Oleh : Zainul Arifin*
Barangkali tidak begitu kita rasakan, ternyata saat ini kita telah berada di paruh kedua bulan Ramadhan. Bahkan saat ini kita berada di seputaran tanggal 17 Ramadhan, tanggal yang dianggap sebagai permulaan ayat al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad Saw. Itulah hari yang kita sebut sebagai Nuzul al-Qur’an.
Suatu hari istimewa bagi Muhammad yang saat itu sedang bertahannus (bersendiri untuk merenung) di Gua Hira. Bulan Ramadhan memang dinyatakan oleh Allah sebagai bulan di mana al-Qur’an diturunkan, namun tidak ada keterangan pasti pada tanggal berapa.
Firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 185 menyatakan, (artinya) “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil) ... dst.” Meski dalam ayat itu Allah memakai kata “nuzul” yang berarti ‘turun’ namun al-Zurqani sebagaimana dikutip Prof. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya “Islam Masa Kini”, menyatakan cenderung mengkonotasikan kata-kata nuzul atau nazala untuk al-Qur’an dengan pengertian majazi (kiasan), yaitu al-I’lam (pemberitahuan). Maka ungkapan Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Saw, harus diartikan Allah memberitahukan al-Qur’an kepada Nabi Saw.

Dalam Bahasa Arab, nazala memiliki dua arti. Pertama, nazala berarti singgah atau menempati, seperti ungkapan nazala al-amir al-madinah (kepala negara itu singgah di kota). Kedua, nazala berarti berjalan dari atas ke bawah (turun). Seperti ungkapan, nazala Ahmad min al-jabal (Ahmad berjalan dari atas ke bawah gunung). Menurut al-Zurqani, kedua pengertian di atas tidak layak diterapkan pada al-Qur’an. Karena pengertian singgah ataupun berjalan dari atas ke bawah hanya dapat dilakukan oleh sesuatu yang bersifat material, sementara al-Qur’an sebagai firman Allah bukanlah sesuatu yang material.

Sementara tanggal 17 Ramadhan populer sebagai awal Nuzul al-Qur’an adalah buah analisis sejarahwan Islam Ibnu Ishaq (wafat 150 H) yang menyandarkan argumennya pada firman Allah dalam Qs. Al-Anfal ayat 41, (artinya) “... Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.”

Furqaan ialah pemisah antara yang haq dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di peperangan Badar, pada hari Jum'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. Ibn Ishaq berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al-Quran al-Karim pada malam 17 Ramadhan, meski tahunnya tidak sama. Pendapat Ibn Ishaq ini kemudian dikutip oleh Muhammad al-Khudori dalam ‘Tarikh Tasyri’ al-Islami’ yang sangat populer di Indonesia, sehingga melembagalah perhitungan 17 Ramadhan sebagai awal turunnya Al-Qur’an.

Prof. Mustafa Yaqub sendiri mencoba memverifikasi pendapat Ibn Ishaq dan hadis-hadis yang berkenaan dengan Nuzul al-Qur’an dan mendapati tiga buah hadis yang saling melengkapi sehingga berderajat hasan lighairihi (baik karena dukungan yang lain) yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan pada hari keduapuluh empat bulan Ramadhan.

Diluar perdebatan soal ketepatan tanggal Nuzul al-Qur’an, yang jelas bulan Ramadhan dipilih sebagai bulan turunnya al-Qur’an mengimplikasikan bahwa Ramadhan adalah bulan yang mulia. Prof. Quraish Shihab menyatakan, al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan mengisyaratkan bahwa sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an selama bulan Ramadhan dan yang mempelajarinya diharapkan dapat memperoleh petunjuk serta memahami dan menerapkan penjelasan-penjelasannya, karena orang tersebut pada bulan Ramadhan sedang membersihkan hatinya dan jiwanya sedemikian cerah, pikirannya jernih, sehingga akan memperoleh kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil.

Sedang al-Furqaan adalah ilmu yang benar dan hukum yang haq tentang suatu perkara. Atau yang biasa disebut sebagai tolok ukur. Landasan tolok ukur ini tentu saja al-Qur’an dan Hadis, baik dalam bentuk hukum maupun etika/moral. Orang yang dikaruniai al-Furqaan tidak mendahulukan hukum dan mengabaikan moralitas, atau mengutamakan etika dan mengabaikan kebenaran hukumnya.

Rasyid Ridla menyatakan bahwa al-Furqaan juga bermakna sebagai an-Nuur, cahaya. Sehingga orang yang takwa (sebagai tujuan puasa Ramadhan) harus mencerminkan sikap an-Nuur, cahaya dalam setiap aspek kehidupannya.

Pertanyaannya, sebegitu jauh kita telah berpuasa Ramadhan, sudahkah kita menangkap makna al-Furqaan dalam hidup kita dan sudahkah kita menjadi an-Nuur, cahaya bagi orang-orang di sekitar kita? Nuzul al-Qur’an semoga bukan sekadar sebuah perayaan peringatan yang melengkapi kemeriahan bulan Ramadhan. Allahu a’lam.


Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Mengikuti tahapan peradaban versi Alvin Toffler dalam bukunya “Gelombang Ketiga” dan “Kejutan Masa Depan”, saat ini sebagian besar warga dunia berada dalam tahap Peradaban Informasi, dimana informasi dan komunikasi cepat menjadi kebutuhan sangat penting bagi masyarakat. Komputer yang masa awalnya sebesar almari kini telah dapat hadir di mana saja, di atas pangkuan kita (laptop) atau dalam genggaman tangan (palmtop/PDA).
Radio transistor yang awal kelahirannya menggunakan tabung-tabung gelas aneka ukuran, kini menjadi lebih simpel, lebih kecil bahkan terintegrasi dengan fasilitas lain semisal pemutar kaset/CD/VCD di mobil dan hand phone (HP) sehingga dapat didengar di mana saja. Dalam keadaan demikian, informasi dan akses komunikasi cepat menjadi satu kebutuhan yang telah menempati “jantung” kehidupan masyarakat modern. Begitu dominannya kebutuhan informasi ini, orang yang kehilangan alat informasi dan komunikasi seolah-olah kehilangan “sebahagian nyawa hidupnya”.

Sesungguhnya yang membuat alat komunikasi dan penerima informasi itu menjadi sangat penting bukanlah harga bendanya, namun kegunaan dan data yang mungkin tersimpan di dalamnya. Sebuah laptop yang mahal di tangan masyarakat Gelombang Pertama, misalnya yang masih menghuni di pedesaan terpencil atau daerah terisolir, tidaklah berarti apa-apa. Ia mungkin hanya akan dijadikan alas memotong sayur atau mengiris bawang merah. Namun bagi masyarakat Gelombang Ketiga, laptop itu dapat berharga tiga kali lipat lebih mahal dibanding harga beli barangnya. Maka tak heran jika orang kehilangan laptop yang disesali adalah hilangnya data yang sangat berarti baginya.

Keadaan serupa di atas berlaku pula dengan dunia hand phone (HP/hape). Revolusi telepon dari fixed (tetap/rumahan) menjadi mobile (bergerak) sangat membantu kita dalam hal informasi dan komunikasi. Dengan hape, kita dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang kita perlukan tanpa kerepotan mencari wartel seperti waktu yang lalu. Dengan hape, kita dapat berkomunikasi oral (lisan) dan verbal lewat Short Massage Service (SMS) bahkan dengan gambar dan video. Kecanggihan hasil teknologi ini menolong mempermudah kehidupan kita. Prof. M. Quraish Shihab bilang, dengan agama hidup menjadi terarah, dengan teknologi hidup menjadi lebih mudah. Seiring banyaknya perusahaan pembuat hape dan operator jaringan komunikasi, harga di pasaran pun kian murah. Tak heran jika anak-anak SD, tukang becak, penjaja sayur pun asyik berhape ria.


SMS Dakwah dan SMS ‘Dukun’

Kehebohan ini dalam pandangan para da’i dan muballigh adalah peluang untuk berdakwah. Toh metode dakwah bukan ceramah belaka. Maka bersyukur atas berkah teknologi hape, dikombinasikan dengan software komputer, muncullah siaran dakwah lewat hape, baik dengan SMS atau lisan yang dapat disiarkan pula langsung lewat siaran radio. Di tataran nasional, layanan dakwah lewat SMS berlangganan diawali oleh KH Abdullah Gymnastiar, Ikhsan Tanjung, Didin Hafiduddin dan Arifin Ilham. Masyarakat yang berminat dapat memilih salah satu ustadz atau borongan dengan mendaftar (REG) ke operator, cukup dengan mengetik kode yang ditunjukkan lewat iklan dan mengirim ke nomor yang dituju. Tak lama kemudian, ia akan menerima konfirmasi registrasi dan akan segera mendapat siraman ruhani setiap hari. Bukan hanya siraman ruhani, dengan fasilitas hape, kita dapat pula minta do’a, pilihan ayat al-Qur’an ataupun hadis-hadis yang telah masuk dalam database penyedia layanan dakwah SMS ini. Inilah salah satu berkah teknologi dalam menolong mempermudah penyebaran dakwah Islam kepada masyarakat. Kini layanan SMS dakwah sudah meluas sampai di daerah-daerah dengan pelayanan dari da’i atau muballigh setempat. Alhamdulillah.

Namun rupanya layanan SMS bukan hanya dilirik da’i untuk berdakwah. Ia pun dilirik para penipu untuk mencari mangsa kepada warga masyarakat yang tidak cukup cerdas dan waspada. Yang tak mau ketinggalan adalah para paranormal, cenayang, peramal dan ‘dukun’. Dulu orang datang kepada mereka, sekarang mereka yang datang kepada masyarakat lewat hape dengan cara berlangganan. Sebagian para paranormal, cenayang dan peramal itu beriklan di media massa dan meminta pemirsa berlangganan ramalan hidupnya dengan cara mengirim nama atau nomor hape (maksudnya sim card) kita. Begitu pun yang ingin tahu ramalan hidupnya melalui astrologi atau zodiac, ada layanannya pula.

