Oleh : Media Aprilyanti *)

Setiap memasuki bulan Ramadhan, kita senantiasa diajak bergembira menyambutnya. Orang-orang yang masih hidup hingga bulan Ramadhan dianggap sebagai orang-orang yang berbahagia lantaran masih bertemu dengan bulan yang penuh berkah dan ampunan dari Allah. Sampai-sampai konon ada hadis yang menyatakan bahwa “barangsiapa bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan maka diharamkan tubuhnya disentuh api neraka”.

Dikatakan konon, karena hadis ini tidak diketahui sanad dan pentakhrijnya sehingga diduga kuat sebagai hadis palsu (maudhu’). Andai pun benar, benarkah Anda merasakan hal demikian? Apakah ada perasaan suka cita dalam diri Anda tatkala Ramadhan mulai menjelang? Jangan-jangan tidak. Siapa tahu perasaan Anda sebetulnya malahan susah lantaran memikirkan akan mengalami haus dan lapar di siang hari. Merasa susah karena harus menahan diri dari obrolan yang tidak perlu padahal kebiasaan itu bagi Anda mungkin susah dihindari. Termasuk bergunjing atau ghibah yang sudah menjadi “tradisi” di masyarakat hatta ke televisi.

Kalau benar demikian, mungkin ada yang salah dalam diri kita. Yakni kita menerima peribadatan dalam Islam sebagai hal yang memberatkan dan penuh larangan. Padahal bila kita meninjaunya dengan pikiran positif, insya Allah ibadah-ibadah dalam agama kita terasa ringan dan menentramkan. Hal demikian tentu saja akan dirasakan oleh mereka yang beriman secara sungguh-sungguh dan ikhlas dalam beragama (mukhlishiina lahud diin). Bagi orang yang tidak ikhlas beragama, maka apapun yang dikehendaki agama akan terasa berat dan menyiksa. Orang demikian adalah yang paling mudah tergoda syetan dan tidak stabil imannya. Meski para ulama salaf, termasuk Imam Asy-Syafi’i dll, menyetujui bahwa iman itu kadang bertambah dan kadang berkurang (al imaanu yaziidu wa yanqushu. Ungkapan ini menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam Al Manar al-Munif fi ash-Shahih wa adh-Dhaif, bukanlah hadis seperti sering disangka orang).

Memang benar bahwa seharusnya kaum muslimin yang bertemu kembali dengan Ramadhan itu adalah orang beruntung. Tetapi bagaimana agar keberuntungan itu betul-betul berpihak pada kita ? Kita tahu, bahwa persoalan Ramadhan bukan melulu soal berpuasa (shoum). Tetapi adalah juga persoalan bagaimana agar nilai puasa itu tidak runtuh dan puasa kita tidak hanya menuai haus dan lapar. Untuk itu ada baiknya kita merenungkan beberapa amalan keseharian yang ada kaitannya dengan ibadah shiyam kita.

Dalam sebuah hadis shahih dari Anas bin Malik diriwayatkan, “Rasulullah Saw menaiki mimbar (untuk berkhotbah). Menginjak anak tangga (tingkat) pertama beliau mengucapkan, “Amin”, begitu pula pada anak tangga kedua dan ketiga. Seusai shalat para shahabat bertanya, “Mengapa Rasulullah mengucapkan ‘Amin’?” Beliau menjawab, ‘Malaikat Jibril datang dan berkata, ‘Kecewa dan merugi seorang yang bila namamu disebut dan dia tidak mengucap shalawat atasmu” lalu aku berucap, “Amin”. Kemudian malaikat berkata lagi, “Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan hidup bersama kedua orangtuanya tetapi tidak sampai bisa masuk surga.” Lalu aku mengucap, “Amin.” Kemudian malaikat berkata lagi, “Kecewa dan merugi orang yang berkesempatan (hidup) apada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya.” Lalu aku mengucapkan “Amin.” (Ditakhrij oleh al-Bazzar, dan At-Thabrani dengan sanad dari Ka’b bin ‘Ajrah dalam Majma’ al-Zawaid)

Bila kita tilik rangkaian hadis di atas, ternyata shiyam tidak terpisahkan dari amalan-amalan lain yang seharusnya kita kerjakan. Bahkan secara tegas dinyatakan bahwa bisa saja orang-orang yang masih sempat ketemu Ramadhan hanya akan menemu kecewa dan merugi bila ternyata pada kesempatan itu tidak digunakannya untuk usaha menghapus dosa. Dari hadis ini kita lihat benang merah antara dua amalam di awal hadis dengan penutup hadis yakni soal puasa.

