Oleh : Zainul Arifin

Apa bedanya orang yang berebut air celupan batu petir Ponari dengan pengalap (pencari) berkah dari sesajian pada perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw? Pertanyaan ini mungkin provokatif. Jika ia diajukan kepada orang-orang yang mau saling berebutan, berdesak-desakan demi memperoleh sebagian kecil saja dari aneka makanan, sayuran, yang dibuat tumpeng ataupun gunungan pada perayaan Maulid Nabi Muhammad di sebahagian tempat di tanah air kita, mungkin bisa memancing kemarahan.


Pada tanggal 9 Maret 2009 yang lalu, menurut penanggalan Masehi, bertepatan dengan 12 Rabiul Awwal 1430 H. Siapapun tahu belaka bahwa 12 Rabiul Awwal itu dipercaya sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, maka diperingatilah hari itu sebagai Maulid Nabi. Peringatan Maulid Nabi sendiri tidak diadakan sejak awal dalam sejarah perkembangan agama Islam. Ia muncul pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al-Ayubi. Almarhum Syaikh Ali Tantawi, penulis produktif di Saudi Arabia menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan perayaan Maulid Nabi adalah al-Malik al-Mudhaffar, salah seorang panglima Shalahuddin yang ditempatkan di Irak.

Perayaan Maulid zaman itu tidak berupa majlis ta’lim, tapi berupa festival, bazaar dengan aneka dagangan yang dibawa penduduk dari berbagai pelosok negeri, baik ternak maupun hasil kerajinan. Setelah bazaar itu berlangsung beberapa lama, keramaian berganti dengan parade pasukan. Setelah semua orang berkumpul di alun-alun, para ahli pidato pun tampil memamerkan keahlian retorikanya. Usai seluruh kemeriahan itu, al-Mudhaffar pun menghindangkan makanan yang berlimpah, dan dimulailah acara makan bersama. Tidak ada perebutan makanan atau apa saja yang disajikan dengan tujuan mencari berkah sultan atau sang panglima.

Karena perayaan Maulid ini adalah barang baru jauh sesudah Nabi Muhammad wafat, dan tidak ada contoh sebelumnya termasuk pada zaman shahabat, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Almarhum Syaikh Abdul Azis bin Baz, mufti besar Kerajaan Saudi Arabia menyatakan bahwa lantaran tidak ada contoh zaman Nabi, zaman Shahabat, begitupun zaman Tabi’in, maka ia termasuk mengada-ada dalam agama, istilah mudahnya : bid’ah. Hukumnya haram.


Sedang Syaikh Ali Tantawi, Ahmad Syurbashi (sebagaimana dikutip Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya ”Islam Masa Kini”, 2001) mengatakan bahwa peringatan Maulid Nabi itu perlu dilihat isinya. Kalau ia diisi dengan pengajian, ta’lim, penerangan tentang sejarah dan perjuangan Rasul menyebarkan dan menegakkan agama Islam, maka hal itu perlu dikerjakan. Ia termasuk perkara ma’ruf. Namun bila peringatan itu diisi dengan hal-hal yang maksiat, pemborosan, maka jatuhnya juga menjadi haram.


Kaum tradisionalis, meski mengetahui perayaan Maulid itu bid’ah, menganggapnya sebagai bid’ah hasanah (lihat Ahmad Haris, Ph.D, Islam Inovatif, 2007). Maka di Indonesia bentuk-bentuk perayaan Maulid menjadi beragam dengan tiga sifat dasar: bersifat politis, tradisional dan adat. Perayaan Maulid politik dilaksanakan oleh setiap tingkat pemerintahan di negeri ini. Di masa-masa menjelang Pemilu, arena ini tak jarang juga dipakai untuk ajang kampanye. Atau kampanye dengan mengadakan acara agama, seperti Maulid Nabi.

Pada tingkat tradisional, perayaan Maulid diadakan di masjid-masjid, pesantren, madrasah, pengajian-pengajian. Inti acaranya adalah mendengarkan pengajian dari ulama atau ustadz yang memiliki kedalaman ilmu agama Islam. Dalam adat tertentu, dibacakan juga naskah Maulid seperti yang ditulis oleh al-Barzanji atau al-Diba’i.


