Oleh : Zainul Arifin
Mantan Danjen Kopassus Muchdi PR meradang. Usai sidang pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang menuntutnya dihukum 15 tahun penjara, Muchdi mengatakan bahwa hal itu adalah puncak sebuah konspirasi dan sebuah fitnah. “Ingat, fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Entah ada maksud apa Muchdi mengatakan hal itu.
Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Kalimat ini begitu populer di masyarakat. Ia adalah arti letterlijk (apa adanya) dari beberapa ayat dalam al-Qur’an, walau sedikit aneh. Maksudnya, kata fitnah dalam ayat Al-Qur’an itu tidak diartikan, ia diambil begitu saja. Sedang pembunuhan adalah arti dari al-qatl. Kata kejam diambil dari kata asyaddu, sedang di ayat lain berarti lebih besar dari kata akbar. Dengan demikian ada satu kata dalam untaian ayat-ayat mengenai ‘fitnah’ yang tidak diartikan secara benar, yaitu kata ‘fitnah’ itu sendiri.
Sejauh pemahaman populer di masyarakat, fitnah dalam Bahasa Indonesia diartikan sebagai kabar bohong, isu, rumor, menjelekkan orang lain. Jika seseorang mengatakan bahwa si Fulan melakukan korupsi sedang kenyataannya si Fulan tidak korupsi, maka seseorang itu dibilang memfitnah, menyebar fitnah. Jika dalam suasana kampanye menjelang Pilkada ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa jika kandidat A terpilih akan terjadi begini-begitu, kemudian kandidat A atau siapa saja merasa bahwa hal itu adalah kampanye hitam, maka ia akan menyebutnya juga sebagai fitnah. Berita bohong yang tidak benar, tidak perlu dipercaya.
Benarkah fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Jika kita memakai konteks fitnah dalam Bahasa Indonesia seperti di atas, tentu menjadi tidak terlalu pas. Betapapun sebuah pembunuhan adalah puncak kejahatan kemanusiaan. Kekejaman itu pula yang dulu pernah dilakukan Qabil kepada Habil, anak-anak Nabi Adam, sehingga ia merasa sangat berdosa dan membopong jenazah Habil kesana-kemari sebelum menemukan cara penguburan jenazah. Jika fitnah lebih kejam dari pembunuhan, mengapa pula aktivis HAM Munir mesti dibunuh – oleh siapapun yang merasa menjadi musuhnya – dan tidak difitnah saja?
Dalam Al-Qur’an sendiri, begitu kejamnya sebuah pembunuhan, maka pembalasannya dapat berupa pembunuhan juga (nyawa dibayar nyawa) kecuali ada pengampunan dari keluarga korban. Sedangkan jika fitnah dimengerti sebagai kabar bohong, rumor, menjelek-jelekkan orang lain, ia dihukumi tidak terlalu berat. Jika hal itu dilakukan pada saat puasa Ramadhan, maka ia tidak akan mendapat pahala, puasanya tetap sah. Jika dalam kondisi biasa, maka ia laksana memakan daging saudaranya yang telah menjadi mayat (dalam hal ini bergunjing atau ghibah). Karena itu jauhilah.
Jadi apa itu fitnah? Merujuk pada Qs. Al Baqarah ayat 217 yang artinya, “mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah, dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh, dst.” maka fitnah di sini berarti penganiayaan dan segala perbuatan yang dimaksudkan untuk menindas Islam dan muslimin. Jadi fitnah adalah penindasan.
Menurut Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbahnya, kata fitnah terulang tidak kurang dari tiga puluh kali dan tidak satupun yang mengandung makna membawa berita bohong atau menjelekkan orang lain. Karena itu, tidaklah tepat mengartikan al-fitnatu asyaddu minal qatl dan al-fitnatu akbaru minal qatl dengan makna “memfitnah/membawa berita bohong/menjelekkan orang lain lebih kejam atau lebih besar dosanya dari pembunuhan.” Kekeliruan ini muncul, kata Quraish, akibat pemahaman yang meleset tentang kata fitnah yang diperparah oleh diabaikannya konteks sebab turun suatu ayat. Kata fitnah terambil dari akar kata ‘fatana’ yang pada mulanya berarti “membakar emas untuk mengetahui kadar kualitasnya”. Kata tersebut digunakan Al-Qur’an dalam arti “memasukkan ke neraka” atau siksaan.
Berkenaan dengan Qs. Al-Baqarah ayat 217 di atas, fitnah disitu ditafsirkan sebagai penyiksaan yang dilakukan oleh kaum musyrikin Makkah. Itulah yang ditunjuk lebih kejam dan lebih besar dosanya daripada pembunuhan yang dilakukan oleh pasukan pimpinan Abdullah bin Jahesy dan kelompoknya. Fitnah di sini juga bisa difahami dalam arti siksaan bagi kaum musyrikin di kemudian hari, lebih besar dan lebih keras sakitnya daripada pembunuhan yang dilakukan kaum musyrikin terhadap kaum muslimin.
Fitnah yang tercantum dalam Qs. Al-Baqarah ayat 191 dan 192 juga bermakna penganiayaan / penyiksaan dan kemusyrikan itu sendiri jika dikaitkan dengan pembunuhan. Sementara kata fitnah dalam Qs. An-Nisa’ ayat 3 yang berkaitan dengan pemaknaan ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an (untuk menimbulkan fitnah) berarti menimbulkan kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman. Hal ini dinyatakan pula oleh Rasulullah dalam hadis riwayat Muslim, “Jika kamu berbicara (menyampaikan ucapan) tentang sesuatu perkara kepada suatu kaum padahal perkara itu tidak terjangkau (tidak dipahami) oleh akal pikiran mereka, niscaya akan membawa fitnah di kalangan mereka.” (HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud/Sahih Muslim). Fitnah dalam hadis ini berarti kebingungan, kerancuan berpikir karena tidak faham atas perkara yang dibicarakan.
