Oleh : Zainul Arifin

Pada suatu hari Rasalullah SAW mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. Nabi mengambil makanan dan berkata kepadanya, ”Makanlah!”

Perempuan itu berkata, ”Saya sedang berpuasa ya, Rasululllah.”

Kata Nabi, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa, padahal telah kau maki jariyah-mu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah telah menjadikan puasa sebagai penghalang – selain dari makan dan minum – juga dari hal-hal tercela, perbuatan atau perkataan yang merusak puasa. Alanglah sedikitnya yang puasa, alangkah banyaknya yang lapar.”

Tatkala kita melaksanakan puasa Ramadhan, sejatinya kita sedang melaksanakan dua hal : pertama, menahan diri dari segala sesuatu yang merusak, kedua, bahwa kita melakukan hal itu adalah dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Al-imsak ‘anil-mufthirat al-ma’hudat bi qashdi qurbah). Demikian definisi puasa menurut para ahli fiqh.

Dalam definisi itu terkandung kata al-imsak, yang dalam Bahasa Arab dapat berhubungan dengan kata ‘an atau dengan bi. Bila berhubungan dengan ‘an (imsak ‘an) maka ia berarti menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Sedang bila berhubungan dengan bi (imsak bi) maka ia bermakna berpegang teguh kepada sesuatu yang dijadikan gantungan atau pegangan. Dalam Qs. Al Baqarah : 256 dinyatakan bahwa barang siapa yang ingkar kepada Thaghut (syaitan) dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang teguh (istamsaka bi) kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.

Orang yang berimsak bi – berpegang teguh kepada Allah SWT – maka seharusnya ia berimsak ‘an – menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, baik dalam puasa maupun di luar puasa. Pokoknya dalam seluruh kehidupannya di dunia. Sedang orang yang berimsak ‘an, belum tentu berimsak bi. Karena ia menahan diri dari melakukan sesuatu bukan karena Allah SWT tapi sekadar untuk menyenangkan orang lain, atau maksud-maksud duniawi semata. Pokoknya diluar kepatuhan kepada Allah SWT. Oleh karenanya tidak heran jika suatu ketika ia dapat menahan diri di saat lain tidak. Contoh : di traffic light, orang yang patuh akan berhenti saat lampu merah menyala karena disiplin berlalu lintas, bukan karena takut pada polisi. Tapi orang yang tidak patuh, maka tatkala tidak ada polisi, meski lampu traffic light menyala merah, ia akan menerabasnya. Sedang kalau ada polisi, ia akan pura-pura patuh.

Orang berpuasa Ramadhan menyadari bahwa ia harus berimsak bi dan berimsak ‘an. Maka meski di saat sepi tidak ada orang selain dirinya, ia tidak akan membatalkan puasanya dengan makan minum atau melakukan hal lain yang merusak nilai puasanya. Orang yang berimsak bi (berpegang teguh kepada tali Allah) dalam kehidupannya maka ia tak punya pilihan lain kecuali untuk melakukan hal-hal yang baik. Ia akan menahan diri dari korupsi, karena ia teguh dengan keimanannya. Bukan karena takut diperiksa KPK atau BPK. Ia tidak akan mencuri bukan karena tidak ada kesempatan, atau karena bernyali ciut, tapi karena ia tahu mencuri dilarang oleh agama.

Dengan berpuasa Ramadhan sesungguhnya kita juga sedang menegaskan kembali pernyataan kita, permohonan kita kepada Allah untuk diberi atau ditunjukkan jalan yang lurus (ihdina ash-shiraat al-mustaqiim) seperti yang tercantum dalam Qs. Al-Fatihah. Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya menyatakan bahwa shirat bagaikan jalan tol. Kita tidak dapat lagi keluar atau tersesat setelah memasukinya. Bila memasukinya, kita telah ditelan olehnya dan tidak dapat keluar kecuali setelah tiba pada akhir tujuan perjalanan. Sedang dalam pengertian lebih sederhana, jalan lurus, seperti juga garis lurus, adalah jalan atau garis yang paling cepat menghubungkan dua titik. Demikian halnya dengan puasa Ramadhan. Agar puasa Ramadhan kita dapat benar-benar menyampaikan kepada derajat muttaqin, maka kita harus lurus dan jujur mengikuti aturan yang ada, baik yang fisik maupun yang non-fisik. Ini jika kita benar-benar berpuasa lantaran berpegang teguh kepada ajaran Allah Swt.

Di dunia ini, ada orang yang tidak imsak ‘an dan imsak bi. Ia tidak dapat menahan diri dan tidak pula punya pegangan dalam mengarahkan kehidupannya. Orang ini hidup dalam kehampaan makna (nihilis). Dalam ekspresi sehari-hari dapat berupa pemujaan kepada kesenangan duniawi semata dan tidak percaya adanya kehidupan akhirat (sikap hidup hedonistic) dan sikap pragmatis (lebih mementingkan hasil dan tidak menghargai proses). Di dunia ia meniti jalan yang berkelok-kelok, mungkin juga jalan yang sempit dan berdesak-desakan (sabil – menurut Quraish). Ia mungkin saja akan sampai ke tujuan hidupnya namun waktu tempuhnya menjadi lama, atau bahkan bisa-bisa tersesat dan tidak menemui tujuan akhir perjalananya yang hakiki.

Puasa Ramadhan melatih kaum muslim mencerahkan ruhani dan akal budinya. Dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang merusak dan semua itu dilakukan semata karena mengharap ridlo dari Allah SWT. Dengan berpuasa, kita mengembalikan harkat kemanusiaan kita yang lebih mulia dari segala yang ada di dunia ini sebagai makhluk ciptaan Allah. Kitalah yang mengendalikan harta, bukan harta mengendalikan kita. Kitalah yang mengendalikan makanan, bukan makanan yang mengendalikan kita. Kita kembalikan jalan hidup kita ke jalan yang sebenarnya. Ash-shiraat al-mustaqiim. Insya Allah.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

0 komentar