Oleh : Zainul Arifin*
Dalam anatomi ramalan sosial terdapat dua kemungkinan yang terjadi, pertama apa yang disebut dengan self-fulfilling dan kedua, yang disebut self-defeating. Self-fulfilling adalah bahwa sesuatu hal terjadi karena sudah diramalkan. Kejadian tersebut berlaku sesuai ramalan yang telah diperhitungkan sebelumnya. Biasanya ramalan demikian pada awalnya diasumsikan dengan akan hadirnya manfaat yang bakal diperoleh bila sesuatu (yang diramalkan itu) terjadi di masa depan.
Misalnya pada waktu lalu diramalkan bahwa di masa depan pergaulan manusia akan semakin mudah dengan pertolongan kecerdasan manusia yang menghasilkan teknologi maju. Ramalan tersebut bukan tanpa landasan. Sang peramal (bukan dukun dalam arti klenik dan berkonotasi syirk) membuat analisa berdasarkan pencapaian-pencapaian manusia pada masanya dan memperhitungkan kemungkinan yang dapat dicapai di masa depan. Maka apa yang diramalkan itu dapat menjadi kenyataan, contohnya, bahwa sekarang dengan bantuan teknologi maju, sebagian urusan manusia menjadi lebih mudah. Hal itu terjadi karena memang sudah diramalkan lalu kemudian ada intervensi, ada usaha-usaha untuk mewujudkannya karena dirasa hal tersebut bermanfaat.
Sedang self-defeating adalah bahwa ramalan itu tidak terjadi, meleset, justru karena sudah diramalkan. Misalnya dalam suatu Pilgub atau Pilkada dengan beberapa kandidat dimana ada faktor-faktor yang secara diametral sangat bertentangan dan berpotensi memicu konflik. Kemudian ada ramalan yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaan Pilgub atau Pilkada itu akan terjadi kerusuhan atau konflik akibat bertemunya faktor-faktor yang bertentangan itu. Atau mungkin oleh sentimen-sentimen yang lainnya. Karena kemungkinan itu tidak menyenangkan, maka akan ada intervensi untuk membelokkan ramalan tersebut agar tidak terjadi. Sejauh intervensi itu cukup kuat, maka self-defeating akan terjadi, yakni suatu peristiwa batal terjadi justru karena sudah diramalkan. Dan ramalan akan terbukti meleset.
Meskipun jika intervensinya tidak cukup kuat, maka yang akan terjadi adalah self-fulfilling, ramalan akan menjadi kenyataan. Walau kejadian itu buruk secara sosial bagi suatu pihak.
Dalam Pilkada di empat kabupaten dan kota di Kalbar satu minggu yang lalu, tentu ada ramalan atau analisa yang dibuat. Mungkin ada yang meramalkan bahwa pasangan ini akan menang namun nyatanya kalah, pasangan itu akan kalah tapi nyatanya menang (self-defeating), ada juga yang meramalkan bahwa pasangan sini akan menang dan nyatanya memang menang dan pasangan sono akan kalah dan nyatanya memang kalah (self-fulfilling).
Dari hasil ramalan sosial itu, pasti ada yang merasawa kecewa. Terlebih yang mengalami self-defeating, baik karena intervensi internal yang tidak jalan atau karena intervensi eksternal atas faktor-faktor lain dari seterunya lebih manjur. Ajaran universalnya adalah marilah kita hargai hasil yang diperoleh baik bagi kita sendiri maupun bagi orang lain. Bagi diri sendiri, hal tersebut adalah suatu pembelajaran, suatu kerangka evaluasi yang lebih mendalam seperti apa jati diri kita sebenarnya. Sedang bagi orang lain, kita hargai kehebatan yang dimilikinya sebagai sebuah kenyataan. Jika pilihan itu baik, insya Allah ia akan bermanfaat. Demokrasi yang kita anut sekarang – seberapapun banyak orang yang tidak ikhlas menerimanya – mendasarkan pada suara terbanyak yang dapat diperoleh atas suatu pilihan. Ia tidak memusingkan bahwa jumlah kumulatif antara yang tidak memilih dan suara-suara yang kalah akan lebih banyak jumlahnya dibanding yang dianggap menang. Karena ini memang yang berlaku, maka perintah Allah dalam al-Qur’an, bertawakkallah kepada Allah jika suatu urusan sudah diputuskan.
Sungguh tidak baik jika pertentangan diperpanjang, apalagi jika menyangkut internal umat Islam. Firman Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 103 menyebutkan (artinya), “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Firman Allah ini secara jelas diakhiri dengan perkataan “agar kamu mendapat petunjuk”. Artinya belajarlah dari kejadian di masa lalu, tatkala kamu saling bertentangan (termasuk seperti sebagian kaum muslimin sekarang ini) sehingga energimu habis untuk berkelahi sendiri, diibaratkan kecelakaan paling buruk sudah siap yakni kalian sudah berada di tubir neraka. Jika bukan karena rahmat Allah, sungguh kalian telah hancur. Agar kehancuran seperti itu tidak senantiasa berulang, apalagi jika memang sudah ada pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran, marilah hal itu dijadikan petunjuk. Kecuali kita memang bebal.
Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya menulis, “berpegang teguhlah” berarti upayakan sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakkan disiplin tanpa kecuali. Sehingga kalau ada yang lupa, ingatkan dia, atau ada yang tergelincir, bantu ia bangkit agar semua dapat bergantung “kepada tali (agama) Allah”. Kalau kamu lengah atau ada salah seorang yang menyimpang, maka keseimbangan akan kacau dan disiplin akan rusak.
Kelengahan, penyimpangan adalah salah satu kelemahan manusia. Hal itu dapat dipengaruhi oleh perasaan hebat dalam dirinya (‘ujub) dan merasa harus ditampak-tampakkan, atau karena iming-iming kekuasaan dan harta. Kesemua itu akibat bisikan syetan yang menelusup dalam dada (alladzi yuwaswisu fi shudurinnas).
Sebagian pertarungan sudah usai. Ramalan-ramalan telah menampakkan hasilnya. Saatnya kembali untuk belajar, belajar dan belajar dari seluruh pengalaman yang telah kita lalui. Jika kita bukan orang yang bebal. Allahu a’lam.
Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar
0 komentar
Posting Komentar