Oleh : Zainul Arifin

Beberapa waktu yang lalu dunia pendidikan dihebohkan oleh peredaran video yang merekam adegan kekerasan yang dilakukan seorang guru SMK di Gorontalo. Rekaman itu menjadi pembicaraan ramai karena yang melakukan adalah seorang guru, seseorang yang seharusnya menunjukkan perilaku bijak yang patut dijadikan contoh. Kalau saja rekaman itu tidak tersebar luas, mungkin tidak akan ada pembicaraan sedikitpun tentang kekerasan yang dipertunjukkan itu, yakni menampar wajah seseorang.


Pada penayangan adegan kekerasan yang juga pernah muncul di televisi, misalnya yang dilakukan oleh Geng Nero di Pati dan Geng Motor di Bandung, menampar wajah sepertinya menjadi sesuatu yang pasti dilakukan. Mungkin hal itu terjadi begitu saja, karena wajah adalah bagian yang mudah untuk menerima pukulan dan terbuka sehingga bekas pemukulan akan mudah kelihatan. Sesuatu yang agaknya disukai oleh si pemukul atau si penampar.
Celakanya, dalam dunia sinetron kita pun adegan kekerasan dengan menampar atau memukul wajah sangat mudah dilakukan. Dalam sinetron yang setiap hari disiarkan di televisi, setiap adegan kekerasan fisik selalu menunjukkan adegan menampar wajah dengan bengisnya. Entah ayah menampar anak, suami menampar istri, majikan menampar pembantu, atau teman menampar teman. Hal ini sungguh menyedihkan karena adegan tersebut tidak patut dilakukan apalagi sengaja dipertontonkan. Prilaku itu lambat laun ditiru masyarakat baik sadar atau tidak sadar secara lebih massif meskipun prilaku semacam itu mungkin memang acap terjadi dalam kenyataan sehari-hari.
Wajah adalah bagian sangat penting dari manusia. Seseorang dikenali antara lain karena wajahnya. Ia sedikit banyak dapat menunjukkan pribadi seseorang. Begitu pentingnya wajah bagi seseorang, apalagi bagi seorang wanita, tak heran bagian ini sering mendapat perawatan dan tata rias yang menghabiskan cukup banyak uang. Sedemikian pentingnya, maka sungguh mengherankan jika adegan kekerasan yang mengorbankan wajah terus berlangsung di sinetron kita.
Wajah (muka) adalah salah satu anggota badan yang dimuliakan Allah Swt, dan yang paling dihormati. Dari wajahlah dapat dilihat identitas seseorang, dari wajahlah kegembiraan dan kesusahan seseorang dapat dilihat, bahkan tanda-tanda bekas sujud pun terlihat pada wajahnya. Apabila nama ‘Ali bin Abi Talib disebut, para shahabat pun mendo’akan “karramallahu wajhah” (semoga Allah memuliakan wajahnya). Karena itulah Islam melarang menampar wajah, melukai, atau memberikan cap atau tato di wajah, baik wajah manusia maupun wajah binatang.
Prof. Saad Abdul Wahid dalam bukunya “Membersihkan dan Menyembuhkan Berbagai Penyakit Qalbu” (Citra Media, 2006) menjelaskan perihal larangan menampar wajah itu dengan mengutip beberapa hadis Rasulullah. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim ditegaskan, “Dari Abi Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila seseorang di antaramu memerangi saudaranya, maka jauhilah wajah.” (Shahih Al-Bukhari/No. 2420, Shahih Muslim/No. 112/2612) Sedang dalam hadis yang lain, dari Abi Zannad, dengan sanad yang sama, ia berkata, “Apabila seseorang di antaramu memukul” (jauhilah wajah).
Sedang perihal dilarang menyakiti binatang pada bagian wajah, termasuk menatonya, Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Jabir, “Bahwa Nabi Saw lewat di depan seekor himar (keledai) yang telah diberi tato di wajahnya, kemudian beliau bersabda: ‘Allah melaknat orang yang memberi tato pada wajahnya’.” (Shahih Muslim/No. 107/2117)
Hadis yang pertama dan kedua menjelaskan bahwa menampar wajah saudaranya adalah haram, demikian pula jika dalam peperangan, menembak, atau melukai wajah adalah haram, kecuali tidak sengaja. Adapun hadis yang ketiga menjelaskan bahwa menampar atau memberi tato di wajah binatang, juga haram, bahkan pada hadis yang ketiga Nabi menggunakan kata-kata laknat, yang mengandung pengertian azab yang sangat berat.
Pelarangan seseorang menampar wajah orang lain ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghormati harkat dan martabat seseorang. Orang yang menampar wajah orang lain biasanya dilakukan disertai keinginan merendahkan martabat korban. Bukan sekadar menyakiti. Karenanya jika suatu negara mendapat perlakuan tak senonoh dari negara lain sering dikatakan sebagai menampar wajah negara. Mendapat tamparan di wajah berarti mendapat penghinaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, permasalahan, pertikaian kecil maupun besar, perselisihan adalah hal yang biasa terjadi. Kesemua hal itu dapat dicarikan jalan keluar yang bijaksana tanpa harus saling menyakiti, apalagi menindas kehormatan orang lain, misalnya dengan menampar wajahnya. Siapapun orang tidak akan rela mendapati tangan orang lain mendarat di wajahnya. Karenanya sudah selayaknya jika adegan-adegan kekerasan yang memperlihatkan sangat mudahnya menampar wajah dalam dunia sinetron kita dihentikan. Sadar atau tidak sadar, tontonan itu akan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk melakukan hal-hal yang diharamkan agama. Allahu a’lam.

Penulis bekerja di Kanwil Depag Prof. Kalbar






0 komentar