Dengan demikian mengartikan bahwa fitnah lebih kejam atau lebih besar daripada pembunuhan dengan mindset ayat-ayat al-Qur’an yang populer itu adalah tidak tepat. Jika yang dimaksud Muchdi PR fitnah adalah character assassination (pembunuhan karakter) pun rasanya tidak lebih kejam ketimbang pembunuhan. Character assassination masih bisa direhabilitasi, tapi orang yang sudah mati (terbunuh) tidak bisa dihidupkan kembali. Allahu a’lam.
Penulis bekerja di Kanwil Depag Prov. Kalbar
Masih hangat dibicarakan sampai saat ini, tragedi ”peradilan sesat” yang terjadi di Jombang. Tentu saja peradilannya sendiri tidak berlangsung dalam kesesatan namun yang terjadi sekarang adalah bahwa perkara yang diajukan ternyata objeknya salah. Yakni tentang pembunuhan di sebuah kebun tebu yang semula korban dikenali sebagai Asrori tapi belakangan ternyata ia adalah Fauzin Suyanto. Tiga orang tersangka pembunuh Asrori versi kebun tebu itu diajukan ke sidang pengadilan. Dua orang – Kemat dan David -- telah berkekuatan hukum tetap dan menjadi narapidana di penjara. Sedang yang ketiga, Maman, masih dalam tahap proses pengadilan. Semula Maman pun menginap di tahanan, namun atas permintaan kuasa hukumnya dan memperhatikan bahwa telah terjadi salah objek yang dituduhkan, ia pun dikeluarkan dari tahanan. Namun proses hukumnya sendiri masih berjalan, sampai menemukan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Belum genap dua bulan berlalu bulan suci Ramadhan 1429 H, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menyaksikan bencana alam dan bencana sosial mewabah di seantero negeri. Bencana alam datang sebagiannya akibat ulah manusia selama beberapa tahun sebelum kini, misalnya penggundulan hutan beberapa saat lalu, sehingga kini kita menuai buahnya. Tanah longsor dan banjir. Sedang bencana alam semisal gempa bumi tektonik, nyaris tak bisa diprediksi dan dihindari sebagai bagian dari pergeseran lempeng Bumi (pangea) dan pergerakan alam semesta sesuai sunnatullah.
Minggu-minggu ini masa pemberangkatan jemaah calon haji asal Indonesia sudah dilaksanakan. Tidak ada penambahan kuota sehingga antrian pendaftar sudah melampaui satu-dua tahun. Bahkan di beberapa daerah selain Kalbar, ada yang sampai lima tahun. Antusiasme kaum Muslimin tidak pernah pudar meski dalam keadaan keuangan nasional maupun global sedang tidak menentu. Ini memang panggilan ibadah. Bagi orang yang sudah sangat kepingin dan merasa telah mampu, maka halangan apapun insya Allah dapat diatasi.
Versi 01.b
Waktu bulan Ramadhan yang lalu, satu hal yang selalu dinasehatkan para penceramah adalah jangan merusak pahala puasa dengan perkataan yang tidak perlu, bergunjing, dan berbohong atau berdusta. Dalam hadis riwayat Al-Bukhari dinyatakan, ‘Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasul bersabda, ‘Barang siapa tidak dapat meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta (waktu berpuasa) maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya.” Maka setelah keluar dari bulan suci itu pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar telah dapat meninggalkan dusta? Tentu yang mampu menjawabnya hanyalah kita sendiri. Jika kita jujur.
Tatkala datang Idul Fitri, ungkapan ataupun kalimat yang paling banyak berhamburan adalah soal kemenangan dari masa ujian, dikaitkan dengan pelaksanaan puasa Ramadhan selama satu bulan yang baru saja berlalu. Hal ini terjadi karena setiap penceramah hampir selalu mengatakan bahwa puasa Ramadhan adalah ujian atau latihan keimanan sehingga siapa yang sanggup melaksanakannya sebulan penuh, atau tatkala Ramadhan berakhir, yang datang kemudian adalah hari kemenangan. Walau kita tidak tahu pasti apakah kita benar-benar menang. Yang penting, pas Idul Fitri semua orang merasa menang dan lulus dari ujian. Berapapun nilai yang didapat.
Barangkali tidak begitu kita rasakan, ternyata saat ini kita telah berada di paruh kedua bulan Ramadhan. Bahkan saat ini kita berada di seputaran tanggal 17 Ramadhan, tanggal yang dianggap sebagai permulaan ayat al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad Saw. Itulah hari yang kita sebut sebagai Nuzul al-Qur’an.
Mengikuti tahapan peradaban versi Alvin Toffler dalam bukunya “Gelombang Ketiga” dan “Kejutan Masa Depan”, saat ini sebagian besar warga dunia berada dalam tahap Peradaban Informasi, dimana informasi dan komunikasi cepat menjadi kebutuhan sangat penting bagi masyarakat. Komputer yang masa awalnya sebesar almari kini telah dapat hadir di mana saja, di atas pangkuan kita (laptop) atau dalam genggaman tangan (palmtop/PDA).
Di zaman informasi seperti sekarang ini, tak pelak berita-berita dari manapun mudah diakses. Berita datang silih berganti dengan beraneka isi. Sampai-sampai ada yang menjadi bingung, bimbang, takut, gelisah, sesungguhnya apa yang sedang terjadi di dunia atau negeri kita ini.
Pada suatu hari Rasalullah SAW mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. Nabi mengambil makanan dan berkata kepadanya, ”Makanlah!”

