Oleh : Zainul Arifin *)

Pada hari Jum’at terakhir pada bulan Sya’ban 1429 H yang lalu, seorang khatib di sebuah masjid menyampaikan khotbah seputar (akan) kehadiran bulan Ramadhan 1429 H ini. Secara umum isi khotbah yang disampaikannya cukup baik dan menghasung kaum muslimin untuk bersemangat menyambut Ramadhan. Hanya saja tatkala ia mengutip satu hadis yang menjadi landasan bagaimana kita seharusnya berpuasa Ramadhan dan implikasi yang dihasilkannya, ia mengutip hadis yang lemah (dha’if).

Hadis dimaksud adalah, ”Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan (pengharapan akan ridlo Allah) semata, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Benarkah hadis ini lemah?

Sekilas tampak bahwa hadis ini adalah hadis yang sudah sangat populer dan bahkan seringkali dianggap diriwayatkan atau ditakhrij oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga dijamin kesahihannya. Namun jika kita teliti sedikit seksama, maka hal yang menjadikannya lemah adalah adanya tambahan kalimat ”yang akan datang” (maa taakhkhara).

Dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim hadis yang menyatakan pengampunan dosa-dosa karena pelaksanaan puasa Ramadhan adalah ”dosa-dosa yang telah lampau” (ma taqaddama min dzambih). Tidak ada tambahan ”ma taakhkhara” (dosa yang akan datang). Perawi lain yang mentakhrij hadis serupa dengan berbagai variasi jalur sanad, yang dianggap hadisnya shahih, mencukupkan sampai ”min dzambih” pula. Kalaulah ada sambungannya, termasuk dalam beberapa hadis riwayat Al Bukhari dan Muslim antara lain adalah dikaitkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawal.

Jika kita telusuri maka ”hadis” yang memakai tambahan ”ma taakhkhara” terdapat misalnya pada kitab ”Sunan An-Nasaai” karya Imam An Nasaai. Kritikus hadis Nashiruddin Al Albani menyatakan bahwa hadis ini dha’if (lemah) karena terdapat sanad yang terputus (munqathi’) dan majhul (tidak dikenal). Begitu pula hadis yang menghubungkan penghapusan dosa karena puasa pada bulan Ramadhan akan bersih ”seperti tatkala ia baru dilahirkan oleh ibunya” adalah juga dha’if.

Apakah penelaahan ini penting? Tergantung pada sikap masing-masing orang. Namun jika hadis-hadis lemah yang contohnya kita kutip di atas terus saja dipopulerkan akan ada dua implikasi negatif. Pertama, menurut para ulama, adalah tidak dibenarkan mengutip atau menyebar-nyebarkan hadis dha’if kecuali untuk dijelaskan kedha’ifannya. Hal ini bisa serius karena berarti orang tersebut menyebarkan ”kabar bohong” atau kabar yang aslinya tidak berasal dari Rasulullah Saw.

Kedua, apakah benar bahwa dengan puasa Ramadhan, dosa-dosa kita yang akan datang terampuni? Bagaimana hal itu dapat terjadi padahal peristiwanya belum berlangsung? Katakanlah kita berpuasa Ramadhan tahun 1429 H ini dengan baik, apakah itu berarti selepas bulan Ramadhan nanti jika kita berbuat salah, baik kepada Allah atau kepada manusia, tidak akan merupakan sebuah dosa karena telah terampuni tatkala kita berpuasa Ramadhan sebelumnya? Jika hal ini benar, tentu akan memberi peluang orang berbuat kesalahan tanpa merasa berdosa, suatu hal yang mendatangkan dampak negatif amat serius.

Mungkin ada orang yang tidak sepakat dengan persepsi di atas dan akan menjelaskan persepsinya yang lain. Namun hal itu menjadi tidak terlalu penting karena apa yang didiskusikan bukanlah sebuah hadis yang shahih. Dan hadis dha’if memang akan selalu mengundang perdebatan, karena yang shahih pun seringkali ada orang yang masih menggugatnya.

Dengan demikian maka landasan asasi dalam kita melaksanakan puasa Ramadhan adalah semata-mata karena keimanan dan penuh perhitungan (penuh pengharapan akan ridha Allah) yang akan membawa kita pada pengampunan dosa-dosa kecil (ash-shaghaair) kita yang telah lampau. Pelaksanakan puasa sepenuh iman dan pengharapan ridha Allah berarti kita melaksanakan puasa dengan memenuhi seluruh tuntunan syar’inya dan tidak merusak dengan hal-hal yang dilarang-Nya, baik secara ”fisik” maupun substantif.

Ramadhan 1429 H ini secara kebetulan berada pada masa hiruk-pikuk politik baik lokal Kalimantan Barat maupun nasional. Di beberapa daerah Kabupaten dan Kota di Kalimantan Barat akan diselenggarakan Pilkada, yang meski secara resmi belum dimulai masa kampanye namun seringkali “trik” politik memanfaatkan momen berkumpulnya banyak orang, misalnya pada waktu shalat Tarawih, ceramah Subuh, berbuka puasa, untuk interest tertentu yang menurut pandangan awam di luar ibadah. Soal niat memang hanya diketahui yang bersangkutan dan Allah saja. Namun kehati-hatian memelihara keihlasan beribadah tentu harus dijunjung tinggi. Allahu a’lam.

*)Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Sumber : Mutiara Ramadhan 1429 H (Pontianak Post)

0 komentar