Oleh : Zainul Arifin*

Masih hangat dibicarakan sampai saat ini, tragedi ”peradilan sesat” yang terjadi di Jombang. Tentu saja peradilannya sendiri tidak berlangsung dalam kesesatan namun yang terjadi sekarang adalah bahwa perkara yang diajukan ternyata objeknya salah. Yakni tentang pembunuhan di sebuah kebun tebu yang semula korban dikenali sebagai Asrori tapi belakangan ternyata ia adalah Fauzin Suyanto. Tiga orang tersangka pembunuh Asrori versi kebun tebu itu diajukan ke sidang pengadilan. Dua orang – Kemat dan David -- telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi narapidana di penjara. Sedang yang ketiga, Maman, masih dalam tahap proses pengadilan. Semula Maman pun menginap di tahanan, namun atas permintaan kuasa hukumnya dan memperhatikan bahwa telah terjadi salah objek yang dituduhkan, ia pun dikeluarkan dari tahanan. Namun proses hukumnya sendiri masih berjalan, sampai menemukan putusan yang berkekuatan hukum tetap.



Kasus serupa pernah terjadi. Yang paling terkenal adalah kasus Sengkon dan Karta tahun 1974. Alkisah, Sengkon dan Karta ditangkap dengan sangkaan merampok dan membunuh pasangan suami istri Sulaiman Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Polisi menyidik kasus ini dan meyakinkan Sengkon-Kartalah pelakunya. Hingga tiga tahun kemudian, kedua petani itu tetap menyangkal tuduhan jaksa. Tapi, Hakim Djurnetty Soetrisno lebih memercayai cerita polisi ketimbang pengakuan kedua terdakwa. Sengkon divonis 12 tahun penjara dan Karta 7 tahun. Tapi ternyata ada orang lain bernama Gunel, mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang sebenarnya. Sengkon dan Karta akhirnya dibebaskan. Dan Gunel dipenjara.

Namun, kesalahan para penegak hukum terhadap kedua orang itu tidak tertebus. Akibat peristiwa ini, keluarga Karta, bersama dua istri dan 12 orang anak, kocar kacir dan jatuh miskin.

Perihal salah tangkap dalam sebuah tindak kriminalitas bukan perkara baru di negeri kita. Di luar negeri pun hal serupa juga bisa terjadi. Hal tersebut bisa terjadi karena aparat keamanan/polisi mungkin menemukan petunjuk yang dianggap cukup untuk menangkap seseorang atau lebih yang ditengarai melakukan tindak kriminalitas dimaksud. Setelah melalui proses penyidikan yang sewajarnya, tentu polisi akan bisa mengambil kesimpulan awal apakah orang yang ditangkapnya itu benar-benar bersalah ataukah tidak. Dari sinilah kemudian perkaranya dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilanjutkan ke pengadilan.

Tatkala yang saling berperkara telah berada di ruang persidangan, maka hakimlah yang berkuasa. Menjadi kewajiban hakim untuk mendengarkan semua pihak yang berhadapan untuk mengemukakan tuduhan dan sanggahan. Hal yang sama terjadi di semua persidangan, baik pidana, perdata, agama dan tata usaha negara. Tidak boleh hakim membuat penilaian apalagi keputusan tanpa mendengar kedua belah pihak yang berperkara. Hakim pun tentu akan menanyakan kepada pihak-pihak tentang perkara yang disidangkan agar menjadi jelas dan kuat.

Pada posisi inilah kemudian hakim mendapatkan perannya yang menentukan. Sesuai dengan seluruh penjelasan yang diterimanya, pertimbangan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan suara hatinya, ia akan mengambil keputusan. Mana yang salah, mana yang benar. Mana yang kalah, mana yang menang. Tatkala ia bertekad untuk memutuskan, maka dikatakan ”sebelah kaki berada di surga, sebelah kaki berada di neraka”. ”Lidah seorang hakim berada di antara dua bara api sehingga dia menuju surga atau neraka.” (HR. Abu Na'im dan Ad-Dailami) Jika ia memutus perkara dengan benar dan jujur, maka ia akan masuk surga. Namun jika ia memutus perkara dengan salah diibaratkan sebelah kakinya telah menuju neraka. Dan jika putusan yang salah itu dilatarbelakangi dendam pribadi atau intervensi pihak lain (misalnya lewat tekanan atau sogokan), maka ia benar-benar bisa masuk neraka. Tapi jika putusan yang salah itu bukan kesengajaan setelah melalui proses hukum yang benar, maka menurut hadis Nabi riwayat Al-Bukhari, ia tetap mendapat satu pahala. Ini diibaratkan sebagai ijtihad dalam pengambilan (istimbat) hukum. Walau ada adagium, lebih baik melepaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.

Sesuai dengan artinya, hakim adalah orang yang bijaksana. Diperlukan kearifan yang tinggi untuk mencermati suatu perkara sampai memutuskan. Jangan sampai terjadi salah vonis. Vonis dalam Bahasa Arab disebut al-qadha’, yaitu putusan hakim pada sidang pengadilan yang berkaitan dengan persengketaan antara pihak-pihak yang berperkara.