Jadi selain ada SMS dakwah, ada pula SMS “perdukunan” modern. Inilah yang disebut peperangan via SMS. Padahal dalam Islam perihal perdukunan dan peramalan hidup adalah perkara yang besar. Sebab ia dapat mengotori keimanan seseorang dan menggoyahkan ketaqwaannya kepada Allah Swt. Dalam hadis diriwayatkan, ”Dari Hafshah, dia berkata, bersabda Rasulullah SAW, ”Barang siapa mendatangi dukun peramal dan bertanya tentang sesuatu maka shalatnya selama empat puluh malam, tidak akan diterima’.” (HR. Muslim). Dalam redaksi yang lain, dari Shafiyah binti Abi ’Ubaid (istri Nabi), Nabi bersabda, ”Barang siapa mendatangi dukun peramal dan bertanya tentang sesuatu kemudian ia membenarkannya maka shalatnya selama empat puluh hari tidak akan diterima’.” (HR. Muslim). Kedua hadis di atas adalah shahih. Banyak lagi hadis semakna yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Hakim, Baihaqi, Thabrani.

Dalam hadis shahih yang dikeluarkan Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibn Majah diriwayatkan, ”Dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah SAW bersabda, ’Ramalan mujur-sial adalah syirik (Rasul mengulanginya tiga kali) dan tiap orang pasti terlintas dalam hatinya perasaan demikian, tetapi Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakkal’.”

Pada zaman dahulu orang menemui dukun dan peramal dengan datang bertatap muka, kini menemui dan berbicara dengan dukun dan peramal dapat dilakukan jarak jauh dan berlangganan dengan fasilitas SMS. Essensinya sama dan hukumnya pun sama. Yakni haram dan berdosa. Tentu ada orang yang berkilah bahwa bertanya ramalan lewat SMS hanya iseng, namun hal itu terjawab dengan hadis riwayat al-Bukhari di atas. Bahwa setiap orang dapat terlintas untuk mengetahui nasib hidupnya, baik iseng atau sungguh-sungguh. Karena hal itu dapat menggoyahkan iman, maka ia sangat dilarang, dan Allah menegaskan agar kita bertawakkal kepada-Nya. Allahu a’lam.


Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin*

Di zaman informasi seperti sekarang ini, tak pelak berita-berita dari manapun mudah diakses. Berita datang silih berganti dengan beraneka isi. Sampai-sampai ada yang menjadi bingung, bimbang, takut, gelisah, sesungguhnya apa yang sedang terjadi di dunia atau negeri kita ini.

Lantaran informasi datang dari berbagai saluran, kita di sini menjadi tahu bahwa di daerah tertentu terus terjadi pergolakan (di Maluku Utara, misalnya). Berita tentang kerusuhan, pembunuhan dan berita-berita belum terbukti menghujani kita setiap saat, membikin kita limbung, seolah negeri ini memang sedang kacau balau. Hal itu dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, was-was, yang dalam skala tertentu dapat memunculkan gejala-gejala penyakit kejiwaan.

Tampaknya dewasa ini kejahatan sedang bersimaharaja lela. Hal ini memang menimbulkan kecemasan masyarakat. Pembunuhan terjadi seolah tak kenal tempat dan waktu. Bahkan dengan cara-cara yang sangat sadistis. Padahal pembunuhan adalah kejahatan kemanusiaan yang paling besar. Masyarakat Arab pra-Islam dibilang Jahiliyah antara lain karena pembunuhan dianggap hal yang biasa. Kehancuran bangsa-bangsa terdahulu salah satu penyebabnya adalah bersimaharaja lelanya pembunuhan sedang orang-orang tak kuasa menghentikannya. Bila kejahatan terus berjalan maka kegelapan akan segera tiba.

Dalam bahasa agama, kejahatan disebut sebagai dosa, lawan dari pahala. Menganut agama hampir mustahil tanpa menerima dan menghayati konsep pahala dan dosa ini. Apalagi jika agama itu berpusat kepada keimanan kepada Allah yang menghendaki perbuatan baik sebagai sarana pendekatan kepada-Nya. Allah berfirman dalam Qs. Al-Kahfi ayat 110 yang artinya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Al-Qur’an banyak menggunakan kata “dzulm” untuk kejahatan atau dosa. Dan pelakunya “dzalim” (atau lalim dalam Bhs. Indonesia). Dari segi bahasa, dzulm arinya gelap (dzulmatun berarti gelap gulita), karena memang kejahatan itu menimbulkan kegelapan hati. Dan dhalim berarti orang yang melakukan kegelapan. Makna ini berhimpitan dengan konsep lain dalam agama tentang hakikat hati sebagai “hati nurani”. Nurani berarti ‘bersifat nur’ atau ‘cahaya’. Karena hati kita bersifat menerangi jalan hidup kita dan merupakan hidayah asli dari Allah. Hati akan tetap terang atau ‘nurani’ selama seseorang tidak melakukan kejahatan yang akan membuat hati bersifat gelap (dzulmani). Oleh karenanya, dikatakan dalam Al-Qur’an bahwa jika seseorang melakukan kejahatan, ia tidaklah berbuat jahat terhadap Allah (dalam arti merugikan Allah) melainkan ia berbuat jahat terhadap dirinya sendiri; sebagaimana jika ia berbuat baik, maka ia tidaklah berbuat untuk kebaikan Allah, melainkan untuk dirinya sendiri (Qs. Al-Baqarah ayat 57, “dan tidaklah mereka menganiaya (berbuat dzalim) kepada Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.”