Pertama, dinyatakan bahwa orang akan kecewa dan merugi bila tatkala disebut nama Rasulullah Muhammad Saw dia ti­dak mengucap shalawat. Secara mudah bila ia tidak mengucap shalawat atas Nabi, maka ia telah mengabaikan pahala dan kebaikan yang terkandung dalam amalan itu. Secara agak dalam, orang Islam yang bila disebut nama Rasulullah Muhammad Saw, dia tidak mengucapkan shalawat maka orang ini dicap sebagai orang yang bakhil, kikir. Kalau untuk menguncapkan shalawat saja tidak mau, maka kita ti­dak dapat berharap banyak padanya untuk mau berinfaq dengan harta atau jiwa, padahal di bulan Ramadhan, misalnya, pahala berinfaq itu berlipat lebih banyak dari hari-hari biasa. Rasul bersabda, ”Barangsiapa memberi makan kepada orang yang berbuka puasa maka dia memperoleh pahala (seperti orang berpuasa itu) dan pahala bagi yang (menerima makanan) berpuasa tidak dikurangi sedikitpun”. (Ditakhrij oleh At-Tirmizi dalam Sunan At-Tirmidzi, dengan sanad dari Hannad, Abdurrahim, Abdul Malik bin Abu Sulaiman, dari Atho’, dari zaid bin Khalid al-Juhany, shahih),

Dikaitkan dengan puasa, amalan pertama dalam hadis ini mensugesti kita untuk menjadi orang dermawan. Puasa akan menjadi lebih afdol bila ia membikin kita juga lebih bermurah hati. Ucapan shalawat adalah ekspresi kecintaan kita kepada Nabi. Sedangkan Nabi kita itu adalah orang yang sangat penyayang dan pemurah kepada sesamanya.

Amalan yang kedua adalah bahwa kita harus selalu berbakti ke­pada orangtua. Terlebih bila keduanya atau salah satu dari keduanya masih hidup, baik kita serumah dengan mereka atau terpisah. Dalam hadis ini digambarkan, orang akan rugi bila berkesempatan hidup bersama orangtua tapi tidak bisa memibikin dia masuk surga. Sebab orangtua adalah ladang amal bagi anak-anaknya. Orangtua mengajari kita beragama, beribadah, termasuk berpuasa Ramadhan dengan baik. Bahkan Nabi pernah menyuruh seorang pemuda untuk pulang dan tidak ikut berperang agar pemuda itu mengurus ibunya. Hadis ini menohok anak-anak dari mereka berdua yang dalam hidupnya tidak berbakti atau mengabaikan orangtua.

Sedang amalan ketiga, yakni puasa itu sendiri harus dilakukan sebaik-baiknya. Puasa tidak hanya dalam laku lahiriah tetapi juga dalam hal-hal yang lebih bersifat ruhaniah. Sebab bila sekedar yang lahiriah, menahan dari makan-mimum atau berhubungan suami-istri siang hari, menurut Rasul nilainya kurang. Kalau nilai puasa kita kurang, maka ia tidak dapat menebus dosa-dosa kita yang telah lalu. Orang demikian itulah yang dalam hadis tadi dinyatakan sebagai orang yang kecewa dan rugi. Ketemu Ramadhan, harus puasa, tidak tahunya tidak mendapat apa-apa. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung dengan ampunan dosa dari Allah di bulan Ramadhan ini. Allahu a’lam.

*)Penulis bekerja di STAIN Pontianak


1 komentar

  1. Anonim // 2 September 2008 pukul 19.56  

    artikelnya bagus. yang nulis cantik lagi.

    melati