Di dunia memang terdapat hakim yang jujur dan ada pula hakim yang curang, yang tidak menegakkan keadilan dan hanya mencari keuntungannya saja. Keputusan hakim yang tidak adil diharamkan oleh Allah Swt, dan diancam dengan hukuman yang sangat berat, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi, "Rasulullah saw bersabda: Ada dua hakim; hakim yang satu masuk neraka, dan hakim lainnya masuk surga: Yaitu: Hakim yang satu mengetahui mana yang haq (benar), dan dia memutuskan dengan benar, dialah yang masuk surga, sedang hakim yang lainnya mengetahui mana yang haq (benar) tetapi dia menyimpang dengan sengaja, atau memutuskan suatu keputusan tanpa ilmu, maka dia masuk neraka." (HR al-Hakim, Abu Dawud, at-Tirmiziy, Baihaqi dan Ibnu Majah).

Pengambilan keputusan yang salah oleh seorang hakim bisa terkait dengan aparat yang lainnya. Misalnya karena polisi mengajukan tersangka yang ternyata salah tangkap. Hanya saja tanggung jawab yang lebih besar ada pada hakim, karena dialah yang memutus perkara. Kita berharap tak ada lagi hakim yang memutus dengan salah. v


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Belum genap dua bulan berlalu bulan suci Ramadhan 1429 H, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menyaksikan bencana alam dan bencana sosial mewabah di seantero negeri. Bencana alam datang sebagiannya akibat ulah manusia selama beberapa tahun sebelum kini, misalnya penggundulan hutan beberapa saat lalu, sehingga kini kita menuai buahnya. Tanah longsor dan banjir. Sedang bencana alam semisal gempa bumi tektonik, nyaris tak bisa diprediksi dan dihindari sebagai bagian dari pergeseran lempeng Bumi (pangea) dan pergerakan alam semesta sesuai sunnatullah.


Sementara bencana sosial yang mewabah sekarang ini antara lain adalah pengangguran, konflik antara buruh dan majikan dan kerusuhan, termasuk di dalamnya tawuran. Entah tawuran kecil antar pemuda, antar mahasiswa dan tawuran besar antar desa, antar pendukung gubernur atau bupati/walikota. Dan yang paling sering terjadi adalah kericuhan antara penggusur dan kaum yang digusur serta antara masyarakat dengan aparat keamanan.

Penanda bulan suci Ramadhan di awal tulisan bukan sekadar pengingat waktu. Namun untuk mengingatkan hakikat akan apa-apa yang selama bulan itu diperdengarkan oleh para penceramah, dilakukan oleh kaum muslimin dan selayaknya diteruskan di bulan berikutnya. Hakikat yang ingin diaktualisasikan kembali adalah betapa pada waktu itu semua penceramah, semua kaum muslimin, mengajak dan diajak untuk berlaku jujur karena puasa di bulan itu tidak ada yang mengawasi kecuali Allah dan diri sendiri. Pada puasa itu diajarkan pengekangan hawa nafsu, dilambangkan dengan menahan pemenuhan keinginan perut dan syahwat seksual di siang hari dan pengekangan akan pembicaraan yang tidak perlu, terlebih caci maki, penyebaran berita bohong dan penghasutan. Kemarahan pun diikat kuat-kuat agar terjadi pembelajaran untuk tidak mengumbar amarah di sembarang waktu dan kesempatan.

Namun apa terjadi? Oleh akumulasi persoalan yang rumit yang melanda negri ini, pengekangan amarah itu sudah dilupakan. Di beberapa daerah hampir tak ada sisa tapak-tapak Ramadhan menghiasi, kecuali yang telah biasa terjadi, sekadar sholat fardhu. Amarah dan ketidakjujuran melanda di sana-sini. Soal ketidakjujuran, mungkin bisa diperdebatkan. Namun soal amarah yang menghambur tak bisa diingkari. Padahal jelas dikatakan berjuta kali firman Allah dalam Qs. Ali Imran 134, bahwa orang yang bertakwa “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Melalui ayat ini, Allah bermaksud mengajarkan kaum muslimin dan umat manusia seluruhnya sesungguhnya, bahwa di antara ciri-ciri orang yang baik, yang bertaqwa, adalah yang mampu menahan amarahnya dan bahkan jika mampu memaafkan kesalahan orang lain. Namun menahan amarah tampaknya masih menjadi perkara yang tidak mudah di negeri ini. Selaras dengan berbagai pertikaian dan konflik di tingkat elite, konflik di masyarakat banyak yang berujung penumpahan amarah secara membabi buta. Ricuh. Anarkhi. Chaos.

Sepertinya negeri yang dulu pernah dijuluki warganya ramah dan murah senyum ini sedang bermetamorfosa menjadi negeri yang berwajah angker dan murah tinju. Segala konflik menjadi kurang layak berita kalau tidak diwarnai kericuhan atau berakhir rusuh. Salah paham berebut – maaf – perempuan antara dua pemuda, dapat berakhir rusuh dua desa. Perdebatan batas dua desa dapat berakhir rusuh di depan balaikota. Perselisihan pemenang Pilkada dapat berakhir bentrok di depan gedung kantor gubernur.
Pemicu kekerasan masyarakat tentu banyak kaitannya. Baik terkait soal ekonomi, sosial, politik ataupun budaya. Namun dua kemungkinan bisa dicermati, yakni adanya kekerasan struktural dan kekerasan kultural.