Rasulullah bersabda, “Jauhilah dosa, sebab dosa itu adalah kegalapan di Hari Kiamat.” Seseorang memang tidak bisa bersih sama sekali dari kelalaian yang mungkin mengakibatkan dosa. Tapi selama ia masing ingat untuk kembali (taubat) kepada Allah, maka ia akan kembali tersinari (nurani). Yang sungguh celaka adalah kalau orang berbuat dosa dan ia selalu tidak merasakannya.


Kekejaman Kemanusiaan

Sebagai makhluk mulia manusia diberi beberapa hak oleh Allah yang harus dijaga dan dihiormati, diantaranya adalah hak untuk hidup. Sewaktu haji Wada’, dari atas ontanya yang berdiri di Namirah dekat bukit Arafah, Nabi Muhammad SAW berwasiat, “Wahai manusia, tahukah kamu hari apa ini?” “Inilah hari yang suci.” “Negeri apakah ini?” “Negeri yang suci.” “Bulan apakah ini?” “Bulan yang suci.” Demikian pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Nabi. Kemudian Nabi melanjutkan khutbahnya, “Sesungguhnya darah (nyawa) kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian sama sucinya seperti hari ini, negeri ini dan bulan ini. Sesungguhnya umat Islam itu bersaudara, tidak boleh ditumpahkan darahnya. Tuhan kalian satu, bapak kalian adalah Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling taqwa. Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab, kecuali karena taqwanya.”

Inilah prinsip yang ditekankan oleh Nabi yakni hak hidup (dima’), hak milik (amwal) dan hak kehormatan (a’radl) manusia. Allah berfirman dalam Qs. An-Nisa ayat 93 yang artinya, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” Ayat ini menunjukkan betapa pembunuhan adalah perbuatan dosa yang besar. Sedang dalam ayat 92, Allah menyatakan, “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).” Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya menulis bahwa ayat ini mengandung makna “tidak ada wujudnya seorang mukmin membunuh mukmin yang lain.” Yakni tidak mungkin dapat menyatu keimanan dengan pembunuhan.

Maka jika ada orang yang dikenali sebelumnya sebagai orang beriman menjadi pelaku pembunuhan tentulah keimanannya itu sekadar kamuflase. Karenanya, pertama, marilah kita senantiasa menjaga kehidupan ini dengan selalu menjaga kebersihan hati. Hati yang tersinari oleh cahaya Allah, hati nurani. Hati nurani akan selalu berkata benar dan jujur kepada kita. Sastrawan Prancis, Eugene Ionesco mengatakan, “Jika suara hati seseorang berbisik, biasanya itu merupakan tanda bahwa orang itu telah melakukan hal yang jelek.”

Kedua, bagaimanapun keadaan kita sekarang ini, jangan sampai terjadi pembunuhan (tanpa alasan yang dibenarkan). Karena ia adalah sebuah kekejaman kemanusiaan yang sangat buruk. Masyarakat tidak boleh mudah terpengaruh oleh berita-berita yang mungkin sengaja disebarkan orang tertentu untuk memperkeruh keadaan atau menakut-nakuti masyarakat. Dengan hati yang jernih, semoga berita-berita buruk yang kini mengharu-biru perasaan kita tak akan menggoyahkan keteguhan iman dan akal sehat kita. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin

Pada suatu hari Rasalullah SAW mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. Nabi mengambil makanan dan berkata kepadanya, ”Makanlah!”

Perempuan itu berkata, ”Saya sedang berpuasa ya, Rasululllah.”

Kata Nabi, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa, padahal telah kau maki jariyah-mu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah telah menjadikan puasa sebagai penghalang – selain dari makan dan minum – juga dari hal-hal tercela, perbuatan atau perkataan yang merusak puasa. Alanglah sedikitnya yang puasa, alangkah banyaknya yang lapar.”

Tatkala kita melaksanakan puasa Ramadhan, sejatinya kita sedang melaksanakan dua hal : pertama, menahan diri dari segala sesuatu yang merusak, kedua, bahwa kita melakukan hal itu adalah dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Al-imsak ‘anil-mufthirat al-ma’hudat bi qashdi qurbah). Demikian definisi puasa menurut para ahli fiqh.

Dalam definisi itu terkandung kata al-imsak, yang dalam Bahasa Arab dapat berhubungan dengan kata ‘an atau dengan bi. Bila berhubungan dengan ‘an (imsak ‘an) maka ia berarti menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Sedang bila berhubungan dengan bi (imsak bi) maka ia bermakna berpegang teguh kepada sesuatu yang dijadikan gantungan atau pegangan. Dalam Qs. Al Baqarah : 256 dinyatakan bahwa barang siapa yang ingkar kepada Thaghut (syaitan) dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang teguh (istamsaka bi) kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.

Orang yang berimsak bi – berpegang teguh kepada Allah SWT – maka seharusnya ia berimsak ‘an – menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT, baik dalam puasa maupun di luar puasa. Pokoknya dalam seluruh kehidupannya di dunia. Sedang orang yang berimsak ‘an, belum tentu berimsak bi. Karena ia menahan diri dari melakukan sesuatu bukan karena Allah SWT tapi sekadar untuk menyenangkan orang lain, atau maksud-maksud duniawi semata. Pokoknya diluar kepatuhan kepada Allah SWT. Oleh karenanya tidak heran jika suatu ketika ia dapat menahan diri di saat lain tidak. Contoh : di traffic light, orang yang patuh akan berhenti saat lampu merah menyala karena disiplin berlalu lintas, bukan karena takut pada polisi. Tapi orang yang tidak patuh, maka tatkala tidak ada polisi, meski lampu traffic light menyala merah, ia akan menerabasnya. Sedang kalau ada polisi, ia akan pura-pura patuh.

