Oleh : Zainul Arifin*
Barangkali tidak begitu kita rasakan, ternyata saat ini kita telah berada di paruh kedua bulan Ramadhan. Bahkan saat ini kita berada di seputaran tanggal 17 Ramadhan, tanggal yang dianggap sebagai permulaan ayat al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad Saw. Itulah hari yang kita sebut sebagai Nuzul al-Qur’an.
Selengkapnya ......
Suatu hari istimewa bagi Muhammad yang saat itu sedang bertahannus (bersendiri untuk merenung) di Gua Hira. Bulan Ramadhan memang dinyatakan oleh Allah sebagai bulan di mana al-Qur’an diturunkan, namun tidak ada keterangan pasti pada tanggal berapa.
Firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 185 menyatakan, (artinya) “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil) ... dst.” Meski dalam ayat itu Allah memakai kata “nuzul” yang berarti ‘turun’ namun al-Zurqani sebagaimana dikutip Prof. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya “Islam Masa Kini”, menyatakan cenderung mengkonotasikan kata-kata nuzul atau nazala untuk al-Qur’an dengan pengertian majazi (kiasan), yaitu al-I’lam (pemberitahuan). Maka ungkapan Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Saw, harus diartikan Allah memberitahukan al-Qur’an kepada Nabi Saw.
Dalam Bahasa Arab, nazala memiliki dua arti. Pertama, nazala berarti singgah atau menempati, seperti ungkapan nazala al-amir al-madinah (kepala negara itu singgah di kota). Kedua, nazala berarti berjalan dari atas ke bawah (turun). Seperti ungkapan, nazala Ahmad min al-jabal (Ahmad berjalan dari atas ke bawah gunung). Menurut al-Zurqani, kedua pengertian di atas tidak layak diterapkan pada al-Qur’an. Karena pengertian singgah ataupun berjalan dari atas ke bawah hanya dapat dilakukan oleh sesuatu yang bersifat material, sementara al-Qur’an sebagai firman Allah bukanlah sesuatu yang material.
Sementara tanggal 17 Ramadhan populer sebagai awal Nuzul al-Qur’an adalah buah analisis sejarahwan Islam Ibnu Ishaq (wafat 150 H) yang menyandarkan argumennya pada firman Allah dalam Qs. Al-Anfal ayat 41, (artinya) “... Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.”
Furqaan ialah pemisah antara yang haq dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di peperangan Badar, pada hari Jum'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. Ibn Ishaq berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al-Quran al-Karim pada malam 17 Ramadhan, meski tahunnya tidak sama. Pendapat Ibn Ishaq ini kemudian dikutip oleh Muhammad al-Khudori dalam ‘Tarikh Tasyri’ al-Islami’ yang sangat populer di Indonesia, sehingga melembagalah perhitungan 17 Ramadhan sebagai awal turunnya Al-Qur’an.
Prof. Mustafa Yaqub sendiri mencoba memverifikasi pendapat Ibn Ishaq dan hadis-hadis yang berkenaan dengan Nuzul al-Qur’an dan mendapati tiga buah hadis yang saling melengkapi sehingga berderajat hasan lighairihi (baik karena dukungan yang lain) yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan pada hari keduapuluh empat bulan Ramadhan.
Diluar perdebatan soal ketepatan tanggal Nuzul al-Qur’an, yang jelas bulan Ramadhan dipilih sebagai bulan turunnya al-Qur’an mengimplikasikan bahwa Ramadhan adalah bulan yang mulia. Prof. Quraish Shihab menyatakan, al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan mengisyaratkan bahwa sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an selama bulan Ramadhan dan yang mempelajarinya diharapkan dapat memperoleh petunjuk serta memahami dan menerapkan penjelasan-penjelasannya, karena orang tersebut pada bulan Ramadhan sedang membersihkan hatinya dan jiwanya sedemikian cerah, pikirannya jernih, sehingga akan memperoleh kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil.
Sedang al-Furqaan adalah ilmu yang benar dan hukum yang haq tentang suatu perkara. Atau yang biasa disebut sebagai tolok ukur. Landasan tolok ukur ini tentu saja al-Qur’an dan Hadis, baik dalam bentuk hukum maupun etika/moral. Orang yang dikaruniai al-Furqaan tidak mendahulukan hukum dan mengabaikan moralitas, atau mengutamakan etika dan mengabaikan kebenaran hukumnya.
Rasyid Ridla menyatakan bahwa al-Furqaan juga bermakna sebagai an-Nuur, cahaya. Sehingga orang yang takwa (sebagai tujuan puasa Ramadhan) harus mencerminkan sikap an-Nuur, cahaya dalam setiap aspek kehidupannya.
