Oleh : Zainul Arifin*

Dalam khutbah-khutbah Jum’at dan ceramah di majlis ta’lim, banyak da’i atau muballigh yang menjelaskan tentang sebab-sebab keruntuhan umat Islam. Cerita-cerita kedurhakaan umat terdahulu yang diazab oleh Allah Swt, pertikaian dan cerai berainya umat Islam menjadi alas cerita mengapa umat Islam mengalami kemunduran. Begitu pun yang sekarang ini banyak terjadi menimpa kaum muslimin.
Menurut para dai atau muballigh itu, kaum muslimin ditimpa kehinaan karena telah meninggalkan atau setidak-tidaknya mengabaikan banyak hal dari al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Kemudian sebagian dari da’i atau muballigh itu menyitir ayat 112 Qs. Ali Imran yang artinya, “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) dari Allah dan tali dari manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan, yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar, yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.”

Dengan mengutip ayat di atas, para da’i atau muballigh itu menyatakan dengan tegas bahwa manusia atau kaum Muslimin akan selamat dan kembali bermartabat bila berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (ikatan) manusia sebagaimana tercantum dalam Qs. Ali Imran ayat 112 itu. “Kehinaan yang menimpa manusia atau kaum muslimin selama ini adalah karena kita tidak konsisten berpegang kepada tali Allah dan tali manusia. Untuk itu kita harus teguh manjaga hubungan vertical dan hubungan horizontal itu dengan sebaik-baiknya,” kurang lebih seperti itulah yang biasa dinyatakan para da’i atau muballigh.

Dua hal besar dapat direnungkan terkait masalah di atas. Pertama, bahwa sesungguhnya kaum Muslimin tidak pernah lepas dari pengamalan ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja pengamalannya memang fluktuatif, terutama bila berkaitan dengan urusan kekuasaan atau politik. Padahal urusan ini dapat berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat banyak. Pendengar khutbah Jum’at atau pun hadirin di majlis ta’lim akan merasa tidak nyaman dikatakan tidak mengamalkan ajaran Islam secara baik, karena sesungguhnya mereka telah berupaya untuk itu sebaik-baiknya. Namun kekalahan umat lebih disebabkan sebagian pemimpin politik atau pemuka agama yang terlena indahnya dunia sehingga mengabaikan pengamalan ajaran agamanya secara konsisten.

Hal kedua menyangkut pemakaian ayat 112 Qs. Ali Imran yang tidak tepat. Dalam ilmu tafsir dikenal istilah munaasabah, yakni keterkaitan antara surat yang satu dengan surat sebelumnya atau antara satu ayat dengan ayat sebelumnya. Dalam kasus ayat 112 Qs. Ali Imran tersebut, maka perkataan ”mereka” (hum) adalah kembali kepada atau sebagai kata ganti dari kaum Ahli Kitab dalam hal ini adalah penganut Nasrani dan (terutama) Yahudi. Jadi kehinaan yang ditimpakan oleh Allah Swt itu adalah kepada penganut agama Nasrani dan (terutama) Yahudi, tidak ada kaitannya dengan kaum Muslimin apalagi umat manusia seluruhnya seperti dinyatakan da’i atau muballigh tadi.

Makna dalam Kitab Tafsir

Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa firman Allah ta’ala dalam ayat 112 Qs. Ali Imran ”dluribat ’alaihim al-dzillatu” itu maksudnya adalah bagi Ahli Kitab yakni kaum Yahudi. Dalam kitab tafsir Jalalain dinyatakan bahwa ”dimana pun kamu bertemu dengan mereka jangan memberi ketinggian martabat kepada mereka dan jangan berpegang teguh kepada mereka.” Sedang Asy-Syaukani dalam kitab tafsir Fathul Qadir-nya menyatakan bahwa kaum Yahudi itu akan diliputi kehinaan dalam keadaan apapun dan di manapun kamu (kaum Muslimin) menemui mereka, kecuali yang menerima ketetapan (perlindungan) Allah dan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah Islam atas mereka (sebagai ahli dzimmah). Hal itu karena mereka telah membunuh para nabi dan berbuat durhaka serta melampaui batas. Hal yang tidak terjadi pada kaum Muslimin, sehingga persepsi da’i atau muballigh di muka tadi menjadi tidak tepat.

Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah-nya menulis, sementara orang ada yang menggunakan kedua istilah – hablun minallah dan hablun minanas – itu sebagai cerminan dari ajaran Islam. Seorang Muslim, kata mereka, hendaknya menjalin hubungan baik dengan Allah dan hubungan baik dengan manusia. Hemat penulis, pandangan itu kurang tepat, paling tidak dari dua sisi. Pertama adalah bahwa yang dituntut dari seorang muslim adalah menjalin hubungan, dengan demikian ia dituntut untuk aktif, sedang ayat ini menegaskan bahwa tali hubungan itu datang dari Allah dan dari manusia. Yang aktif menurut ayat ini adalah Allah dan manusia yang membantu. Kedua, bahwa ajaran Islam tidak hanya terbatas pada hubungan baik dengan Allah dan dengan sesama manusia, tetapi mencakup juga hubungan baik dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan seluruh lingkungan hidup serta hubungan yang baik dengan diri sendiri. Bukankah menurut al-Qur’an banyak orang yang menganiaya dirinya sendiri?

Mengutip Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya yang sangat populer, Prof. Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya ’Islam Masa Kini’ (2001) menulis bahwa yang dimaksud dengan hablun minallah itu adalah tanggungan Allah, di mana orang-orang kafir itu membuat perjanjian sebagai kafir dzimmi (ahli dzimmah – yang memperoleh jaminan keamanan baik untuk diri sendiri dan harta mereka) dan mereka wajib membayar jizyah (pajak). Sementara hablun minannas adalah jaminan keamanan yang mereka peroleh dari kaum mukminin. Ringkasnya seperti yang tertera dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar, hablun minallah adalah kewajiban membayar jizyah atas orang-orang kafir, sedang hablun minannas adalah hak mereka untuk memperoleh keamanan.

Jadi adalah tidak tepat (bahkan Prof. Mustafa Yaqub menyatakan termasuk tafsir haram) pemaknaan atas Qs. Ali Imran ayat 112 sebagaimana yang lazim kita dengar dari sebahagian da’i atau muballigh di masyarakat dengan makna seperti di awal tulisan ini. Ia tidak dapat dijadikan dalil untuk kebangkitan umat Islam, kerukunan manusia atau kesatuan kaum Muslimin. Dalil yang lebih tepat untuk menjaga persatuan umat adalah Qs. Ali Imran ayat 103 dan yang semakna dengannya tanpa mengaitkan dengan ayat yang ke 112. Allhu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar










Selengkapnya ......

Oleh: Lek Iwan

Setiap kali membaca headline media massa, yang terbaca adalah berita tentang kekejaman Zionis Israel kepada warga Palestina di Gaza. Hari ini agresi militer memasuki hari yang ke-23. Bermacam persenjataan Israel (=made in USA) yang dipergunakan alam agresi kali ini. Mulai dari senjata artileri, peluru kendali 'pintar' dan yang terakhir adalah penggunaan serbuk phosphor putih yang bersifat membakar dan termasuk bahan yang dilarang dalam peperangan.

Yang paling membuat hati sakit adalah, kenyataan bahwa saat ini HAMAS berjuang seorang diri! Negara-negara Arab semuanya bungkam, hanya berani mengumbar sumpah serapah tanpa arti! Entah berapa lama lagi perang ini akan berlanjut. Berapa lagi korban Israel yang akan terus berjatuhan? Hanya Allah SWT Yang Maha Mengetahui.

Jika kita menengok lagi ke belakang beribu tahun yang lalu, sebenarnya Israel (bani Israel) memang bangsa yang 'perlu selalu dibimbing' oleh para Rasul. Dalam mitosnya, Israel adalah bangsa yang paling disayang oleh Tuhan. Tetapi dalam kenyataannya, Israel adalah bangsa yang berpotensi berbuat kerusakan di dunia ini. Jadi kehadiran Rasul di tengah bani Israel ini adalah sebagai petunjuk jalan, panutan supaya tidak melenceng dari jalan-Nya.