Orang berpuasa Ramadhan menyadari bahwa ia harus berimsak bi dan berimsak ‘an. Maka meski di saat sepi tidak ada orang selain dirinya, ia tidak akan membatalkan puasanya dengan makan minum atau melakukan hal lain yang merusak nilai puasanya. Orang yang berimsak bi (berpegang teguh kepada tali Allah) dalam kehidupannya maka ia tak punya pilihan lain kecuali untuk melakukan hal-hal yang baik. Ia akan menahan diri dari korupsi, karena ia teguh dengan keimanannya. Bukan karena takut diperiksa KPK atau BPK. Ia tidak akan mencuri bukan karena tidak ada kesempatan, atau karena bernyali ciut, tapi karena ia tahu mencuri dilarang oleh agama.

Dengan berpuasa Ramadhan sesungguhnya kita juga sedang menegaskan kembali pernyataan kita, permohonan kita kepada Allah untuk diberi atau ditunjukkan jalan yang lurus (ihdina ash-shiraat al-mustaqiim) seperti yang tercantum dalam Qs. Al-Fatihah. Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya menyatakan bahwa shirat bagaikan jalan tol. Kita tidak dapat lagi keluar atau tersesat setelah memasukinya. Bila memasukinya, kita telah ditelan olehnya dan tidak dapat keluar kecuali setelah tiba pada akhir tujuan perjalanan. Sedang dalam pengertian lebih sederhana, jalan lurus, seperti juga garis lurus, adalah jalan atau garis yang paling cepat menghubungkan dua titik. Demikian halnya dengan puasa Ramadhan. Agar puasa Ramadhan kita dapat benar-benar menyampaikan kepada derajat muttaqin, maka kita harus lurus dan jujur mengikuti aturan yang ada, baik yang fisik maupun yang non-fisik. Ini jika kita benar-benar berpuasa lantaran berpegang teguh kepada ajaran Allah Swt.

Di dunia ini, ada orang yang tidak imsak ‘an dan imsak bi. Ia tidak dapat menahan diri dan tidak pula punya pegangan dalam mengarahkan kehidupannya. Orang ini hidup dalam kehampaan makna (nihilis). Dalam ekspresi sehari-hari dapat berupa pemujaan kepada kesenangan duniawi semata dan tidak percaya adanya kehidupan akhirat (sikap hidup hedonistic) dan sikap pragmatis (lebih mementingkan hasil dan tidak menghargai proses). Di dunia ia meniti jalan yang berkelok-kelok, mungkin juga jalan yang sempit dan berdesak-desakan (sabil – menurut Quraish). Ia mungkin saja akan sampai ke tujuan hidupnya namun waktu tempuhnya menjadi lama, atau bahkan bisa-bisa tersesat dan tidak menemui tujuan akhir perjalananya yang hakiki.

Puasa Ramadhan melatih kaum muslim mencerahkan ruhani dan akal budinya. Dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang merusak dan semua itu dilakukan semata karena mengharap ridlo dari Allah SWT. Dengan berpuasa, kita mengembalikan harkat kemanusiaan kita yang lebih mulia dari segala yang ada di dunia ini sebagai makhluk ciptaan Allah. Kitalah yang mengendalikan harta, bukan harta mengendalikan kita. Kitalah yang mengendalikan makanan, bukan makanan yang mengendalikan kita. Kita kembalikan jalan hidup kita ke jalan yang sebenarnya. Ash-shiraat al-mustaqiim. Insya Allah.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Selengkapnya ......

Oleh : Media Aprilyanti *)

Setiap memasuki bulan Ramadhan, kita senantiasa diajak bergembira menyambutnya. Orang-orang yang masih hidup hingga bulan Ramadhan dianggap sebagai orang-orang yang berbahagia lantaran masih bertemu dengan bulan yang penuh berkah dan ampunan dari Allah. Sampai-sampai konon ada hadis yang menyatakan bahwa “barangsiapa bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan maka diharamkan tubuhnya disentuh api neraka”.

Dikatakan konon, karena hadis ini tidak diketahui sanad dan pentakhrijnya sehingga diduga kuat sebagai hadis palsu (maudhu’). Andai pun benar, benarkah Anda merasakan hal demikian? Apakah ada perasaan suka cita dalam diri Anda tatkala Ramadhan mulai menjelang? Jangan-jangan tidak. Siapa tahu perasaan Anda sebetulnya malahan susah lantaran memikirkan akan mengalami haus dan lapar di siang hari. Merasa susah karena harus menahan diri dari obrolan yang tidak perlu padahal kebiasaan itu bagi Anda mungkin susah dihindari. Termasuk bergunjing atau ghibah yang sudah menjadi “tradisi” di masyarakat hatta ke televisi.

Kalau benar demikian, mungkin ada yang salah dalam diri kita. Yakni kita menerima peribadatan dalam Islam sebagai hal yang memberatkan dan penuh larangan. Padahal bila kita meninjaunya dengan pikiran positif, insya Allah ibadah-ibadah dalam agama kita terasa ringan dan menentramkan. Hal demikian tentu saja akan dirasakan oleh mereka yang beriman secara sungguh-sungguh dan ikhlas dalam beragama (mukhlishiina lahud diin). Bagi orang yang tidak ikhlas beragama, maka apapun yang dikehendaki agama akan terasa berat dan menyiksa. Orang demikian adalah yang paling mudah tergoda syetan dan tidak stabil imannya. Meski para ulama salaf, termasuk Imam Asy-Syafi’i dll, menyetujui bahwa iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang (al imaanu yaziidu wa yanqushu. Ungkapan ini menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Al Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dhaif, bukanlah hadis seperti sering disangka orang).

Memang benar bahwa seharusnya kaum muslimin yang bertemu kembali dengan Ramadhan itu adalah orang beruntung. Tetapi bagaimana agar keberuntungan itu betul-betul berpihak pada kita ? Kita tahu, bahwa persoalan Ramadhan bukan melulu soal berpuasa (shoum). Tetapi adalah juga persoalan bagaimana agar nilai puasa itu tidak runtuh dan puasa kita tidak hanya menuai haus dan lapar. Untuk itu ada baiknya kita merenungkan beberapa amalan keseharian yang ada kaitannya dengan ibadah shiyam kita.

Dalam sebuah hadis shahih dari Anas bin Malik diriwayatkan, “Rasulullah Saw menaiki mimbar (untuk berkhotbah). Menginjak anak tangga (tingkat) pertama beliau mengucapkan, “Amin”, begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Seusai shalat para shahabat bertanya, “Mengapa Rasulullah mengucapkan ‘Amin’?” Beliau menjawab, ‘Malaikat Jibril datang dan berkata, ‘Kecewa dan merugi seorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucap shalawat atasmu” lalu aku berucap, “Amin”. Kemudian malaikat berkata lagi, “Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orangtuanya tetapi tidak sampai bisa masuk surga.” Lalu aku mengucap, “Amin.” Kemudian malaikat berkata lagi, “Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) apada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya.” Lalu aku mengucapkan “Amin.” (Ditakhrij oleh al-Bazzar, dan At-Thabrani dengan sanad dari Ka’b bin ‘Ajrah dalam Majma’ al-Zawaid)

Bila kita tilik rangkaian hadis di atas, ternyata shiyam tidak terpisahkan dari amalan-amalan lain yang seharusnya kita kerjakan. Bahkan secara tegas dinyatakan bahwa bisa saja orang-orang yang masih sempat ketemu Ramadhan hanya akan menemu kecewa dan merugi bila ternyata pada kesempatan itu tidak digunakannya untuk usaha menghapus dosa. Dari hadis ini kita lihat benang merah antara dua amalam di awal hadis dengan penutup hadis yakni soal puasa.

Pertama, dinyatakan bahwa orang akan kecewa dan merugi bila tatkala disebut nama Rasulullah Muhammad Saw dia ti­dak mengucap shalawat. Secara mudah bila ia tidak mengucap shalawat atas Nabi, maka ia telah mengabaikan pahala dan kebaikan yang terkandung dalam amalan itu. Secara agak dalam, orang Islam yang bila disebut nama Rasulullah Muhammad Saw, dia tidak mengucapkan shalawat maka orang ini dicap sebagai orang yang bakhil, kikir. Kalau untuk menguncapkan shalawat saja tidak mau, maka kita ti­dak dapat berharap banyak padanya untuk mau berinfaq dengan harta atau jiwa, padahal di bulan Ramadhan, misalnya, pahala berinfaq itu berlipat lebih banyak dari hari-hari biasa. Rasul bersabda, ”Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa maka dia memperoleh pahala (seperti orang berpuasa itu) dan pahala bagi yang (menerima makanan) berpuasa tidak dikurangi sedikitpun”. (Ditakhrij oleh At-Tirmizi dalam Sunan At-Tirmidzi, dengan sanad dari Hannad, Abdurrahim, Abdul Malik bin Abu Sulaiman, dari Atho’, dari zaid bin Khalid al-Juhany, shahih),

Dikaitkan dengan puasa, amalan pertama dalam hadis ini mensugesti kita untuk menjadi orang dermawan. Puasa akan menjadi lebih afdol bila ia membikin kita juga lebih bermurah hati. Ucapan shalawat adalah ekspresi kecintaan kita kepada Nabi. Sedangkan Nabi kita itu adalah orang yang sangat penyayang dan pemurah kepada sesamanya.

Amalan yang kedua adalah bahwa kita harus selalu berbakti ke­pada orangtua. Terlebih bila keduanya atau salah satu dari keduanya masih hidup, baik kita serumah dengan mereka atau terpisah. Dalam hadis ini digambarkan, orang akan rugi bila berkesempatan hidup bersama orangtua tapi tidak bisa memibikin dia masuk surga. Sebab orangtua adalah ladang amal bagi anak-anaknya. Orangtua mengajari kita beragama, beribadah, termasuk berpuasa Ramadhan dengan baik. Bahkan Nabi pernah menyuruh seorang pemuda untuk pulang dan tidak ikut berperang agar pemuda itu mengurus ibunya. Hadis ini menohok anak-anak dari mereka berdua yang dalam hidupnya tidak berbakti atau mengabaikan orangtua.

