas mungkin mempengaruhi kebiasaan tawuran yang sekarang sedang mewabah di negeri ini, bukan berarti tidak ada contoh penyelesaian yang pernah terjadi. Dalam konteks Agama Islam, kehadiran Nabi Muhammad Saw pada zamannya dapat dijadikan pegangan. Betapa dalam kehidupan masyarakat Makkah yang dicengkeram oleh kekerasan struktural elit Quraisy dan kekerasan kultural dalam penyelesaian masalah, Muhammad dapat mengubah menjadi kepemimpinan yang lembut dan menghilangkan kekerasan kultural secara cukup signifikan. Sehingga orang sekaliber Umar ibn Khaththab pun menjadi lembut akhlaknya. Berbagai persoalan dapat dibicarakan. Kekerasan tidak diobral.

Nabi bersabda, “Orang yang dibenci Allah ialah orang yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam.” (HR Al-Bukhari dari ‘Aisyah/Shahih Al-Bukhari, hadis no. 2325). Mengingat Qs. Ali Imran ayat 134, tarikh Nabi Muhammad berikut sabdanya di atas, semoga masyarakat kita dapat terbebas dari wabah kekerasan. Negeri kita bukanlah negeri tawuran. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar



صحيح البخاري م ت البغا/6 - (ج 2 / ص 867)
2325 - حدثنا أبو عاصم عن ابن جريج عن ابن أبي مليكة عن عائشة رضي الله عنها
: عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( إن أبغض الرجال إلى الله الألد الخصم )
[ 4251 ، 6765 ]
[ ش أخرجه مسلم في العلم باب في الألد الخصم رقم 2668 . ( الألد الخصم ) المعوج عن الحق المولع بالخصومة والماهر بها والألد في اللغة الأعوج ]
صحيح مسلم مشكول - (ج 13 / ص 150)
4821 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ




Selengkapnya ......