Oleh : Zainul Arifin*

Salah satu kebiasaan buruk yang menunjukkan hilangnya rasa malu kaum Quraisy sebelum kenabian Muhammad Saw adalah adat pernikahan jahiliyyah yang melibatkan banyak laki-laki untuk satu perempuan. Sekadar contoh, pertama, apa yang disebut dengan istibdha’, yakni seorang suami menyuruh istrinya berhubungan dengan laki-laki lain untuk mencari keturunan yang lebih baik. Si suami kemudian tidak berhubungan dengan istrinya sampai ia dapat mengetahui dengan pasti bahwa istrinya telah mengandung janin hasil hubungannya dengan lelaki lain tadi. Jika telah mengetahuinya, si suami baru kembali berhubungan dengan istrinya.



Kedua, rahth, yakni perempuan menikah/berhubungan dengan banyak laki-laki (tapi tidak lebih dari sepuluh), dan jika si perempuan mengandung lalu melahirkan, maka ia akan memanggil semua laki-laki yang pernah berhungan dengannya dan memberitahu bahwa ia telah melahirkan seorang anak. Si perempuan itu kemudian memilih sendiri siapa di antara para lelaki itu untuk menjadi ayah anaknya dan ia menyerahkan anak itu kepadanya. (Muhammad al-Baz, “Arabic Kamasutra”). Tak ada yang boleh menentang. Tak ada tes DNA.

Kebiasaan itulah yang setelah Islam datang dihapuskan. Karena sungguh perbuatan itu hal yang tidak wajar. Dalam perbuatan itu tidak tercermin rasa malu yang seharusnya dimiliki setiap orang. Dan tatkala rasa malu telah tercabut dari masyarakat, apapun akan dilakukan tanpa rasa sungkan. Akhirnya penghormatan atas martabat manusia yang mulia pun runtuh.

Karenanya mempertahankan dan mempertebal rasa malu (untuk berbuat buruk) adalah salah satu misi Agama Islam untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat. Karena menjaga rasa malu atau budaya malu adalah satu hal yang pertama-tama diingatkan oleh Nabi Saw, sebagaimana disebutkan dalam hadis,“Sesungguhnya diantara hal-hal yang didapati manusia sebagai ungkapan kenabian yang pertama adalah ‘jika hilang rasa malumu, maka lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki’.” (HR Al-Bukhari)

Ungkapan ini ingin menunjukkan bahwa suatu masyarakat akan menjadi rusak jika rasa malu (berbuat buruk) telah hilang. Artinya dengan hilangnya rasa malu itu, seluruh elemen masyarakat, orang per orang dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Dan jika ini terjadi maka masyarakat akan dilanda apa yang disebut out of order, keluar dari ketertiban dan rusaklah masyarakat tersebut.

Pornografi (dan pornoaksi) ditengarai sebagai salah satu persoalan sosial yang menyangkut hilangnya rasa malu di masyarakat. Daerah-daerah fisik seseorang yang sebaiknya ditutup atau tidak dipertontonkan kecuali untuk keperluan yang sangat urgen dan khusus, tetapi justru dipertontonkan di hadapan publik telah mempengaruhi moralitas sebagian masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja. Dapat dilihat keresahan alim ulama, tokoh agama, dan masyarakat yang memegang teguh moralitas akan maraknya pornografi di media massa, cetak maupun elektronik. Apalagi yang dipertontonkan secara langsung (live show).

Karenanya adalah hal yang wajar jika kita memerlukan UU Pornografi, yang telah disahkan beberapa waktu lalu. Sebagai sebuah keputusan yang berat, wajar saja jika ada pihak yang pro dan kontra. Yang kontra sebetulnya tidak berarti menyetujui pornografi di masyarakat (kecuali yang mengambil keuntungan dari bisnis ini) namun peraturan itu ingin lebih diperjelas, baik materinya maupun kedudukannya di antara peraturan-peraturan lain yang telah ada lebih dulu. Bagi kaum Muslimin telah jelas bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman.

Dalam hadis yang lain Nabi bersabda, ”Diceritakan oleh Abdullah bin Yusuf ia berkata, diberitakan kepada kami oleh Malik bin Anas dari Ibn Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya bahwa sungguh Rasulullah suatu ketika melewati seorang lelaki dari kaum Anshar dan dia sedang menasehati saudaranya dalam masalah rasa malu, maka Rasulullah bersabda, “Katakan padanya bahwa sungguh rasa malu itu sebagian dari iman.” (HR Al-Bukhari). UU Pornografi diinginkan sebagai instrumen pencegahan pengikisan bahkan penghilangan rasa malu di hadapan publik.

Ada beberapa kekeliruan yang hinggap pada para pengusung anti UU Pornografi. Ade Armando – pakar komunikasi dari UI -- dalam tulisannya di Majalah Madina edisi Oktober 2008 menulis paling tidak ada 10 hal. Di antaranya, pertama, dikatakan bahwa (R)UU Pornografi bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara. Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah sekadar masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografi dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang pornografi sebagai ”anak haram” yang mengganggu etika kaum beradab dan membawa banyak masalah kemasyarakatan.

Kedua, (R)UU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat. Para pengecam menganggap bahwa UU Pornografi tidak diperlukan karena untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi.

Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun lazim mempercayai arti penting peraturan. Di Amerika Serikat, terdapat aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategori cabul. Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting, namun membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi, sementara rangsangan pornografi berlangsung secara bebas di tengah masyarakat, mungkin adalah harapan yang berlebihan.

Pada pasal 13 dan 14 UU Pornografi disebutkan adanya pengecualian untuk hal-hal yang selama ini diusung oleh para penentangnya. Yakni bahwa ia dikecualikan untuk hal-hal yang bernilai seni budaya, adat istiadat atau ritual tradisional. Artinya tidak ada persoalan bahwa orang Dayak memakai pakaian tradisionalnya, baik untuk berkesenian maupun ritual adat. Seniman tetap bisa mengekspresikan kreativitasnya selama benar-benar bermuatan seni dan ditampilkan di tempat-tempat untuk itu. Bahkan dengan adanya UU tersebut, media cetak yang sering memuat tampilan pornografis mendapat kepastian hukum yakni bahwa ia boleh beredar di tempat khusus dan sesuai peraturan yang ada. Bukan dilabrak dengan tindakan anarkhi sebagaimana pernah terjadi.

Pada pasal 22 dinyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pencegahan pornografi adalah sosialisasi UU, melaporkan pelanggaran dan melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan. Jadi kekhawatiran bahwa akan ada tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat sesungguhnya telah dibatasi oleh UU ini.

Walau hadirnya UU Pornografi belum menjamin terpeliharanya moralitas dan rasa malu masyarakat, sebagai bangsa yang mendasarkan ideologi negaranya bersumber dari agama, UU Pornografi tersebut patut diapresiasi dengan baik. Bagi orang Islam”malu adalah sebagian dari iman”. Allahu a’lam.



Penulis pernah bekerja di Kanwil Depag Prov. DIY


0 komentar