Oleh : Zainul Arifin

Apakah yang membuat seseorang berdusta? Tentu banyak hal. Namun salah satu sebab yang Nabi Muhammad berdo’a dan berlindung kepada Allah agar dijauhkan darinya adalah masalah hutang. Sebuah hadis sahih patut dikutip, dari ‘Aisyah ra. “Sungguh Rasulullah Saw berdo’a dalam sholat, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan hutang.’ Maka seseorang berkata kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah, alangkah banyaknya Anda memohon perlindungan kepada Allah dari hutang.’ Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya apabila orang itu berhutang, (biasanya bila) dia berbicara maka dia berdusta, dan bila berjanji maka dia tidak menepatinya.’” (HR Al-Bukhari/798 dan Muslim/920)
Sewaktu Indonesia diterpa badai krisis tahun 1997-1998, Bank Indonesia mengucurkan hutang kepada berbagai bank swasta nasional dalam jumlah sangat banyak yang sebagian besarnya dimiliki para konglomerat dengan jaringan usaha begitu rupa. Celakanya, uang itu bukannya untuk menyehatkan bank atau usaha yang mereka miliki secara benar-benar, namun justru banyak diselewengkan untuk hal-hal yang tidak fundamental. Akhirnya hutang itu macet. Banyak formula pengembalian dibikin, namun tak efektif. Tetap saja para konglomerat itu mengemplang. Agaknya bukan karena benar-benar tak punya uang, tapi karena mereka memang tidak bersedia secara sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya. Dan apa yang mereka lakukan kemudian? Melarikan diri ke luar negeri!
Inilah kebenaran yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad Saw. Bahwa jika orang berhutang biasanya bila berbicara dia berdusta dan bila berjanji mengingkari. Para konglomerat itu sebagiannya telah berjanji untuk melunasi hutang-hutangnya namun kenyataannya tak ada yang mulus. Bahkan ada yang merekayasa agar kasus hutangnya (biasa disebut kasus BLBI) sebisa-bisanya tidak diutak-atik. Alias anggap saja tidak ada kerugian negara yang ditimbulkan. Jadi selain mengingkari janji mereka juga cenderung berdusta. Jika mereka tidak cenderung berdusta, tentu akan secara jantan mengatakan apa yang terjadi dan berani menghadapi resiko yang bakal diterima. Tapi hati mereka ciut dan memilih bersembunyi di luar negeri.
Tidak semua hutang sebesar yang dikemplang para konglomerat itu. Siapa saja tentu pernah berhutang dalam jumlah berapapun. Apalagi di zaman seperti sekarang, di mana hutang justru ditawarkan misalnya oleh bank, dealer motor, mobil atau asuransi penjaminan kredit. Hal itu tentu tidak menimbulkan masalah, karena satu pihak ada kekuatan untuk memaksa dan ada limit hutang yang tidak terlalu besar. Maksudnya bahwa antar pihak ada mekanisme pembayaran yang jelas dan jaminan uang untuk membayarnya, misalnya lewat pemotongan gaji di kantor yang menyebabkan orang yang berhutang tidak mungkin –paling tidak diminimalisir—untuk mengemplang. Namun jika tidak ada mekanisme dan kesepakatan apapun, apa yang dikhawatirkan Nabi Saw sangat mungkin terjadi.
Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa janji adalah hutang (al wa’du dainun). Ini menunjukkan bahwa hutang memang tidak selalu berarti uang atau barang. Realitanya memang hampir selalu demikian. Orang yang berjanji berarti orang itu sedang berhutang sampai janjinya dipenuhi. Makin banyak orang membuat janji, makin banyak pula hutang yang harus dilunasinya. Orang yang banyak janji biasanya tidak terlalu tenang menjalani hidup. Apalagi jika janjinya adalah sesuatu hal yang besar atau berat. Dalam Islam ada sebuah janji yang wajib dipenuhi, yaitu nadzar, sepanjang bukan untuk berbuat maksiat. Nadzar wajib dipenuhi karena ia adalah janji kepada Allah Swt secara suka rela. Karenanya sebaiknya seseorang tidak terlalu mudah membuat nadzar, kecuali untuk meneguhkan niat bagi suatu hal yang besar yang mendatangkan manfaat bagi dirinya atau bagi orang lain.
Pada musim kampanye Pilgub, Pilkada dan Pileg (pemilihan legislatif), hampir tak bisa dihindari para kandidat akan membuat janji-janji, baik dinyatakan secara terus terang atau yang berpura-pura menggunakan istilah lain. Semakin banyak janji yang diutarakan berarti makin banyak hutang yang kelak harus dipenuhinya. Konstituen (pendukung) dan audiens (masyarakat) umumnya akan mencatat janji apa saja yang dilontarkan dan kelak mereka akan menagih realisasinya.
Nah pengalaman yang terjadi, realisasi tidak sebanyak janji-janji. Akhirnya ada kecenderungan untuk mengelak dari tuntutan (sebagiannya) dengan dusta dan yang jelas ia telah berbuat ingkar. Orang demikian secara tidak sadar menjurus menjadi munafik yang diantara tanda-tandanya adalah bila berkata berdusta dan bila berjanji mengingkari. Karena dalam kampanye janji nyaris tidak bisa dihindari tentu harus dipilih janji yang paling mungkin untuk ditepati. Tidak boleh orang berjanji sekaligus berniat untuk mengingkari. Ia berjanji sekadar untuk gengsi dan menyenangkan orang.
Setelah puasa Ramadhan berlalu dan kaum muslimin telah berlatih secara sungguh-sungguh untuk meninggalkan dusta, kinilah saatnya kita benar-benar mengujinya dalam kehidupan yang tidak selalu ramah ini. Terlebih bagi orang-orang yang punya hasrat menjadi pemimpin daerah atau anggota dewan yang terhormat. Hutang bisa berupa uang, bisa berupa janji. Allahu a’lam.
Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar
0 komentar
Posting Komentar