Kekerasan struktural dipahami sebagai kekerasan yang muncul akibat struktur kekuasaan yang kurang memihak kepada rakyat, birokrasi yang menghambat dan penelantaran hak-hak warga negara yang seharusnya dipenuhi oleh pemimpin pemerintahan. Perombakan struktural tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat, kecuali melalui revolusi. Namun hal ini bukan pilihan yang banyak diminati. Akhirnya masyarakat hanya mampu berdemonstrasi, syukur-syukur diperhatikan dan terjadi perubahan. Jika ternyata tidak, maka kekerasan fisiklah yang terjadi.

Kekerasan kultural adalah kekerasan yang terjadi karena adanya budaya di daerah tertentu yang banyak menampilkan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Awalnya mungkin oleh kondisi geografis yang dihadapi, namun lambat laun menjadi perilaku sosial yang turun temurun. Pengikisan terhadap budaya kekerasan ini dilakukan melalui penyadaran, pencerahan akan bahayanya kekerasan dalam penyelesaian masalah, dan biasanya hal ini memakan waktu sangat lama, kecuali dilakukan oleh pemimpin yang sangat kharismatik.

Meskipun dua hal di atas mungkin mempengaruhi kebiasaan tawuran yang sekarang sedang mewabah di negeri ini, bukan berarti tidak ada contoh penyelesaian yang pernah terjadi. Dalam konteks Agama Islam, kehadiran Nabi Muhammad Saw pada zamannya dapat dijadikan pegangan. Betapa dalam kehidupan masyarakat Makkah yang dicengkeram oleh kekerasan struktural elit Quraisy dan kekerasan kultural dalam penyelesaian masalah, Muhammad dapat mengubah menjadi kepemimpinan yang lembut dan menghilangkan kekerasan kultural secara cukup signifikan. Sehingga orang sekaliber Umar ibn Khaththab pun menjadi lembut akhlaknya. Berbagai persoalan dapat dibicarakan. Kekerasan tidak diobral.

Nabi bersabda, “Orang yang dibenci Allah ialah orang yang bermusuh-musuhan dengan keji dan kejam.” (HR Al-Bukhari dari ‘Aisyah/Shahih Al-Bukhari, hadis no. 2325). Mengingat Qs. Ali Imran ayat 134, tarikh Nabi Muhammad berikut sabdanya di atas, semoga masyarakat kita dapat terbebas dari wabah kekerasan. Negeri kita bukanlah negeri tawuran. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar



صحيح البخاري م ت البغا/6 - (ج 2 / ص 867)
2325 - حدثنا أبو عاصم عن ابن جريج عن ابن أبي مليكة عن عائشة رضي الله عنها
: عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( إن أبغض الرجال إلى الله الألد الخصم )
[ 4251 ، 6765 ]
[ ش أخرجه مسلم في العلم باب في الألد الخصم رقم 2668 . ( الألد الخصم ) المعوج عن الحق المولع بالخصومة والماهر بها والألد في اللغة الأعوج ]
صحيح مسلم مشكول - (ج 13 / ص 150)
4821 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللَّهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ




Selengkapnya ......

Oleh : Abu Haikal*

Minggu-minggu ini masa pemberangkatan jemaah calon haji asal Indonesia sudah dilaksanakan. Tidak ada penambahan kuota sehingga antrian pendaftar sudah melampaui satu-dua tahun. Bahkan di beberapa daerah selain Kalbar, ada yang sampai lima tahun. Antusiasme kaum Muslimin tidak pernah pudar meski dalam keadaan keuangan nasional maupun global sedang tidak menentu. Ini memang panggilan ibadah. Bagi orang yang sudah sangat kepingin dan merasa telah mampu, maka halangan apapun insya Allah dapat diatasi.


Untuk mengatasi keterbatasan kuota haji yang nyaris tidak berubah – kalaupun berubah tidak cukup signifikan – maka ditempuh kebijakan bahwa bagi kaum Muslimin yang pernah berangkat haji tidak diperkenankan berangkat kembali untuk yang kedua kali atau selebihnya kecuali setelah melampaui 5 tahun atau disebabkan oleh alasan yang diperbolehkan, misalnya sebagai petugas atau sebagai mahram. Kebijakan ini ditempuh karena pada masa lalu kaum Muslimin yang pernah berhaji satu kali ingin berangkat kembali pada tahun berikutnya, bahkan seringkali untuk yang berkali-kali. Akibatnya kuota yang diperkirakan cukup untuk memberangkatkan calon haji yang terdaftar untuk pertama kali dapat teratasi. Kenyataannya tidak demikian. Kuota selalu segera penuh oleh kaum Muslimin yang ingin mengulang berangkat haji dan mempunyai uang untuk setoran lebih awal.

Meski kaum Muslimin tahu belaka bahwa Nabi Muhammad Saw hanya mencontohkan satu kali haji seumur hidup, toh banyak bapak/ibu haji yang baru pulang dari Tanah Suci sudah berniat kembali untuk sewaktu-waktu dapat mengulang hajinya. Ada yang beralasan adanya kenikmatan berhaji yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata sehingga hanya bisa dirasakan jika diulangi. Misalnya, di Tanah Suci bisa sholat wajib lima waktu selalu di masjid setelah pulang di rumah nyaris tak pernah ke masjid. Ada yang beralasan, sepertinya ibadah haji yang baru dilaksanakan kurang mantap, kurang sempurna, sehingga perlu diulang. Seolah-olah standar kesempurnaan dan pahala haji dapat ia tentukan sendiri.

Untuk mengatasi bertumpuknya kaum Muslimin pada musim haji, selain memekarkan dan memperbaiki tempat-tempat ibadah haji di Tanah Suci, Masdar Farid Mas’udi pernah mengusulkan wacana penafsiran “baru” soal waktu melaksanakan haji. Sebagaimana tercantum dalam Qs. Al Baqarah ayat 197, “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi [Syawal, Zulkaidah dan Zulhijjah], barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji,. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, walau sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”

Dari ayat ini Masdar menyatakan bahwa musim haji tidak terbatas pada bulan Zulhijjah. Katanya, orang bisa saja mengerjakan haji pada bulan Syawal dan Zulkaidah. Sedang mengenai hadis sahih yang menyatakan bahwa ‘Haji adalah Arafah’ dan itu berarti hanya pada tanggal 9 Zulhijjah, harus ditinjau ulang pemaknaannya. Bahkan ia menyatakan hal itu “bertentangan” dengan ayat di atas. Dengan “penafsiran baru”nya itu, ia menganggap masalah kuota haji dapat diatasi, karena waktu pelaksanaannya menjadi longgar.

Tapi wacana ini tidak berkembang, bahkan tidak banyak yang menanggapi karena dinilai tidak valid. Ia dinilai melampaui penafsiran yang telah dilakukan banyak ahli tafsir dan ahli hadis yang kemampuannya tidak lebih rendah dari Masdar. Masdar sendiri belum pernah melaksanakan anjurannya itu, misalnya ia membawa rombongan calon haji untuk mengerjakan haji diluar bulan Zulhijjah.

Dorongan untuk mengerjakan ibadah haji lebih dari satu kali, mungkin bisa ditelusuri dari niat berangkat haji. Untuk apa orang berangkat haji? Ada orang yang berangkat haji karena ingin dianggap saleh, ada yang ingin sama dengan pejabat lain yang telah berhaji, ada yang ingin memperlihatkan bahwa ia cukup punya banyak uang.
Padahal orang yang mau berangkat haji itu semata-mata untuk mennggapai ridla Allah dengan mengikuti syariat Nabi Muhammad Saw. Dan kalau bisa, satu kali saja.

Almarhum KH Amir, seorang kiyai saleh di Yogyakarta pada tahun 1950-an, pernah membuat kategori orang yang berangkat haji. Tentu kategori ini tidak kaku dan tidak untuk melecehkan siapapun. Ia berkata, “Haji yang pertama kali itu hajinya ikhlas. Haji yang kedua itu haji bisnis. Dan haji ketiga adalah haji preman (sesungguhnya ia menyebut dengan istilah Jawa yang tidak perlu dituliskan disini).”

Haji pertama sebagai haji yang ikhlas karena orang tersebut berangkat haji dengan niat tulus mengerjakan perintah agama. Ia belum punya pengetahuan selain manasik haji untuk kesempurnaan ibadah hajinya.

Haji kedua sebagai haji bisnis, karena menurutnya, orang tersebut sudah tahu suasana di Tanah Suci, sehingga ia bisa sambil berbisnis. Berjualan barang yang dibawa dari tanah air, atau membeli barang murah di Tanah Suci untuk dijual di tanah air.

Haji ketiga sebagai haji preman, karena setelah tahu seluk beluk penyelenggaraan ibadah haji, ia pun mencari-cari peluang untuk bisa menipu. Tidak hanya menipu di Tanah Suci, bahkan sejak di tanah air pun kalau bisa menipu. Haji ketiga ini kalau meminjam istilah Prof. Ali Mustafa Yaqub, sekarang imam besar Masjid Istiqlal, disebut sebagai haji pengabdi syetan. Karenanya bagi yang ingin berangkat haji pertama kali perlu diluruskan niatnya dan mantapkan tekad untuk sebisanya menunaikan ibadah haji sekali ini saja dan berusaha melaksanakannya yang terbaik. Tidak perlu berniat untuk mengulang, walau berlimpah uang di tabungan.

Bagi yang lelaki, gambarkanlah haji yang pertama ini seperti ketika ia akan dikhitan/disunat. Cukup satu kali dan kalau bisa yang terbaik. Hampir tidak ada lelaki yang mau disunat dua kali, kecuali ada kesalahan. Bagi yang perempuan, gambarkanlah haji yang pertama ini seperti ketika ia akan menikah. Cukup satu kali, satu suami dan kalau bisa yang terbaik. Hampir tidak ada perempuan yang mau menikah dua kali, kecuali ada alasan sangat kuat untuk itu.