Sedang amalan ketiga, yakni puasa itu sendiri harus dilakukan sebaik-baiknya. Puasa tidak hanya dalam laku lahiriah tetapi juga dalam hal-hal yang lebih bersifat ruhaniah. Sebab bila sekedar yang lahiriah, menahan dari makan-mimum atau berhubungan suami-istri siang hari, menurut Rasul nilainya kurang. Kalau nilai puasa kita kurang, maka ia tidak dapat menebus dosa-dosa kita yang telah lalu. Orang demikian itulah yang dalam hadis tadi dinyatakan sebagai orang yang kecewa dan rugi. Ketemu Ramadhan, harus puasa, tidak tahunya tidak mendapat apa-apa. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung dengan ampunan dosa dari Allah di bulan Ramadhan ini. Allahu a’lam.

*)Penulis bekerja di STAIN Pontianak


Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin *)

Pada hari Jum’at terakhir pada bulan Sya’ban 1429 H yang lalu, seorang khatib di sebuah masjid menyampaikan khotbah seputar (akan) kehadiran bulan Ramadhan 1429 H ini. Secara umum isi khotbah yang disampaikannya cukup baik dan menghasung kaum muslimin untuk bersemangat menyambut Ramadhan. Hanya saja tatkala ia mengutip satu hadis yang menjadi landasan bagaimana kita seharusnya berpuasa Ramadhan dan implikasi yang dihasilkannya, ia mengutip hadis yang lemah (dha’if).

Hadis dimaksud adalah, ”Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan (pengharapan akan ridlo Allah) semata, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Benarkah hadis ini lemah?

Sekilas tampak bahwa hadis ini adalah hadis yang sudah sangat populer dan bahkan seringkali dianggap diriwayatkan atau ditakhrij oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sehingga dijamin kesahihannya. Namun jika kita teliti sedikit seksama, maka hal yang menjadikannya lemah adalah adanya tambahan kalimat ”yang akan datang” (maa taakhkhara).

Dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim hadis yang menyatakan pengampunan dosa-dosa karena pelaksanaan puasa Ramadhan adalah ”dosa-dosa yang telah lampau” (ma taqaddama min dzambih). Tidak ada tambahan ”ma taakhkhara” (dosa yang akan datang). Perawi lain yang mentakhrij hadis serupa dengan berbagai variasi jalur sanad, yang dianggap hadisnya shahih, mencukupkan sampai ”min dzambih” pula. Kalaulah ada sambungannya, termasuk dalam beberapa hadis riwayat Al Bukhari dan Muslim antara lain adalah dikaitkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawal.

Jika kita telusuri maka ”hadis” yang memakai tambahan ”ma taakhkhara” terdapat misalnya pada kitab ”Sunan An-Nasaai” karya Imam An Nasaai. Kritikus hadis Nashiruddin Al Albani menyatakan bahwa hadis ini dha’if (lemah) karena terdapat sanad yang terputus (munqathi’) dan majhul (tidak dikenal). Begitu pula hadis yang menghubungkan penghapusan dosa karena puasa pada bulan Ramadhan akan bersih ”seperti tatkala ia baru dilahirkan oleh ibunya” adalah juga dha’if.

Apakah penelaahan ini penting? Tergantung pada sikap masing-masing orang. Namun jika hadis-hadis lemah yang contohnya kita kutip di atas terus saja dipopulerkan akan ada dua implikasi negatif. Pertama, menurut para ulama, adalah tidak dibenarkan mengutip atau menyebar-nyebarkan hadis dha’if kecuali untuk dijelaskan kedha’ifannya. Hal ini bisa serius karena berarti orang tersebut menyebarkan ”kabar bohong” atau kabar yang aslinya tidak berasal dari Rasulullah Saw.

Kedua, apakah benar bahwa dengan puasa Ramadhan, dosa-dosa kita yang akan datang terampuni? Bagaimana hal itu dapat terjadi padahal peristiwanya belum berlangsung? Katakanlah kita berpuasa Ramadhan tahun 1429 H ini dengan baik, apakah itu berarti selepas bulan Ramadhan nanti jika kita berbuat salah, baik kepada Allah atau kepada manusia, tidak akan merupakan sebuah dosa karena telah terampuni tatkala kita berpuasa Ramadhan sebelumnya? Jika hal ini benar, tentu akan memberi peluang orang berbuat kesalahan tanpa merasa berdosa, suatu hal yang mendatangkan dampak negatif amat serius.

Mungkin ada orang yang tidak sepakat dengan persepsi di atas dan akan menjelaskan persepsinya yang lain. Namun hal itu menjadi tidak terlalu penting karena apa yang didiskusikan bukanlah sebuah hadis yang shahih. Dan hadis dha’if memang akan selalu mengundang perdebatan, karena yang shahih pun seringkali ada orang yang masih menggugatnya.

Dengan demikian maka landasan asasi dalam kita melaksanakan puasa Ramadhan adalah semata-mata karena keimanan dan penuh perhitungan (penuh pengharapan akan ridha Allah) yang akan membawa kita pada pengampunan dosa-dosa kecil (ash-shaghaair) kita yang telah lampau. Pelaksanakan puasa sepenuh iman dan pengharapan ridha Allah berarti kita melaksanakan puasa dengan memenuhi seluruh tuntunan syar’inya dan tidak merusak dengan hal-hal yang dilarang-Nya, baik secara ”fisik” maupun substantif.