Sementara sebagai adat, perayaan Maulid diperingati dengan ritual-ritual yang justru bercampur dengan hal-hal yang tidak jelas dalilnya. Misalnya diperingati dengan acara mencuci benda-benda pusaka keraton tertentu, seperti keris, tombak atau gong gamelan. Saat seperti itu, rakyat yang hadir berebut untuk mengambil air bekas cucian benda-benda tadi. Di Gorontalo, seperti diberitakan televisi, masyarakat berebut aneka makanan yang dibawa bahkan sebelum didoai oleh ulama di masjid. Masyarakat terlanjur percaya bahwa bisa mendapat bagian dari aneka makanan tadi akan mendatangkan berkah dan menolak bala. Sehingga dengan tidak sabar mencoba merebut tatkala masih di halaman sebelum masuk masjid.

Di Yogyakarta dan Surakarta, gerebeg Maulud, perayaan dengan mengarak gunungan sayuran dari keraton ke masjid juga merupakan contoh dari banyaknya praktek maulid yang terikat secara budaya. Ahmad Haris, Ph.D menulis, ”ribuan orang berebut ingin mendapatkan bagian dari gunungan yang diberkati itu, yang dipercaya dapat menjamin kesejahteraan dan kesehatan serta menjauhkan segala bala.”


Sampai di sini, dengan mengabaikan perbedaan para ulama tentang hukum perayaan Maulid Nabi, ada suatu hal yang menjadi paradoksal (bertentangan, ironi). Yakni antara peringatan Maulid Nabi yang seharusnya dipenuhi dengan mengingat kegigihan Nabi Muhammad memberantas kemusyrikan, memberantas ketergantungan manusia kepada selain Allah menjadi masyarakat tauhid, dengan aneka tambahan pada praktek ritual Maulid yang bernuansa kejahiliyahan dan merusak tauhid. Misalnya dengan perebutan aneka sajian yang dipercaya dapat membawa berkah, entah sudah didoai para kiyai, ulama ataupun belum. Apakah ini tidak mirip dengan kelakuan para pasien Ponari di Jombang?


Peringatan Maulid Nabi Muhammad memang adalah hal yang baru, muncul dalam sejaran perjalanan Islam dalam interaksinya dengan publik, lokasi dan waktu. Ia bukan bagian dari ajaran Islam tetapi bagian dari cara memuliakan Nabi besar dalam Islam itu. Niat luhur ini patut dihargai dan diapresiasi dengan baik. Seperti kata Syaikh Ali Tantawi, jika peringatan ini diarahkan dan diisi dengan mendalami perjuangan Nabi Muhammad dan meneladaninya dalam kehidupan kaum Muslimin sehari-hari, ia sangat bermanfaat.


Sayangnya di sejumlah tempat, perayaan yang telah bergulir bertahun-tahun itu kehilangan elan vitalnya. Jatuh sekadar sebagai tradisi. Masyarakat yang datang bukan untuk mendengarkan ceramah tentang keutamaan ajaran Nabi, tapi untuk saling berebut sajian yang dipercaya mampu menolak bala dan mendatangkan berkah dalam hidup. Padahal Allah berfirman dalam Qs. An Nur ayat 63, yang artinya, ”maka hendaklah orang-orang yang menyalahi ajaran-Nya (termasuk ajaran yang disampaikan oleh Rasul-Nya) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Beberapa hari yang lewat, kita menyaksikan tayangan berita di televisi yang sungguh dramatis yakni usaha percobaan bunuh diri seorang perempuan muda di Palembang. Setelah memotong urat nadi di tangannya, perempuan itu mencoba terjun dari lantai atas sebuah mall. Kamera wartawan menangkap momen menegangkan itu. Meski si perempuan tersebut dapat diselamatkan oleh warga yang sudah menyiapkan kasur di bawah, tapi pendarahan dari urat nadi yang disayat di tangannya membuat ia hampir sekarat.



Dari pemberitaan yang dapat kita tangkap, percobaan bunuh diri itu dilatarbelakangi kesulitan si perempuan untuk mempertanggungjawabkan uang yang telah dipakainya di tempat kerjanya. Pemakaian uang itu tidak semata untuk keperluan dirinya, namun dikabarkan juga atas permintaan lelaki pasangannya. Setelah mengalami kebuntuan akhirnya ia sampai pada tekad untuk mengakhiri hidup dengan memotong urat nadi tangannya dan melompat dari atas ketinggian mall.

Fenomena bunuh diri dengan beragam cara, termasuk dengan cara melompat dari mall atau tower seluler yang kini marak, sungguh meresahkan. Bukan cara yang dipilih untuk mengakhiri hidup itu, tapi keputusan seseorang untuk bunuh diri itulah yang sangat memprihatinkan. Bunuh diri tentulah ujung dari sebuah keresahan, kegalauan pribadi seseorang dalam mengarungi hidup yang dirasanya sangat sulit dipecahkan. Karena usaha bunuh diri adalah sangat pribadi maka pada masa lalu dan biasanya bunuh diri direncanakan dan dilakukan secara rahasia.

Iman Budhi Santosa dan Wage Daksinarga dalam bukunya, “Tali Pati, Kisah-kisah Bunuh Diri di Gunung Kidul” (Yogyakarta, 2003) menulis bahwa pelaku bunuh diri sangat merahasiakan : rencana, perbuatan, dan alasan mengapa bertindak demikian. Sejumlah bukti yang dapat diajukan antara lain : tidak pernah memberi tahu secara eksplisit kepada orang lain bahwa ia akan bunuh diri, rencana sudah dipikir masak-masak seorang diri, sikap perilaku sangat dijaga agar tidak menimbulkan kecurigaan, waktu dan tempat bunuh diri dipilih ketika benar-benar sepi, sehingga kecil kemungkinan untuk diketahui, dan jarang meninggalkan pesan atau catatan karena takut latar belakang perbuatannya diketahui orang.

Mengapa seseorang sampai kepada keputusan untuk bunuh diri? Terhimpit masalah ekonomi, kehilangan orang yang dikasihi, dan masih banyak lagi masalah dalam hidup yang memicu tindakan bunuh diri. Sedangkan yang lainnya adalah karena gangguan mental. Menurut Norman Wright, 10 persen orang bunuh diri dengan alasan tidak jelas, 25 persen orang yang melakukan tindakan bunuh diri karena menderita ketidakstabilan mental dan 40 persen karena mengikuti kata hati ketika mengalami gangguan emosi. Yang pasti banyak orang melakukan bunuh diri karena ingin segera keluar dari masalah dan tekanan hidup.

Masyarakat kita begitu tertekan mengahadapi kenyataan hidup yang makin menjepit. Harga kebutuhan tinggi, pekerjaan sulit didapatkan. Bahkan kini, banyak orang tua pasrah anak mereka tidak sekolah, karena tingginya biaya yang harus mereka keluarkan. Semua itu, membuat masyarakat mengalami depresi, dan menjadi faktor awal tumbuhnya benih keinginan, untuk lari dari semua itu dengan cara pintas. Bunuh diri. karena itulah pelaku bunuh diri tidak saja datang dari komunitas masyarakat kelas bawah.

Seluruh kesulitan yang dihadapi pelaku bunuh diri bukanlah sesuatu yang khas atau unik yang hanya menimpa orang yang bersangkutan. Banyak orang yang mempunyai masalah yang sama namun tidak sampai pada keputusan untuk bunuh diri. Dalam hal ini tentu saja kekuatan mental, stabilitas mental seseorang sangat berpengaruh. Mentalitas itu dapat diperkuat dengan unsur agama yang mampu meneguhkan kepribadian seseorang. Tatkala seluruh daya upaya seorang manusia tak mampu lagi mengatasi masalahnya, maka Tuhanlah yang masih bisa dijadikan rujukan. Dalam Islam ialah Allah Swt. Harapan akan berkah dari Allah Swt inilah yang memungkinkan seseorang bertahan hidup dari kesulitan yang membelitnya. Dan ”ketakutan” akan balasan yang setimpal atas dosa bunuh diri yang bakal diterimanya kelak, telah mencegahnya untuk melakukan tindakan konyol itu. Dalam Qs. Al-Fatihah ayat 5 Allah berfirman yang artinya, ”Hanya kepada-Mulah kami menyembah, dan hanya kepada-Mulah kami meminta pertolongan.” Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Bantuan diperlukan tatkala kita tidak dapat, terhalang atau sulit meraih sesuatu yang kita perlukan atau inginkan. Bantuan adalah mempermudah melakukan sesuatu yang sulit diraih oleh yang memintanya dengan jalan misalnya, mempersiapkan sarana pencapaiannya, partisipasi dalam aktivitas baik dalam bentuk tenaga, harta, nasehat atau pikiran. Permohonan kepada Allah, tulis M. Quraish Shihab, adalah permohonan agar Dia mempermudah apa yang tidak mampu diraih oleh yang bermohon dengan upaya sendiri. Tentu saja dalam upaya ini seseorang tidak berarti berpelas diri dari masalahnya, ia terus terlibat di dalamnya, dalam usaha mengatasi masalahnya sendiri. Kita dituntut untuk berperan, sedikit atau banyak sesuai dengan kondisi yang kita hadapi.

Komunikasi adalah salah satu jalan mencegah usaha bunuh diri. Komunikasi dilakukan oleh orang dekat yang melihat saudaranya terbelit kesulitan yang berat, sehingga dapat mengurangi beban pikiran atau beban mentalnya. Kadang seseorang mencoba bunuh diri karena merasa tak ada lagi kawan yang mau mendengar keluh kesahnya. Seseorang tidak boleh mengutarakan niat untuk bunuh diri karena ucapan itu bisa jadi akan memprovokasinya. Orang yang mendengar seseorang yang mengatakan keinginan untuk bunuh diri tidak boleh menyepelekan, karena sesungguhnya hal itu berarti ia minta pertolongan.

Dan diatas segala saran yang bisa diberikan, penguatan agama pada setiap orang adalah yang fundamental agar usaha bunuh diri dapat dicegah. Dalam Qs. An-Nisa ayat 29-30 Allah berfirman yang artinya, ”..... dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Sedang Rasulullah bersabda dalam hadisnya, ”Barangsiapa menjatuhkan diri dari gunung untuk bunuh diri maka dia di dalam neraka Jahannam, jatuh ke dalamnya kekal dan dikekalkan selama-lamanya. Barangsiapa meneguk racun kemudian membunuh dirinya, maka racunnya ada pada tangannya dan ia meneguknya di neraka Jahannam, kekal dan dikekalkan selama-lamanya ... dst.” (HR Al-Bukhari dari Abu Hirairah/Shahih Al-Bukhari hadis no 5442)
Dari ayat dan hadis di atas sangat jelas bahwa bunuh diri adalah perbuatan dosa besar yang sangat dibenci Allah. Hukumannya sangat berat. Orang yang bunuh diri sejatinya tidak menyelesaikan masalah, hanya mengalihkan masalah dari dunia fana saat ini ke alam akhirat kelak. Allahu a'lam.

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Beberapa waktu yang lalu dunia pendidikan dihebohkan oleh peredaran video yang merekam adegan kekerasan yang dilakukan seorang guru SMK di Gorontalo. Rekaman itu menjadi pembicaraan ramai karena yang melakukan adalah seorang guru, seseorang yang seharusnya menunjukkan perilaku bijak yang patut dijadikan contoh. Kalau saja rekaman itu tidak tersebar luas, mungkin tidak akan ada pembicaraan sedikitpun tentang kekerasan yang dipertunjukkan itu, yakni menampar wajah seseorang.