Jika niat demikian dilaksanakan, insya Allah tidak perlu lagi ada haji dua-tiga kali atau lebih. Harta yang ada dapat disalurkan ke ibadah sosial yang pahalanya jauh lebih tinggi ketimbang ibadah haji itu sendiri. Soal apakah haji yang sekali itu mantap atau tidak, sempurna atau tidak, mabrur atau tidak, asal sudah sesuai dengan syariat Islam, serahkan saja kepada Allah Swt. Itu bukan urusan kita.
Jadi, haji satu kali (insya Allah) lebih baik. Allahu a’lam.

Penulis Penyuluh Agama Islam Honorer Pontianak


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Salah satu kebiasaan buruk yang menunjukkan hilangnya rasa malu kaum Quraisy sebelum kenabian Muhammad Saw adalah adat pernikahan jahiliyyah yang melibatkan banyak laki-laki untuk satu perempuan. Sekadar contoh, pertama, apa yang disebut dengan istibdha’, yakni seorang suami menyuruh istrinya berhubungan dengan laki-laki lain untuk mencari keturunan yang lebih baik. Si suami kemudian tidak berhubungan dengan istrinya sampai ia dapat mengetahui dengan pasti bahwa istrinya telah mengandung janin hasil hubungannya dengan lelaki lain tadi. Jika telah mengetahuinya, si suami baru kembali berhubungan dengan istrinya.



Kedua, rahth, yakni perempuan menikah/berhubungan dengan banyak laki-laki (tapi tidak lebih dari sepuluh), dan jika si perempuan mengandung lalu melahirkan, maka ia akan memanggil semua laki-laki yang pernah berhungan dengannya dan memberitahu bahwa ia telah melahirkan seorang anak. Si perempuan itu kemudian memilih sendiri siapa di antara para lelaki itu untuk menjadi ayah anaknya dan ia menyerahkan anak itu kepadanya. (Muhammad al-Baz, “Arabic Kamasutra”). Tak ada yang boleh menentang. Tak ada tes DNA.

Kebiasaan itulah yang setelah Islam datang dihapuskan. Karena sungguh perbuatan itu hal yang tidak wajar. Dalam perbuatan itu tidak tercermin rasa malu yang seharusnya dimiliki setiap orang. Dan tatkala rasa malu telah tercabut dari masyarakat, apapun akan dilakukan tanpa rasa sungkan. Akhirnya penghormatan atas martabat manusia yang mulia pun runtuh.

Karenanya mempertahankan dan mempertebal rasa malu (untuk berbuat buruk) adalah salah satu misi Agama Islam untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat. Karena menjaga rasa malu atau budaya malu adalah satu hal yang pertama-tama diingatkan oleh Nabi Saw, sebagaimana disebutkan dalam hadis,“Sesungguhnya diantara hal-hal yang didapati manusia sebagai ungkapan kenabian yang pertama adalah ‘jika hilang rasa malumu, maka lakukanlah apa saja yang kamu kehendaki’.” (HR Al-Bukhari)

Ungkapan ini ingin menunjukkan bahwa suatu masyarakat akan menjadi rusak jika rasa malu (berbuat buruk) telah hilang. Artinya dengan hilangnya rasa malu itu, seluruh elemen masyarakat, orang per orang dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Dan jika ini terjadi maka masyarakat akan dilanda apa yang disebut out of order, keluar dari ketertiban dan rusaklah masyarakat tersebut.

Pornografi (dan pornoaksi) ditengarai sebagai salah satu persoalan sosial yang menyangkut hilangnya rasa malu di masyarakat. Daerah-daerah fisik seseorang yang sebaiknya ditutup atau tidak dipertontonkan kecuali untuk keperluan yang sangat urgen dan khusus, tetapi justru dipertontonkan di hadapan publik telah mempengaruhi moralitas sebagian masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja. Dapat dilihat keresahan alim ulama, tokoh agama, dan masyarakat yang memegang teguh moralitas akan maraknya pornografi di media massa, cetak maupun elektronik. Apalagi yang dipertontonkan secara langsung (live show).

Karenanya adalah hal yang wajar jika kita memerlukan UU Pornografi, yang telah disahkan beberapa waktu lalu. Sebagai sebuah keputusan yang berat, wajar saja jika ada pihak yang pro dan kontra. Yang kontra sebetulnya tidak berarti menyetujui pornografi di masyarakat (kecuali yang mengambil keuntungan dari bisnis ini) namun peraturan itu ingin lebih diperjelas, baik materinya maupun kedudukannya di antara peraturan-peraturan lain yang telah ada lebih dulu. Bagi kaum Muslimin telah jelas bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman.

Dalam hadis yang lain Nabi bersabda, ”Diceritakan oleh Abdullah bin Yusuf ia berkata, diberitakan kepada kami oleh Malik bin Anas dari Ibn Syihab dari Salim bin Abdullah dari bapaknya bahwa sungguh Rasulullah suatu ketika melewati seorang lelaki dari kaum Anshar dan dia sedang menasehati saudaranya dalam masalah rasa malu, maka Rasulullah bersabda, “Katakan padanya bahwa sungguh rasa malu itu sebagian dari iman.” (HR Al-Bukhari). UU Pornografi diinginkan sebagai instrumen pencegahan pengikisan bahkan penghilangan rasa malu di hadapan publik.

Ada beberapa kekeliruan yang hinggap pada para pengusung anti UU Pornografi. Ade Armando – pakar komunikasi dari UI -- dalam tulisannya di Majalah Madina edisi Oktober 2008 menulis paling tidak ada 10 hal. Di antaranya, pertama, dikatakan bahwa (R)UU Pornografi bertentangan dengan hak asasi manusia karena masuk ke ranah moral pribadi yang seharusnya tidak diintervensi negara. Argumen ini memiliki kelemahan karena isu pornografi bukanlah sekadar masalah moral. Di berbagai belahan dunia, perang terhadap pornografi dilancarkan karena masalah-masalah sosial yang ditimbulkannya. Kebebasan yang dinikmati para pembuat media pornografis adalah sesuatu yang baru berlangsung sekitar 30-40 tahun terakhir. Sebelumnya untuk waktu yang lama, masyarakat demokratis di berbagai belahan dunia memandang pornografi sebagai ”anak haram” yang mengganggu etika kaum beradab dan membawa banyak masalah kemasyarakatan.

Kedua, (R)UU Pornografi tidak perlu, yang diperlukan adalah mendidik masyarakat. Para pengecam menganggap bahwa UU Pornografi tidak diperlukan karena untuk mencegah efek negatif pornografi yang lebih penting adalah memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolak dan menseleksi sendiri pornografi.

Argumen ini lemah karena bahkan para pendukung mekanisme pasar bebas pun lazim mempercayai arti penting peraturan. Di Amerika Serikat, terdapat aturan yang ketat terhadap pornografi yang dianggap masuk dalam kategori cabul. Pendidikan untuk meningkatkan daya kritis masyarakat tetap penting, namun membayangkan itu akan cukup untuk mencegah efek negatif pornografi, sementara rangsangan pornografi berlangsung secara bebas di tengah masyarakat, mungkin adalah harapan yang berlebihan.

Pada pasal 13 dan 14 UU Pornografi disebutkan adanya pengecualian untuk hal-hal yang selama ini diusung oleh para penentangnya. Yakni bahwa ia dikecualikan untuk hal-hal yang bernilai seni budaya, adat istiadat atau ritual tradisional. Artinya tidak ada persoalan bahwa orang Dayak memakai pakaian tradisionalnya, baik untuk berkesenian maupun ritual adat. Seniman tetap bisa mengekspresikan kreativitasnya selama benar-benar bermuatan seni dan ditampilkan di tempat-tempat untuk itu. Bahkan dengan adanya UU tersebut, media cetak yang sering memuat tampilan pornografis mendapat kepastian hukum yakni bahwa ia boleh beredar di tempat khusus dan sesuai peraturan yang ada. Bukan dilabrak dengan tindakan anarkhi sebagaimana pernah terjadi.

Pada pasal 22 dinyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam pencegahan pornografi adalah sosialisasi UU, melaporkan pelanggaran dan melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan. Jadi kekhawatiran bahwa akan ada tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat sesungguhnya telah dibatasi oleh UU ini.

Walau hadirnya UU Pornografi belum menjamin terpeliharanya moralitas dan rasa malu masyarakat, sebagai bangsa yang mendasarkan ideologi negaranya bersumber dari agama, UU Pornografi tersebut patut diapresiasi dengan baik. Bagi orang Islam”malu adalah sebagian dari iman”. Allahu a’lam.



Penulis pernah bekerja di Kanwil Depag Prov. DIY


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Dalam anatomi ramalan sosial terdapat dua kemungkinan yang terjadi, pertama apa yang disebut dengan self-fulfilling dan kedua, yang disebut self-defeating. Self-fulfilling adalah bahwa sesuatu hal terjadi karena sudah diramalkan. Kejadian tersebut berlaku sesuai ramalan yang telah diperhitungkan sebelumnya. Biasanya ramalan demikian pada awalnya diasumsikan dengan akan hadirnya manfaat yang bakal diperoleh bila sesuatu (yang diramalkan itu) terjadi di masa depan.



Misalnya pada waktu lalu diramalkan bahwa di masa depan pergaulan manusia akan semakin mudah dengan pertolongan kecerdasan manusia yang menghasilkan teknologi maju. Ramalan tersebut bukan tanpa landasan. Sang peramal (bukan dukun dalam arti klenik dan berkonotasi syirk) membuat analisa berdasarkan pencapaian-pencapaian manusia pada masanya dan memperhitungkan kemungkinan yang dapat dicapai di masa depan. Maka apa yang diramalkan itu dapat menjadi kenyataan, contohnya, bahwa sekarang dengan bantuan teknologi maju, sebagian urusan manusia menjadi lebih mudah. Hal itu terjadi karena memang sudah diramalkan lalu kemudian ada intervensi, ada usaha-usaha untuk mewujudkannya karena dirasa hal tersebut bermanfaat.