Dalam bahasa guyonan, bani Israel digambarkan sebagai bangsa yang 'ngeyel' bin 'ndableg' (bandel) terhadap Rasul Allah. Banyak riwayat yang menceritakan mengenai sifat khas ini. Al Qur'an mengabadikannya dalam kisah mengenai sapi betina di zaman Nabi Musa As. (QS. Al Baqarah). Kalimat yang terkenal dari bangsa Israel kepada Nabi Musa pada saat mereka tidak sabar atas ujian Allah : "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami." Perhatikan penggalan kata "Tuhanmu", dimana kata "Tuhan" diberikan kepada "orang kedua tunggal" tanpa mau mengikut sertakan kalimat "kami" (Tuhan kami). Terdapat perbedaan yang jauh dari segi makna antara kalimat "Tuhanmu" dan kalimat "Tuhan kami". Seakan mereka mengatakan "Tuhan kamu saja" bukan "Tuhan kami".

Bani Israel memang sangat mudah untuk menyimpang dari ajaran Allah SWT. Hanya ditinggal beberapa hari oleh Nabi Musa yang mendapat wahyu dari Allah, akal sehat bangsa israel mulai hilang. Dibuatnya patung anak sapi (Hathor) sebagai Tuhan yang baru. Pada saat akan memasuki tanah Palestina pun umat Nabi Musa ini enggan untuk berperang, sehingga diharamkan memasuki wilayah tersebut selama 40 tahun. Kondisi 'diaspora' ini berakhir dan menjadi masa keemasan ketika Nabi Daud As memimpin kerajaan bani Israel. Sepeninggal Sulaiman As (Putra Nabi Daud), Allah mengutus banyak lagi nabi kepada Bani Israel meskipun dalam banyak hal mereka tidak mendengarkan mereka dan mengkhianati Allah.Israel kembali terpecah dan berbuat menyimpang dari ajaran Tauhid. Allah SWT menghukumnya dengan membiarkan Bangsa Assyria, Babilonia dan Romawi menghancurkan dan menghinakan bangsa Israel.

Bani Israel yang beragama Yahudi sangat terkenal sebagai bangsa pembunuh. Betapa banyaknya para nabi diturunkan ke tengah-tengah Bani Israil, kaumnya Nabi Musa a.s., untuk mengembalikan mereka ke jalan ketauhidan. Namun kaum Yahudi yang cenderung kepada kejahatan dan kesesatan, bahkan banyak melakukan pembunuhan terhadap para nabi Allah. Nabi Zakaria a.s. dibelah badannya, Nabi Yahya a.s. dipenggal kepalanya, dan sebagainya. Jadi kalau saat ini Israel membantai bangsa Palestina, bukanlah barang yang istimewa bagi mereka.

Kekejaman tentara zionis Israel terhadap warga di Gaza memang harus segera dihentikan. Seharusnya, para pemimpin negara muslim sebagai pelopor perjuangan. Sayang sekali, para pemimpin itu adalah begundal dari Amerika Serikat yang memberikan dukungan penuh kepada Israel.

* Penulis adalah seorang Blogger (http://gamingnow.tk)

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Allah SWT berfirman dalam Qs. Al-Hasyr : 18, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dikedepankannya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Mengutip Thabathabai, Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbahnya menulis bahwa perintah memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok sebagai perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan.

Ini seperti seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia dituntut untuk memperhatikannya kembali agar menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan dan barang tersebut tampil sempurna. Kebaikan tentu bukan hanya perbuatan individual yang didasari niat baik namun harus dapat mengekspresikan aksi kolektif berdasarkan tujuan universal sesuai yang dinyatakan dalam wahyu dan sejalan dengan asas positif kehidupan.
Maka jika kita menengok sedikit ke belakang, ke tahun yang sebentar lagi akan berganti ini, kita mendapati persoalan sosial (kolektif) yang begitu banyak. Di antara yang sangat menonjol adalah sering terjadinya tindak kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Kekerasan itu dapat berupa perseteruan antar individu, dapat pula antar kelompok yang mengakibatkan korban tewas atau luka berat. Kehidupan sosial yang kurang mendatangkan rasa aman dan nyaman itu agaknya masih akan berlanjut. Bukannya kita tidak menengok ke belakang untuk membuat evaluasi, namun kesulitan yang melanda masyarakat agaknya sedikit mengurangi alternatif yang dapat diraih untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Tentu saja secara normatif agama Islam mempunyai ajaran luhur yang mencegah segala perendahan martabat kehidupan manusia itu. Ada lima hal yang menjadi tujuan universal asas positif hukum Islam yakni : pemeliharaan kehidupan, pemeliharaan akal, penegakan kebenaran, kehormatan manusia, dan pemeliharaan kesejahteraan.
Prof. Hassan Hanafi dalam bukunya “Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer” menulis bahwa tujuan-tujuan tersebut dapat dijadikan tolok ukur utama bagi etika global dan kesatuan aksi kolektif untuk solidaritas manusia.
Pertama, pemeliharaan kehidupan manusia sebagai tolok ukur (nilai) utama dan absolut. Tidak ada ruang dan kebenaran bagi pembinasaan kehidupan manusia. Apabila kehidupan manusia terancam, maka semua hukum berkewajiban untuk menyelamatkan. Kehidupan bukan hanya untuk manusia, namun juga untuk alam lingkungan seluruhnya. Di sini dapat dipahami mengapa Islam sangat memperhatikan kelestarian kehidupan baik manusia maupun alam. Islam sangat mengecam terjadinya pembunuhan atas diri seseorang kecuali ada alasan yang haq untuk itu.

