Oleh : Zainul Arifin*

Masih hangat dibicarakan sampai saat ini, tragedi ”peradilan sesat” yang terjadi di Jombang. Tentu saja peradilannya sendiri tidak berlangsung dalam kesesatan namun yang terjadi sekarang adalah bahwa perkara yang diajukan ternyata objeknya salah. Yakni tentang pembunuhan di sebuah kebun tebu yang semula korban dikenali sebagai Asrori tapi belakangan ternyata ia adalah Fauzin Suyanto. Tiga orang tersangka pembunuh Asrori versi kebun tebu itu diajukan ke sidang pengadilan. Dua orang – Kemat dan David -- telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi narapidana di penjara. Sedang yang ketiga, Maman, masih dalam tahap proses pengadilan. Semula Maman pun menginap di tahanan, namun atas permintaan kuasa hukumnya dan memperhatikan bahwa telah terjadi salah objek yang dituduhkan, ia pun dikeluarkan dari tahanan. Namun proses hukumnya sendiri masih berjalan, sampai menemukan putusan yang berkekuatan hukum tetap.



Kasus serupa pernah terjadi. Yang paling terkenal adalah kasus Sengkon dan Karta tahun 1974. Alkisah, Sengkon dan Karta ditangkap dengan sangkaan merampok dan membunuh pasangan suami istri Sulaiman Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Polisi menyidik kasus ini dan meyakinkan Sengkon-Kartalah pelakunya. Hingga tiga tahun kemudian, kedua petani itu tetap menyangkal tuduhan jaksa. Tapi, Hakim Djurnetty Soetrisno lebih memercayai cerita polisi ketimbang pengakuan kedua terdakwa. Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta 7 tahun. Tapi ternyata ada orang lain bernama Gunel, mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang sebenarnya. Sengkon dan Karta akhirnya dibebaskan. Dan Gunel dipenjara.

Namun, kesalahan para penegak hukum terhadap kedua orang itu tidak tertebus. Akibat peristiwa ini, keluarga Karta, bersama dua istri dan 12 orang anak, kocar kacir dan jatuh miskin.

Perihal salah tangkap dalam sebuah tindak kriminalitas bukan perkara baru di negeri kita. Di luar negeri pun hal serupa juga bisa terjadi. Hal tersebut bisa terjadi karena aparat keamanan/polisi mungkin menemukan petunjuk yang dianggap cukup untuk menangkap seseorang atau lebih yang ditengarai melakukan tindak kriminalitas dimaksud. Setelah melalui proses penyidikan yang sewajarnya, tentu polisi akan bisa mengambil kesimpulan awal apakah orang yang ditangkapnya itu benar-benar bersalah ataukah tidak. Dari sinilah kemudian perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilanjutkan ke pengadilan.

Tatkala yang saling berperkara telah berada di ruang persidangan, maka hakimlah yang berkuasa. Menjadi kewajiban hakim untuk mendengarkan semua pihak yang berhadapan untuk mengemukakan tuduhan dan sanggahan. Hal yang sama terjadi di semua persidangan, baik pidana, perdata, agama dan tata usaha negara. Tidak boleh hakim membuat penilaian apalagi keputusan tanpa mendengar kedua belah pihak yang berperkara. Hakim pun tentu akan menanyakan kepada pihak-pihak tentang perkara yang disidangkan agar menjadi jelas dan kuat.

Pada posisi inilah kemudian hakim mendapatkan perannya yang menentukan. Sesuai dengan seluruh penjelasan yang diterimanya, pertimbangan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan suara hatinya, ia akan mengambil keputusan. Mana yang salah, mana yang benar. Mana yang kalah, mana yang menang. Tatkala ia bertekad untuk memutuskan, maka dikatakan ”sebelah kaki berada di surga, sebelah kaki berada di neraka”. ”Lidah seorang hakim berada di antara dua bara api sehingga dia menuju surga atau neraka.” (HR. Abu Na'im dan Ad-Dailami) Jika ia memutus perkara dengan benar dan jujur, maka ia akan masuk surga. Namun jika ia memutus perkara dengan salah diibaratkan sebelah kakinya telah menuju neraka. Dan jika putusan yang salah itu dilatarbelakangi dendam pribadi atau intervensi pihak lain (misalnya lewat tekanan atau sogokan), maka ia benar-benar bisa masuk neraka. Tapi jika putusan yang salah itu bukan kesengajaan setelah melalui proses hukum yang benar, maka menurut hadis Nabi riwayat Al-Bukhari, ia tetap mendapat satu pahala. Ini diibaratkan sebagai ijtihad dalam pengambilan (istimbat) hukum. Walau ada adagium, lebih baik melepaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.

Sesuai dengan artinya, hakim adalah orang yang bijaksana. Diperlukan kearifan yang tinggi untuk mencermati suatu perkara sampai memutuskan. Jangan sampai terjadi salah vonis. Vonis dalam Bahasa Arab disebut al-qadha’, yaitu putusan hakim pada sidang pengadilan yang berkaitan dengan persengketaan antara pihak-pihak yang berperkara.

Di dunia memang terdapat hakim yang jujur dan ada pula hakim yang curang, yang tidak menegakkan keadilan dan hanya mencari keuntungannya saja. Keputusan hakim yang tidak adil diharamkan oleh Allah Swt, dan diancam dengan hukuman yang sangat berat, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi, "Rasulullah saw bersabda: Ada dua hakim; hakim yang satu masuk neraka, dan hakim lainnya masuk surga: Yaitu: Hakim yang satu mengetahui mana yang haq (benar), dan dia memutuskan dengan benar, dialah yang masuk surga, sedang hakim yang lainnya mengetahui mana yang haq (benar) tetapi dia menyimpang dengan sengaja, atau memutuskan suatu keputusan tanpa ilmu, maka dia masuk neraka." (HR al-Hakim, Abu Dawud, at-Tirmiziy, Baihaqi dan Ibnu Majah).

Pengambilan keputusan yang salah oleh seorang hakim bisa terkait dengan aparat yang lainnya. Misalnya karena polisi mengajukan tersangka yang ternyata salah tangkap. Hanya saja tanggung jawab yang lebih besar ada pada hakim, karena dialah yang memutus perkara. Kita berharap tak ada lagi hakim yang memutus dengan salah. v


2 komentar

  1. David Pangemanan // 25 Maret 2009 pukul 02.33  

    uINI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

    Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi

    hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah

    dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru

    menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi

    gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku

    Usaha?). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
    Quo vadis hukum Indonesia?

    David
    (0274)9345675

  2. Para Putra Wayah // 27 Maret 2009 pukul 19.18  

    Sepertinya kita memang belum bisa berharap banyak pada sistem peradilan kita.