Sedang self-defeating adalah bahwa ramalan itu tidak terjadi, meleset, justru karena sudah diramalkan. Misalnya dalam suatu Pilgub atau Pilkada dengan beberapa kandidat dimana ada faktor-faktor yang secara diametral sangat bertentangan dan berpotensi memicu konflik. Kemudian ada ramalan yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaan Pilgub atau Pilkada itu akan terjadi kerusuhan atau konflik akibat bertemunya faktor-faktor yang bertentangan itu. Atau mungkin oleh sentimen-sentimen yang lainnya. Karena kemungkinan itu tidak menyenangkan, maka akan ada intervensi untuk membelokkan ramalan tersebut agar tidak terjadi. Sejauh intervensi itu cukup kuat, maka self-defeating akan terjadi, yakni suatu peristiwa batal terjadi justru karena sudah diramalkan. Dan ramalan akan terbukti meleset.

Meskipun jika intervensinya tidak cukup kuat, maka yang akan terjadi adalah self-fulfilling, ramalan akan menjadi kenyataan. Walau kejadian itu buruk secara sosial bagi suatu pihak.

Dalam Pilkada di empat kabupaten dan kota di Kalbar satu minggu yang lalu, tentu ada ramalan atau analisa yang dibuat. Mungkin ada yang meramalkan bahwa pasangan ini akan menang namun nyatanya kalah, pasangan itu akan kalah tapi nyatanya menang (self-defeating), ada juga yang meramalkan bahwa pasangan sini akan menang dan nyatanya memang menang dan pasangan sono akan kalah dan nyatanya memang kalah (self-fulfilling).

Dari hasil ramalan sosial itu, pasti ada yang merasawa kecewa. Terlebih yang mengalami self-defeating, baik karena intervensi internal yang tidak jalan atau karena intervensi eksternal atas faktor-faktor lain dari seterunya lebih manjur. Ajaran universalnya adalah marilah kita hargai hasil yang diperoleh baik bagi kita sendiri maupun bagi orang lain. Bagi diri sendiri, hal tersebut adalah suatu pembelajaran, suatu kerangka evaluasi yang lebih mendalam seperti apa jati diri kita sebenarnya. Sedang bagi orang lain, kita hargai kehebatan yang dimilikinya sebagai sebuah kenyataan. Jika pilihan itu baik, insya Allah ia akan bermanfaat. Demokrasi yang kita anut sekarang – seberapapun banyak orang yang tidak ikhlas menerimanya – mendasarkan pada suara terbanyak yang dapat diperoleh atas suatu pilihan. Ia tidak memusingkan bahwa jumlah kumulatif antara yang tidak memilih dan suara-suara yang kalah akan lebih banyak jumlahnya dibanding yang dianggap menang. Karena ini memang yang berlaku, maka perintah Allah dalam al-Qur’an, bertawakkallah kepada Allah jika suatu urusan sudah diputuskan.

Sungguh tidak baik jika pertentangan diperpanjang, apalagi jika menyangkut internal umat Islam. Firman Allah dalam Qs. Ali Imran ayat 103 menyebutkan (artinya), “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”

Firman Allah ini secara jelas diakhiri dengan perkataan “agar kamu mendapat petunjuk”. Artinya belajarlah dari kejadian di masa lalu, tatkala kamu saling bertentangan (termasuk seperti sebagian kaum muslimin sekarang ini) sehingga energimu habis untuk berkelahi sendiri, diibaratkan kecelakaan paling buruk sudah siap yakni kalian sudah berada di tubir neraka. Jika bukan karena rahmat Allah, sungguh kalian telah hancur. Agar kehancuran seperti itu tidak senantiasa berulang, apalagi jika memang sudah ada pengalaman yang dapat dijadikan pelajaran, marilah hal itu dijadikan petunjuk. Kecuali kita memang bebal.

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya menulis, “berpegang teguhlah” berarti upayakan sekuat tenaga untuk mengaitkan diri satu dengan yang lain dengan tuntunan Allah sambil menegakkan disiplin tanpa kecuali. Sehingga kalau ada yang lupa, ingatkan dia, atau ada yang tergelincir, bantu ia bangkit agar semua dapat bergantung “kepada tali (agama) Allah”. Kalau kamu lengah atau ada salah seorang yang menyimpang, maka keseimbangan akan kacau dan disiplin akan rusak.

Kelengahan, penyimpangan adalah salah satu kelemahan manusia. Hal itu dapat dipengaruhi oleh perasaan hebat dalam dirinya (‘ujub) dan merasa harus ditampak-tampakkan, atau karena iming-iming kekuasaan dan harta. Kesemua itu akibat bisikan syetan yang menelusup dalam dada (alladzi yuwaswisu fi shudurinnas).

Sebagian pertarungan sudah usai. Ramalan-ramalan telah menampakkan hasilnya. Saatnya kembali untuk belajar, belajar dan belajar dari seluruh pengalaman yang telah kita lalui. Jika kita bukan orang yang bebal. Allahu a’lam.



Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Jika tidak ada aral melintang, tanggal 25 Oktober 2008 besok akan berlangsung pemilihan pasangan calon kepala daerah di empat daerah di Kalimantan Barat. Banyak pasangan yang menjadi jago atau calon kepala daerah dan masing-masing telah melampaui masa perkenalan dan pengenalan kepada masyarakat pemilih yang biasa disebut kampanye (campaign).



Pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang, walau tidak selalu setelah mengenal akan tumbuh rasa sayang. Terkadang justru karena lebih mengenal maka justru harus meninggalkan. Namun juga tidak berarti bahwa lebih baik tidak perlu mengenal (lebih dalam) untuk mendatangkan rasa cinta atau kasih sayang, karena hal itu disebut cinta buta. Hal yang ditunjukkan oleh Islam sebagaimana tercantum dalam Qs. Al Hujuraat : 13 yang sangat populer adalah bahwa semua pengenalan haruslah bersifat positif, saling menghargai perbedaan apapun yang diidap oleh setiap individu atau kelompok masyarakat. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Walau pengutipan ayat di atas terasa klise, namun sebagai bagian dari sebuah kitab suci yang transcendent (inspiring), maka ia senantiasa patut disebut karena akan memberi landasan bertindak. Agar prilaku individu dan masyarakat lebih terarah dan terkontrol.

Dalam konteks pemilihan pasangan calon kepada daerah dalam nuansa demokrasi dimana penentuan pasangan terpilih dilakukan lewat pemungutan suara, terlebih saat ini dengan pemilihan langsung, maka hal-hal yang dapat merusak proses itu harus dieliminir (dikurangi sedemikian rupa) dan dihilangkan, kalau bisa. Hal-hal itu misalnya kecurangan dan ketidakadilan.

Kejujuran dan keadilan (jurdil) akan selalu diangkat ke permukaan karena pengingkaran atas asas itu akan memancing keburukan. Nabi Muhammad Saw sebagai sosok teladan bagi umat Islam dan diakui integritasnya oleh umat non-Islam yang objektif pertama-tama diakui atau dikenali sebagai Al-Amin, orang yang dapat dipercaya. Kepercayaan itu didapat pasti dilandasi kejujuran (shiddiq) yang selalu beliau tunjukkan dan keadilan dalam menyelesaikan masalah. Tidak mungkin orang percaya kepada seseorang jika ia tidak jujur dan atau adil.

Di beberapa daerah di Indonesia proses pemilihan calon kepala daerah (Pilgub, Pilbup, Pilwako) ada yang berbuntut kerusuhan, konflik, dan tak kunjung bisa tertangani. Ditengarai hal yang menyulut antara lain adanya ketidakadilan dan kecurangan. Jika ketidakpercayaan kepada institusi yang berwenang dalam penyelesaian perselisihan Pilkada terjadi dan prasangka terus berkembang, maka ekses buruk Pilkada akan menimpa masyarakat. Karenanya asas kejujuran harus benar-benar dijunjung tinggi dan ditegakkan. Integritas panitia dan pengawas Pilkada harus dapat dipercaya bahwa ia bisa berlaku jujur dan adil. Jika asas dan integritas itu dilanggar, apalagi secara sengaja untuk memenangkan salah satu pasangan dari semua kandidat yang maju, maka konflik dapat terjadi. Karenanya firman Allah agar kita berbuat adil dan jujur itu harus benar-benar diterapkan. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Maidah : 8) “Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu).” (Qs. Al-An’am 152)

Kecurangan dan ketidakadilan (jelasnya : keberpihakan) dapat dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan, baik yang bersifat pragmatis atau ideologis. Yang pragmatis misalnya untuk mencapai keuntungan-keuntungan duniawi (modal, popularitas, kekuasaan) sedang yang ideologis misalnya untuk keunggulan ideologi, agama atau pilihan politik. Dalam kaitan pembentukan budaya politik modern, ternyata politik primordial (agama atau yang lainnya) masih kuat. Maka tak heran jika agama, etnis, sering terjebak menjadi “kartu politik” ketimbang sebagai referensi (rujukan) moral politik yang objektif. (Moeslim Abdurrahman, 2004) Jika agama, misalnya, hanya diperlakukan sebagai “kartu politik” maka umat beragama akan digiring untuk menyetujui pilihan yang sesuai agamanya walau si calon tidak selalu terlihat “saleh” dalam kehidupannya. Maka untuk menentukan pilihannya, masyarakat harus mengedepankan pula pertimbangan rasional dimana sang calon menggunakan agama (Islam) sebagai referensi moral politiknya, kehidupannya bermasyarakat dan memperlihatkan komitmennya yang kuat terhadap kesejahteraan masyarakat.

Semua calon telah memperkenalkan dirinya, janji-janjinya. Kini masyarakatlah yang akan memilih diantara isu-isu yang bergentayangan. Pilihan rasional dalam sistem pemilihan langsung dengan banyak kandidat kadang tidak selalu sesuai hati nurani. Marilah berlapang dada. Tegakkan kejujuran dan keadilan. Hindari konflik akibat kecurangan. Allahu a’lam.


Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......