Pada penayangan adegan kekerasan yang juga pernah muncul di televisi, misalnya yang dilakukan oleh Geng Nero di Pati dan Geng Motor di Bandung, menampar wajah sepertinya menjadi sesuatu yang pasti dilakukan. Mungkin hal itu terjadi begitu saja, karena wajah adalah bagian yang mudah untuk menerima pukulan dan terbuka sehingga bekas pemukulan akan mudah kelihatan. Sesuatu yang agaknya disukai oleh si pemukul atau si penampar.
Celakanya, dalam dunia sinetron kita pun adegan kekerasan dengan menampar atau memukul wajah sangat mudah dilakukan. Dalam sinetron yang setiap hari disiarkan di televisi, setiap adegan kekerasan fisik selalu menunjukkan adegan menampar wajah dengan bengisnya. Entah ayah menampar anak, suami menampar istri, majikan menampar pembantu, atau teman menampar teman. Hal ini sungguh menyedihkan karena adegan tersebut tidak patut dilakukan apalagi sengaja dipertontonkan. Prilaku itu lambat laun ditiru masyarakat baik sadar atau tidak sadar secara lebih massif meskipun prilaku semacam itu mungkin memang acap terjadi dalam kenyataan sehari-hari.
Wajah adalah bagian sangat penting dari manusia. Seseorang dikenali antara lain karena wajahnya. Ia sedikit banyak dapat menunjukkan pribadi seseorang. Begitu pentingnya wajah bagi seseorang, apalagi bagi seorang wanita, tak heran bagian ini sering mendapat perawatan dan tata rias yang menghabiskan cukup banyak uang. Sedemikian pentingnya, maka sungguh mengherankan jika adegan kekerasan yang mengorbankan wajah terus berlangsung di sinetron kita.
Wajah (muka) adalah salah satu anggota badan yang dimuliakan Allah Swt, dan yang paling dihormati. Dari wajahlah dapat dilihat identitas seseorang, dari wajahlah kegembiraan dan kesusahan seseorang dapat dilihat, bahkan tanda-tanda bekas sujud pun terlihat pada wajahnya. Apabila nama ‘Ali bin Abi Talib disebut, para shahabat pun mendo’akan “karramallahu wajhah” (semoga Allah memuliakan wajahnya). Karena itulah Islam melarang menampar wajah, melukai, atau memberikan cap atau tato di wajah, baik wajah manusia maupun wajah binatang.
Prof. Saad Abdul Wahid dalam bukunya “Membersihkan dan Menyembuhkan Berbagai Penyakit Qalbu” (Citra Media, 2006) menjelaskan perihal larangan menampar wajah itu dengan mengutip beberapa hadis Rasulullah. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim ditegaskan, “Dari Abi Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila seseorang di antaramu memerangi saudaranya, maka jauhilah wajah.” (Shahih Al-Bukhari/No. 2420, Shahih Muslim/No. 112/2612) Sedang dalam hadis yang lain, dari Abi Zannad, dengan sanad yang sama, ia berkata, “Apabila seseorang di antaramu memukul” (jauhilah wajah).
Sedang perihal dilarang menyakiti binatang pada bagian wajah, termasuk menatonya, Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Jabir, “Bahwa Nabi Saw lewat di depan seekor himar (keledai) yang telah diberi tato di wajahnya, kemudian beliau bersabda: ‘Allah melaknat orang yang memberi tato pada wajahnya’.” (Shahih Muslim/No. 107/2117)
Hadis yang pertama dan kedua menjelaskan bahwa menampar wajah saudaranya adalah haram, demikian pula jika dalam peperangan, menembak, atau melukai wajah adalah haram, kecuali tidak sengaja. Adapun hadis yang ketiga menjelaskan bahwa menampar atau memberi tato di wajah binatang, juga haram, bahkan pada hadis yang ketiga Nabi menggunakan kata-kata laknat, yang mengandung pengertian azab yang sangat berat.
Pelarangan seseorang menampar wajah orang lain ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati harkat dan martabat seseorang. Orang yang menampar wajah orang lain biasanya dilakukan disertai keinginan merendahkan martabat korban. Bukan sekadar menyakiti. Karenanya jika suatu negara mendapat perlakuan tak senonoh dari negara lain sering dikatakan sebagai menampar wajah negara. Mendapat tamparan di wajah berarti mendapat penghinaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, permasalahan, pertikaian kecil maupun besar, perselisihan adalah hal yang biasa terjadi. Kesemua hal itu dapat dicarikan jalan keluar yang bijaksana tanpa harus saling menyakiti, apalagi menindas kehormatan orang lain, misalnya dengan menampar wajahnya. Siapapun orang tidak akan rela mendapati tangan orang lain mendarat di wajahnya. Karenanya sudah selayaknya jika adegan-adegan kekerasan yang memperlihatkan sangat mudahnya menampar wajah dalam dunia sinetron kita dihentikan. Sadar atau tidak sadar, tontonan itu akan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk melakukan hal-hal yang diharamkan agama. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prof. Kalbar






Selengkapnya ......