Ramadhan 1429 H ini secara kebetulan berada pada masa hiruk-pikuk politik baik lokal Kalimantan Barat maupun nasional. Di beberapa daerah Kabupaten dan Kota di Kalimantan Barat akan diselenggarakan Pilkada, yang meski secara resmi belum dimulai masa kampanye namun seringkali “trik” politik memanfaatkan momen berkumpulnya banyak orang, misalnya pada waktu shalat Tarawih, ceramah Subuh, berbuka puasa, untuk interest tertentu yang menurut pandangan awam di luar ibadah. Soal niat memang hanya diketahui yang bersangkutan dan Allah saja. Namun kehati-hatian memelihara keihlasan beribadah tentu harus dijunjung tinggi. Allahu a’lam.

*)Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Sumber : Mutiara Ramadhan 1429 H (Pontianak Post)

Selengkapnya ......

Oleh : Zainul Arifin *)

Salah satu keistimewaan ibadah shoum atau puasa adalah banyak orang yang ingin melaksanakannya meski ibadah lain tidak dilaksanakannya. Sehingga pada suatu kesempatan ada seseorang yang bertanya, “Bila pada bulan Ramadhan seseorang berpuasa sedangkan diluar Ramadhan ia tidak melaksanakan ibadah lainnya, apakah dosa-dosanya akan diampuni?” Jawabannya bisa simple (sederhana) bisa panjang lebar.

Yang sederhana, bahwa hal itu menggambarkan tingkat keimanan atau keislaman orang tersebut masih lemah. Sedangkan Allah menghendaki seseorang muslim itu melaksanakan Islam secara kaaffah (totalitas). Maka bisa diduga bahwa ia berpuasa juga tidak sepenuh hati, sepenuh iman dan semata-mata mengharap ridla Allah, sebagaimana dituntut oleh hadis “Man shaama ramadhaana imanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzambih.” Jika demikian halnya tentu dosa-dosanya tidak terampuni meski ia ikut berpuasa.

Namun bila berpuasanya pada bulan Ramadhan, tahun ini misalnya, menjadi starting point perubahan sikap keberagamaannya dari tidak taat menjadi taat, dan berpuasa Ramadhan sesuai dengan tuntutan hadis di atas, insya Allah dosa-dosanya (yang kecil) akan diampuni oleh Allah.


Kini bulan Ramadhan datang lagi. Seperti waktu-waktu yang lalu, kita melaksanakan puasa dan amaliah Ramadhan lainnya. Yang menjadi pertanyaan : adakah perubahan yang cukup berarti (signifikan) selama dari puasa tahun lalu ke puasa tahun ini? Kalau tidak ada perubahan yang berarti, akankah kita saat ini berniat sungguh-sungguh melakukan perubahan ke arah yang lebih baik selagi melaksanakan puasa Ramadhan?

Orang yang melaksanakan puasa dengan baik, diketahui meningkatkan akal budi dan pikirannya menjadi lebih bijaksana, menjadi lebih filosofis. Dalam keadaan lapar dan haus, pemikiran orang meningkat dari hal-hal yang fisik menjadi lebih abstrak. Ia lebih mampu bertafakkur akan ayat-ayat Allah dibanding hari-hari lain di luar puasa. Maka tidak mengherankan kalau alim ulama dahulu adalah orang-orang yang kuat mengamalkan shoum di luar bulan Ramadhan terlebih lagi di bulan Ramadhan.

Jika sebagian besar orang yang melaksanakan shoum, baik Ramadhan atau di bulan lain dapat meningkatkan kualitas puasanya, dari sekadar fisik menjadi pembentuk mentalitas dan lebih filosofis, insya Allah kedamaian akan kian terasa. Orang tidak akan terbelenggu oleh gemerlap keduniaan, tetapi terpikat oleh enerji ketuhanan.

Puasa demikian hanya akan tercapai jika ia melaksanakan puasa Ramadhan ini berlandaskan keimanan – keterikatan kepada Allah SWT semata (tamassak billah) dengan cara menghindari hal-hal yang membatalkan puasa dan merusak pahalanya (imsak ’an). Hadis Nabi menyatakan, ”Barangsiapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan sempurna dan berkesinambungan berlandaskan iman dan pengharapan akan ridha Allah semata, maka akan diampuni dosa-dosa (kecil) nya yang telah lalu.”

Anak-anak kecil biarlah berpuasa semampunya. Yang penting, pemahaman keagamaannya kita tingkatkan. Bagi kita yang dewasa, puasa membuat hati dan pikiran kita lebih jernih. Enerji ketuhanan melimpah dalam sanubari kita. Kepekaan terhadap kehidupan kemanusiaan dan segala problematikanya lebih sensitif, sehingga kita tidak tega melihat banyak orang menderita kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan. Inilah puasa yang meningkat dari waktu ke waktu. Puasa yag tidak sekadar menjadikan kita lapar dan haus belaka. Insya Allah.


*) Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar

Sumber : Hikmah Ramadhan 1429 H (Equator)

Selengkapnya ......