Oleh : Zainul Arifin*

Di zaman informasi seperti sekarang ini, tak pelak berita-berita dari manapun mudah diakses. Berita datang silih berganti dengan beraneka isi. Sampai-sampai ada yang menjadi bingung, bimbang, takut, gelisah, sesungguhnya apa yang sedang terjadi di dunia atau negeri kita ini.

Lantaran informasi datang dari berbagai saluran, kita di sini menjadi tahu bahwa di daerah tertentu terus terjadi pergolakan (di Maluku Utara, misalnya). Berita tentang kerusuhan, pembunuhan dan berita-berita belum terbukti menghujani kita setiap saat, membikin kita limbung, seolah negeri ini memang sedang kacau balau. Hal itu dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, was-was, yang dalam skala tertentu dapat memunculkan gejala-gejala penyakit kejiwaan.

Tampaknya dewasa ini kejahatan sedang bersimaharaja lela. Hal ini memang menimbulkan kecemasan masyarakat. Pembunuhan terjadi seolah tak kenal tempat dan waktu. Bahkan dengan cara-cara yang sangat sadistis. Padahal pembunuhan adalah kejahatan kemanusiaan yang paling besar. Masyarakat Arab pra-Islam dibilang Jahiliyah antara lain karena pembunuhan dianggap hal yang biasa. Kehancuran bangsa-bangsa terdahulu salah satu penyebabnya adalah bersimaharaja lelanya pembunuhan sedang orang-orang tak kuasa menghentikannya. Bila kejahatan terus berjalan maka kegelapan akan segera tiba.

Dalam bahasa agama, kejahatan disebut sebagai dosa, lawan dari pahala. Menganut agama hampir mustahil tanpa menerima dan menghayati konsep pahala dan dosa ini. Apalagi jika agama itu berpusat kepada keimanan kepada Allah yang menghendaki perbuatan baik sebagai sarana pendekatan kepada-Nya. Allah berfirman dalam Qs. Al-Kahfi ayat 110 yang artinya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Al-Qur’an banyak menggunakan kata “dzulm” untuk kejahatan atau dosa. Dan pelakunya “dzalim” (atau lalim dalam Bhs. Indonesia). Dari segi bahasa, dzulm arinya gelap (dzulmatun berarti gelap gulita), karena memang kejahatan itu menimbulkan kegelapan hati. Dan dhalim berarti orang yang melakukan kegelapan. Makna ini berhimpitan dengan konsep lain dalam agama tentang hakikat hati sebagai “hati nurani”. Nurani berarti ‘bersifat nur’ atau ‘cahaya’. Karena hati kita bersifat menerangi jalan hidup kita dan merupakan hidayah asli dari Allah. Hati akan tetap terang atau ‘nurani’ selama seseorang tidak melakukan kejahatan yang akan membuat hati bersifat gelap (dzulmani). Oleh karenanya, dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa jika seseorang melakukan kejahatan, ia tidaklah berbuat jahat terhadap Allah (dalam arti merugikan Allah) melainkan ia berbuat jahat terhadap dirinya sendiri; sebagaimana jika ia berbuat baik, maka ia tidaklah berbuat untuk kebaikan Allah, melainkan untuk dirinya sendiri (Qs. Al-Baqarah ayat 57, “dan tidaklah mereka menganiaya (berbuat dzalim) kepada Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”

Rasulullah bersabda, “Jauhilah dosa, sebab dosa itu adalah kegalapan di Hari Kiamat.” Seseorang memang tidak bisa bersih sama sekali dari kelalaian yang mungkin mengakibatkan dosa. Tapi selama ia masing ingat untuk kembali (taubat) kepada Allah, maka ia akan kembali tersinari (nurani). Yang sungguh celaka adalah kalau orang berbuat dosa dan ia selalu tidak merasakannya.


Kekejaman Kemanusiaan

Sebagai makhluk mulia manusia diberi beberapa hak oleh Allah yang harus dijaga dan dihiormati, diantaranya adalah hak untuk hidup. Sewaktu haji Wada’, dari atas ontanya yang berdiri di Namirah dekat bukit Arafah, Nabi Muhammad SAW berwasiat, “Wahai manusia, tahukah kamu hari apa ini?” “Inilah hari yang suci.” “Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Bulan apakah ini?” “Bulan yang suci.” Demikian pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Nabi. Kemudian Nabi melanjutkan khutbahnya, “Sesungguhnya darah (nyawa) kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian sama sucinya seperti hari ini, negeri ini dan bulan ini. Sesungguhnya umat Islam itu bersaudara, tidak boleh ditumpahkan darahnya. Tuhan kalian satu, bapak kalian adalah Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling taqwa. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, kecuali karena taqwanya.”

Inilah prinsip yang ditekankan oleh Nabi yakni hak hidup (dima’), hak milik (amwal) dan hak kehormatan (a’radl) manusia. Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa ayat 93 yang artinya, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” Ayat ini menunjukkan betapa pembunuhan adalah perbuatan dosa yang besar. Sedang dalam ayat 92, Allah menyatakan, “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).” Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya menulis bahwa ayat ini mengandung makna “tidak ada wujudnya seorang mukmin membunuh mukmin yang lain.” Yakni tidak mungkin dapat menyatu keimanan dengan pembunuhan.

Maka jika ada orang yang dikenali sebelumnya sebagai orang beriman menjadi pelaku pembunuhan tentulah keimanannya itu sekadar kamuflase. Karenanya, pertama, marilah kita senantiasa menjaga kehidupan ini dengan selalu menjaga kebersihan hati. Hati yang tersinari oleh cahaya Allah, hati nurani. Hati nurani akan selalu berkata benar dan jujur kepada kita. Sastrawan Prancis, Eugene Ionesco mengatakan, “Jika suara hati seseorang berbisik, biasanya itu merupakan tanda bahwa orang itu telah melakukan hal yang jelek.”

Kedua, bagaimanapun keadaan kita sekarang ini, jangan sampai terjadi pembunuhan (tanpa alasan yang dibenarkan). Karena ia adalah sebuah kekejaman kemanusiaan yang sangat buruk. Masyarakat tidak boleh mudah terpengaruh oleh berita-berita yang mungkin sengaja disebarkan orang tertentu untuk memperkeruh keadaan atau menakut-nakuti masyarakat. Dengan hati yang jernih, semoga berita-berita buruk yang kini mengharu-biru perasaan kita tak akan menggoyahkan keteguhan iman dan akal sehat kita. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

0 komentar