Pertanyaannya, sebegitu jauh kita telah berpuasa Ramadhan, sudahkah kita menangkap makna al-Furqaan dalam hidup kita dan sudahkah kita menjadi an-Nuur, cahaya bagi orang-orang di sekitar kita? Nuzul al-Qur’an semoga bukan sekadar sebuah perayaan peringatan yang melengkapi kemeriahan bulan Ramadhan. Allahu a’lam.
Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar
Firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah ayat 185 menyatakan, (artinya) “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil) ... dst.” Meski dalam ayat itu Allah memakai kata “nuzul” yang berarti ‘turun’ namun al-Zurqani sebagaimana dikutip Prof. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya “Islam Masa Kini”, menyatakan cenderung mengkonotasikan kata-kata nuzul atau nazala untuk al-Qur’an dengan pengertian majazi (kiasan), yaitu al-I’lam (pemberitahuan). Maka ungkapan Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Saw, harus diartikan Allah memberitahukan al-Qur’an kepada Nabi Saw.
Dalam Bahasa Arab, nazala memiliki dua arti. Pertama, nazala berarti singgah atau menempati, seperti ungkapan nazala al-amir al-madinah (kepala negara itu singgah di kota). Kedua, nazala berarti berjalan dari atas ke bawah (turun). Seperti ungkapan, nazala Ahmad min al-jabal (Ahmad berjalan dari atas ke bawah gunung). Menurut al-Zurqani, kedua pengertian di atas tidak layak diterapkan pada al-Qur’an. Karena pengertian singgah ataupun berjalan dari atas ke bawah hanya dapat dilakukan oleh sesuatu yang bersifat material, sementara al-Qur’an sebagai firman Allah bukanlah sesuatu yang material.
Sementara tanggal 17 Ramadhan populer sebagai awal Nuzul al-Qur’an adalah buah analisis sejarahwan Islam Ibnu Ishaq (wafat 150 H) yang menyandarkan argumennya pada firman Allah dalam Qs. Al-Anfal ayat 41, (artinya) “... Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.”
Furqaan ialah pemisah antara yang haq dan yang batil. Yang dimaksud dengan hari Al Furqaan ialah hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir, yaitu hari bertemunya dua pasukan di peperangan Badar, pada hari Jum'at 17 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah. Ibn Ishaq berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada hari permulaan turunnya Al-Quran al-Karim pada malam 17 Ramadhan, meski tahunnya tidak sama. Pendapat Ibn Ishaq ini kemudian dikutip oleh Muhammad al-Khudori dalam ‘Tarikh Tasyri’ al-Islami’ yang sangat populer di Indonesia, sehingga melembagalah perhitungan 17 Ramadhan sebagai awal turunnya Al-Qur’an.
Prof. Mustafa Yaqub sendiri mencoba memverifikasi pendapat Ibn Ishaq dan hadis-hadis yang berkenaan dengan Nuzul al-Qur’an dan mendapati tiga buah hadis yang saling melengkapi sehingga berderajat hasan lighairihi (baik karena dukungan yang lain) yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan pada hari keduapuluh empat bulan Ramadhan.
Diluar perdebatan soal ketepatan tanggal Nuzul al-Qur’an, yang jelas bulan Ramadhan dipilih sebagai bulan turunnya al-Qur’an mengimplikasikan bahwa Ramadhan adalah bulan yang mulia. Prof. Quraish Shihab menyatakan, al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan mengisyaratkan bahwa sangat dianjurkan untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an selama bulan Ramadhan dan yang mempelajarinya diharapkan dapat memperoleh petunjuk serta memahami dan menerapkan penjelasan-penjelasannya, karena orang tersebut pada bulan Ramadhan sedang membersihkan hatinya dan jiwanya sedemikian cerah, pikirannya jernih, sehingga akan memperoleh kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil.
Sedang al-Furqaan adalah ilmu yang benar dan hukum yang haq tentang suatu perkara. Atau yang biasa disebut sebagai tolok ukur. Landasan tolok ukur ini tentu saja al-Qur’an dan Hadis, baik dalam bentuk hukum maupun etika/moral. Orang yang dikaruniai al-Furqaan tidak mendahulukan hukum dan mengabaikan moralitas, atau mengutamakan etika dan mengabaikan kebenaran hukumnya.
Rasyid Ridla menyatakan bahwa al-Furqaan juga bermakna sebagai an-Nuur, cahaya. Sehingga orang yang takwa (sebagai tujuan puasa Ramadhan) harus mencerminkan sikap an-Nuur, cahaya dalam setiap aspek kehidupannya.
Pertanyaannya, sebegitu jauh kita telah berpuasa Ramadhan, sudahkah kita menangkap makna al-Furqaan dalam hidup kita dan sudahkah kita menjadi an-Nuur, cahaya bagi orang-orang di sekitar kita? Nuzul al-Qur’an semoga bukan sekadar sebuah perayaan peringatan yang melengkapi kemeriahan bulan Ramadhan. Allahu a’lam.
Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar