Oleh : Zainul Arifin

Sungguh tragis, di sebuah negeri yang dahulu pernah diagung-agungkan sebagai negeri yang ramah, tumbuh pertikaian fisik di mana-mana. Beberapa waktu terakhir dapat kita saksikan di televisi berita konflik di tengah masyarakat, di Jakarta, di Ambon, di NTB, Timika dan tempat lain, yang sebagiannya ada yang memakan korban tewas. Konflik itu bisa antara aparat dengan masyarakat atau antar masyarakat sendiri. Pemicunya bisa jadi sangat sepele, namun cukup untuk memantik kekerasan fisik yang mencekam.

Menurut sebagian orang konflik-konflik yang sangat mudah tersulut itu bukan semata akibat kondisi sosial ekonomi yang kian menghimpit dewasa ini, namun juga karena penyelesaian di masa lalu tidak tuntas. Penjagaan stabilitas yang sangat dominan membuat persoalan tidak dipecahkan secara tuntas, tapi dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tidak bergejolak. Istilahnya, kotoran yang disapu hanya disimpan di balik karpet, tidak dibuang di tempat sampah. Sehingga tatkala karpet diangkat atau diganti ternyata kotorannya masih bertumpuk dan muncul kembali.

Bilamana kekerasan terjadi? Kekerasan terjadi dalam lingkungan tertentu di mana hanya kekerasan yang menjadi satu-satunya jalan untuk mengekspresikan eksistensi kemanusiaannya. Kekerasan hanyalah manifestasi luar dan kadang menjadi jalan akhir setelah upaya yang panjang dan berliku dilewati. Karenanya kekerasan dimulai dari situasi yang paling tidak terbentuk oleh tiga elemen: pertama, perasaan mendalam dari individu, kelompok dan bangsa akan ketidakadilan dan keputusasaan. Kedua, ketidakberdayaan individu, kelompok dan masyarakat dalam mengubah ketidakadilan melalui segala cara tanpa kekerasan. Ketiga, ketiadaan dialog antara pelaku ketidakadilan dan korbannya, atau mungkin ada namun sekadar dialog semu (bisu). (Hassan Hanafi, 2001)

Masalah ketidakadilan dalam masyarakat bukan hal mudah untuk mengatasinya. Namun jika pemecahan masalahnya bisa dituntaskan maka ke depan masalah yang sama tidak berulang. Tidak perlu ada dendam agar kehidupan dalam masyarakat aman.
Pertikaian, kekerasan, sejak dahulu disadari melemahkan persatuan masyarakat. Demikian juga dalam sejarah pertumbuhan umat Islam saat awal kehadiran Raslullah Muhammad Saw. Masyarakat Arab, baik Quraisy Makkah ataupun Yahudi Madinah, sangat suka bertikai. Sampai kemudian datang Islam yang dibawa Nabi Muhammad dengan susah payah menyelamatkan suku-suku di Jazirah Arab dan mendapatkan eksistensinya kembali. Firman Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 103 menyebutkan, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Pesan ayat di atas menurut M. Quraish Shihab bisa disebut sebagai pesan kolektif, jami’an, semuanya. Artinya bahwa usaha penegakan kesatuan dengan berpegang teguh kepada tuntutan Tuhan dan menegakkan disiplin itu harus dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat, bukan hanya untuk satu individu. Sehingga kalau ada yang lupa ada yang mengingatkan, kalau ada yang tergelincir dibantu agar bangkit kembali. Jika ada masalah harus dipecahkan agar tidak mengganggu kehidupan masyarakat.

Dalam upaya penuntasan masalah inilah kekerasan terus dieliminir. Karena jika tidak, maka masyarakat dapat tercerai berai. Bisa-bisa masyarakat atau suatu bangsa berada di tubir neraka. Dalam masyarakat Islam, sebagai bagian mayoritas negri ini, penyelesaian konflik dengan cara kekerasan sangat tidak diterima. Karenanya penyelesian masalah secara tuntas dengan cara dialog ataupun jalan hukum yang jelas mutlak diperlukan. Dendam mendendam hanya akan menimbulkan keresahan berkepanjangan dan setiap saat dapat meledak. Setiap individu dan kelompok masyarakat menjaga akhlak dan perilakunya supaya tidak mengganggu bagi orang lain atau kelompok lainnya.

Hadis Nabi menyatakan, “Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah telah bersabda, ‘Orang Islam adalah yang mana orang Islam lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya, orang mukmin adalah orang yang manusia aman darinya dalam harta dan nyawa (darah) mereka’.” (HR At-Tirmidzi, hasan shahih) Sedang dalam hadis lain riwayat Al-Bukhari dan Muslim Nabi bersabda, “Orang Islam adalah yang menyelamatkan orang-orang Islam lainnya dari lisannya dan tangannya.” Bahkan dalam Qur’an pun tegas dinyatakan Allah bahwa jika ada dua kelompok yang berkonflik (bukan hanya untuk kaum Muslim) maka keduanya harus didamaikan dengan menuntaskan masalah yang terjadi. Jika sudah dicoba dituntaskan tapi salah satunya tidak mematuhi dan membangkang, maka harus “diperangi” agar kelak tidak memunculkan masalah kembali. Tentu saja dalam usaha memecahkan masalah itu harus adil.
Perseteruan dalam masyarakat seringkali juga timbul karena saling mengejek, saling memperolok, yang walau kadang bagi salah satu dianggap iseng, namun tatkala penerimaan oleh kelompok lainnya dianggap serius, ia bisa menyulut pertikaian. Maka berolok-olok dan memberi gelar-gelar yang buruk dalam masyarakat baik bagi individu atau kelompok sangat dilarang oleh Islam. (Qs. Al Hujuraat : 9-12)

Jika ketidakadilan dan prasangka dapat dipecahkan secara tuntas, insya Allah konflik-konflik dalam masyarakat dapat dihindari. Pemecahan masalah tidak boleh laksana orang menyapu kotoran di karpet dengan tidak benar. Kotorannya tidak dibuang di tempat sampah tapi hanya dimasukkan ke bawah karpet. Di atas kelihatan bersih, di bawah bergejolak. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......