Kedua, pemeliharaan akal manusia menentang segala bentuk pengrusakan pikiran seperti alkohol, obat-obat terlarang, kebodohan dan lain-lain. Hal ini merupakan tujuan universal bagi umat manusia. Memerangi obat-obat terlarang dan alkohol berarti memerangi pengrusakan akal. Sungguh tidak beradab dan sangat membahayakan, para pembuat dan pengedar minum-minuman keras dengan kadar alkohol tinggi dan narkoba dalam segala jenisnya. Dalam tradisi yang menjunjung tinggi akal sehat, minum-minuman yang memabukkan tidak mendapat tempat. Karenanya sungguh mengherankan jika banyak orang yang masih saja menenggak minuman keras bahkan dengan campuran yang mematikan sampai akhirnya benar-benar menemui ajal. Akal merupakan prasyarat pertanggungjawaban manusia, tulis Hassan Hanafi.
Ketiga, karena akal manusia sebagaimana ditegaskan menjadi inti pengetahuan, maka perjuangan untuk kebenaran pengetahuan (informasi) menjadi komponen ketiga bagi etika global. Kebenaran tidak terbatas hanya pada apa yang dikatakan. Ia bersifat objektif. Islam sangat menganjurkan penyelidikan, penelitian dalam ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan sosial. Hal ini guna menghindari kerancuan berpikir dan keragu-raguan akan kebenaran Islam. Penelitian atas suatu informasi yang diterima seseorang atau kelompok akan ditelisik (tabayyun) sehingga nyata kebenarannya atau kebohongannya.

Keempat, menjunjung tinggi harkat manusia dan kehormatan masyarakat merupakan tujuan selanjutnya dan salah satu tolok ukur utama dalam etika global. Harkat tidak bersifat individual sebagaimana diungkap dalam konsep hak asasi manusia, akan tetapi bersifat kolektif, bertalian dengan kehormatan masyarakat, negara dan kebudayaan. Setiap ancaman bagi harkat kolektif kemanusiaan tidak dapat begitu saja dieliminasi mengatasnamakan hak asasi manusia secara individual. Hukuman berat (bahkan mati) bagi perusak moral dan martabat bangsa – misalnya oleh para koruptor kelas kakap dan bandar-bandar narkoba – harus dipandang sebagai balasan setimpal pada bahaya besar yang mungkin ditimbulkannya.

Kelima, pemeliharaan kesejahteraan individu dan negara merupakan salah satu komponen utama bagi pembangunan etika global dan solidaritas manusia. Hak milik pribadi merupakan bagian dari hak setiap individu untuk menggunakannya secara pribadi. Namun manusia hanya dipercaya Tuhan untuk menggunakannya sementara. Manusia berhak mengembangkan namun bukan untuk memonopoli.
Menilik kelima hal di atas dikaitkan dengan Qs. Al Hasyr ayat 18 di awal tulisan, maka evaluasi kolektif kiranya menjadi sangat penting dilakukan, terlebih di masa sulit sekarang ini. Agar segala pekerjaan yang pernah kita lakukan lebih bermakna sosial ketimbang sekadar individual. Dan agar pengelola negara lebih tegas menjaga kesejahteraan kolektif, kesejahteraan masyarakat, bukan menjaga kesejahteraan individual semata. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar


Selengkapnya ......